Anak HIV/AIDS Kerap Alami Diskriminasi hingga Dikeluarkan Sekolah

Jakarta, IDN Times - Diskriminasi terhadap anak penderita HIV/AIDS masih terjadi. Pendamping psikososial dari Lentera Anak Pelangi, Widy, mengatakan stigma terhadap anak penderita HIV/Aids membuat mereka susah mendapatkan akses pendidikan, bahkan ada yang putus sekolah.
Widy mengatakan saat sekolah mengetahui status anak tersebut merupakan penderita HIV/Aids, pihak sekolah akan mengeluarkan secara sepihak.
"Tidak hanya dikeluarkan, mereka akan mempersulit untuk masuk ke sekolah lainnya, karena informasi mengenai status HIV disebarkan ke dalam jaringnya. Jadi pilihannya ada dua, apakah mereka akan bersekolah di sekolah yang jauh dari tempat tinggalnya, atau mereka putus sekolah karena ada pengalaman traumatis," ujarnya.
1. Anak dengan HIV sudah hidup dengan kesulitan

Widy menegaskan pendidikan merupakan hak warga, termasuk penderita HIV/AIDS. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, seorang anak mendapatkan perlindungan, salah satunya adalah perlindungan dari tindakan diskriminasi dan ketidakadilan.
"Sayangnya sampai dengan saat ini, masih mendapatkan beberapa tindakan stigma dan diskriminasi. Padahal tanpa stigma dan diskriminasi, anak dengan HIV itu sudah mengalami kesulitan dalam hidupnya," katanya.
2. Anak HIV/AIDS tidak mudah jalani hari

Widy mengatakan anak dengan HIV AIDs tidak mudah menjalani hari-harinya, apalagi dia harus minum obat yang besar dan rasanya pahit setiap hari. Jika memiliki penyakit penyerta, misalkan jantung, maka imunnya menjadi lemah.
"Jadi memang banyak beberapa ketidakmudahan yang dihadapi oleh anak dengan HIV, belum lagi jika memang dalam kondisi ekonomi yang kurang, lalu pengasuhnya tidak ada dan mereka diasuh oleh orang tua lainnya, seperti kakek nenek kondisinya atau bahkan mereka tinggal di panti," paparnya.
3. Praktik diskriminasi di Indonesia masih tinggi

Praktik diskriminasi terhadap berbagai kelompok rentan di Indonesia masih terjadi, bahkan semakin meningkat. Kelompok rentan yang kerap mengalami diskriminasi yakni disabilitas, kelompok minoritas agama, kelompok perempuan, kelompok minoritas gender dan seksualitas, serta orang dengan HIV, populasi kunci dan masyarakat adat.
Berdasarkan Global Inclusiveness Index 2023, Indonesia berada di posisi ke-108 dari 129 negara, dari sebelumnya pada posisi ke-96 dari 133 negara pada 2021.
"Indonesia memiliki berbagai undang-undang, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU HAM, UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU Penyandang Disabilitas, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan UU Kesehatan, yang menyediakan perlindungan hak asasi manusia, namun semuanya tidak bersifat komprehensif," ujar moderator acara yang juga eks peneliti Amnesty Internasional, Papang Hidayat, di Jakarta, Kamis (27/6/2024).