Amnesty International: Bebas Berpendapat tapi Tidak Boleh Hasutan

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan menurut sudut pandang hak asasi manusia (HAM), kritik terhadap pejabat publik dan negara dijamin sebagai hal yang sah. Namun, tetap ada norma-norma dalam menyampaikan kritik tersebut.
"Di dalam hukum internasional HAM, pernyataan atau pendapat itu tidak boleh berupa hasutan atau anjuran untuk melakukan kekerasan, atau untuk kebencian SARA," tuturnya pada acara Ngobrol Seru: Revisi UU ITE, Akahkah Beri Keadilan oleh IDN Times, Jumat (18/2/2021).
1. Penegakan hukum soal berpendapat di Indonesia masih belum sesuai HAM

Usman menjelaskan, terdapat beberapa kebijakan di Indonesia yang telah mengatur norma berpendapat. Namun, menurutnya, hal itu tidak berjalan dengan hukum HAM.
"Misalnya hinaan terhadap Pak Ahok sebagai keturunan Tionghoa sebagai non muslin dilarang pada hukum HAM, tapi justru Pak Ahok dikriminalisasi atas pernyataan yang bukan tindakan kriminal," tuturnya.
"Sedangkan orang-orang yang menyerangnya yang menuding atau menghina ras atau etnisnya atau agamanya bebas berkeliaran," lanjutnya.
2. Usman soroti kasus Ibu Meliana yang protes suara toa rumah ibadah

Usman juga mencontohkan kasus Ibu Meliana di Tanjung Balai yang memprotes suara volume toa rumah ibadah. Namun, karena Ibu Meliana minoritas, banyak yang meminta ia dipidana.
"Saya ingat waktu 2018 Wakapolda mengatakan Ibu Meliana tidak melakukan tindakan kriminal tidak boleh ditetapkan sebagai tersangka, tapi Desember ada tekanan masa, ada fatwa dari ulama setempat, dan pada Januari-Februari 2019 ia dipidanakan kembali," katanya.
3. Kaum minoritas justru sering dipidanakan

Usman mengatakan undang-undang melarang kebencian rasial dan kebencian etnis, namun justru realitasnya kaum minoritas sering dipidanakan.
"Begitu pula di dalam komunitas Islam, Ahmadiyah, warga Syiah, mereka dianggap sesat oleh pemerintah, oleh SKB 3 Menteri di era SBY, atau orang Gafatar yang dianggap sesat di era Jokowi," tuturnya.
"Yang seharusnya dilindungi dari serangan-serangan fisik, atau dilindungi secara hukum, tapi pimpinan mereka justru dipidanakan," lanjutnya.
4. Fenomena tersebut adalah gambaran dari kejahatan tanpa korban

Usman menilai fenomena-fenomena tersebut sangat tergambarkan dengan istilah kejatan tanpa korban. Sebab hal-hal tersebut hanya menimbulkan hal yang subjektif seperti perasaan terhina dan perasaan dinodai.
"Itu perasaan-perasaan yang sangat subjektif yang menyangkut entitas yang abstrak seperti negara atau lembaga atau agama," katanya.
Sedangkan, yang mau dilindungi oleh hukum adalah entitas yang konkrit. Misalnya seperti manusia. "Jadi kalau ada manusia yang dihina karena rasnya, karena agamanya, karena etnisnya itu yang harus dilindungi, dan tindakan menghina itu harus dilarang," katanya.