Cerita Jorgiana: Tim Medis Perempuan yang Digebuki Saat May Day 2025

- Terinspirasi dari kasus George Floyd di Amerika Serikat
- Berteriak agar dia tak dipegang-pegang untuk melawan penguasaan tubuh perempuan
- Mereka menjadi tersangka dan dijerat dengan Pasal 212, 216, dan 218 KUHP
Jakarta, IDN Times - Hari Buruh seharusnya menjadi panggung solidaritas. Tapi bagi Jorgiana Augustine, seorang perempuan muda yang menjadi paralegal paramedis dalam Aksi May Day 2025, hari itu justru menjadi titik gelap dalam hidupnya. Bukan hanya karena tubuhnya dihantam, dijambak, ditendang. Tapi karena rasa percaya yang hancur, karena negara yang seharusnya melindungi, justru ikut menyakiti. Jorgiana adalah mahasiswi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM).
Awalnya, dia tak berencana turun ke lapangan. Tapi ketika kabar datang posko medis diganggu aparat, hatinya tak bisa tinggal diam. Di posko itulah dia bertugas, duduk, memantau, membantu para medis yang menangani massa aksi. Hingga jam lima sore, semuanya berjalan biasa. Tapi lalu terdengar ledakan dari water canon. Orang-orang mulai mundur. Dan tak lama kemudian, pemukulan dimulai. Dia melihat temannya, Choi Yong Gi sesama paramedis digebuki.
“Aku berusaha buat dialog dengan manis banget,” katanya. “Pak, Pak, ini paramedis, Pak… Jangan dipukulin.” kata dia saat menceritakan ulang kenangan buruk itu dalam diskusi di kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Kamis (26/6/2025) sore.
1. Teringat George Flyod yang tewas di Amerika Serikat

Jorgiana mengaku belum kuat sepenuhnya kembali menceritakan hal ini, namun dia memberanikan diri bersuara. Kisahnya dibagikan bertepatan dengan peringatan Peringatan Hari Internasional untuk Mendukung Korban Penyiksaan.
Kala itu dia menceritakan tidak ada ruang untuk dialog. Dia memeluk Cho Yong Gi atau yang biasa dipanggil Kevin, mencoba melindungi tubuhnya yang dihantam. Tapi yang datang justru tendangan, jambakan, dan hinaan.
“Kita berdua digebukin, diseret-seret. Saya udah dijambak-jambakin," katanya.
Di satu momen, dia melihat seorang laki-laki berbadan besar menghujamkan dengkul ke leher Cho Yong Gi.
Dia mengingat kejadjan itu seperti kekerasan yang dialamiGeorge Floyd di Amerika Serikat, yang dituduh menggunakan uang palsu di sebuah toko. Floyd tewas usai polisi menekan lututnya ke leher Floyd selama 9 menit 29 detik,
“Kayak George Floyd,” ucapnya
“Saya panik banget… dia (Kevin) muntah-muntah, keluar cairan warna kuning," kata Jorgiana.
Jorgiana mendorong pelaku dengan tenaga yang entah datang dari mana. Dalam pikirannya saat itu hanya satu takut rekannya mati.
3. Berteriak agar dia tak dipegang-pegang

Selain kekerasan, represi terhadap tubuh juga diceritakan oleh Jorgiana, dipikirannya, dia merekam tindakan berupa penguasaan pada tubuh perempuan. Ketika mereka akhirnya dikerumuni aparat dan ditendang, dia berteriak.
“Jangan pegang-pegang! Saya cewek!” Tapi justru yang didapat adalah kata-kata kotor yang menyayat harga dirinya, dia ingat bahkan ingin ditelanjangi. Setelah ditendang keras, tubuhnya lebam. Bentuk sepatu aparat tertinggal di pahanya dua minggu lamanya.
"Saya ditendang. Dan itu tendangan itu benar-benar yang sampai ngebekas. Sampai dua minggu itu enggak hilang-hilang gitu. Jadi… dan ada bentuk sepatunya. Sepatu polisi. Sepatu aparat gitu kan," kata dia.
4. Mereka menjadi tersangka

Akhirnya mereka diboyong ke Polda Metro Jaya. Kasus ini bergulir menjadi pidana. Polda Metro Jaya menetapkan 14 orang sebagai tersangka dalam aksi May Day 2025. Mereka diperiksa di Polda Metro Jaya pada Selasa (3/6/2025). Termasuk mahasiswa Program Studi Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), Cho Yong Gi.
Padahal Jorgiana dan Cho Yong Gi menggunakan atribut seperti helm dengan lambang Palang Merah, bendera medis, dan peralatan medis di dalam tas. Mereka dijerat dengan Pasal 212, 216, dan 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 212, 216, dan 218 KUHP mengatur tindak pidana terhadap aparat. Pasal 212 soal melawan petugas saat menjalankan tugas. Pasal 216 soal tidak mematuhi perintah sah dari pejabat. Pasal 218 soal tetap berkumpul setelah dibubarkan dengan sah.
5. Saat harus laporkan kasus ini kepolisi, perasaan sedih

Jorgiana kembali mengenang kekejian itu, dia mengatakan yang paling menghancurkan bukan hanya pukulan atau tendangan, tapi ketika dia harus melapor ke Mabes Polri soal kekerasan yang dialaminya. Barulah setelah melaporkan kasus ini, dia kerap menangis dan mempertanyakan diri.
“Dan to be honest, kalau misalkan… yang paling kerasanya tuh adalah pas lagi ke Mabes Polri untuk ngelakuin pelaporan. Itulah mungkin pertama kalinya aku nangis. Nangis yang sampai sesenggukan," kata Jorgiana.
Dia bertanya-tanya kenapa harus melapor pada institusi yang pelakunya juga berasal dari sana. Meski dia tahu subjektivitas aparat pasti akan berbeda.
"Cuma kan dari kacamataku, yang melakukan itu kan—mohon maaf—dia ditugaskan dari institusi itu, gitu. Dan saya harus ngelapor ke institusi itu. Jadi merasa kayak malu ya. Kayak harga diri tuh kayak terluka," katanya.
Kemarin, saat Indonesia Raya yang berkumandang di ruang Komnas Perempuan, Jorgiana merasa hatinya tercekat. Dia pertama kalinya kembali mendengar Indonesia Raya setelah May Day.
"Karena yang melakukan itu ke kita tuh, mohon maaf, di sininya (baju di bagian bahu) tuh ada tanda bendera merah putihnya, gitu. Dan dia kan bekerja atas nama negara, ya."
"Terus saya harus nyanyiin Indonesia Raya, gitu. Di mana di situ ada… disitulah rasanya baru sedih banget, gitu. Baru tadi kayak mau nangis gitu, kayak ngeri gitu," kata dia.
Dia tidak takut pada ingatan tentang kekerasan itu sendiri. Tapi yang belum bisa ia hadapi sampai sekarang adalah satu hal fakta bahwa orang-orang yang melakukan kekerasan padanya justru orang yang melekatkan bendera merah putih di seragamnya.
“The fact bahwa itu (kekerasan) dilakukan oleh orang-orang yang bertugas atas nama negara," kata Jorgiana.