Derita Anak Silver, Menahan Perih demi Rupiah di Masa Pandemik

Jakarta, IDN Times – Sinar matahari siang itu menyengat. Namun Rama terus berjalan menyusuri pinggir Jalan Raya Kalimalang, Bekasi. Kakinya tanpa alas dan badannya dibalut cat warna silver.
Dengan napas tersengal, Rama terus berjalan. Sesekali ia mengangkat kaleng yang dibawanya ke arah pengendara yang lewat, berharap ada yang memberi rupiah. Semakin jauh Rama berjalan, debu terus menempel di tubuh kecilnya yang bersinar keperakan. Namun, cat silver itu seolah membungkus tubuh Rama dengan kuat, sehingga tak terlihat sedikit pun keringat mengucur dari badannya.
Bocah 13 tahun ini tidak sendiri. Dia menjadi manusia silver bersama dua temannya yakni Toni (14) dan Marchel (10). Ketiganya siang itu menyulap diri mereka menjadi manusia silver, demi mengais rupiah di antara para pengendara di Jalan Raya Kalimalang.
Marchel tampak mencolok, ia bertelanjang dada, sehingga terlihat seluruh tubuhnya diguyur cat silver. Sementara Rama dan Toni menutup tubuh mereka dengan kaus dan celana pendek.
Tak hanya mengangkat kaleng ke pengendara yang lewat, mereka juga memasuki ruko dan rumah makan yang ditemuinya, berharap belas kasihan. Tidak sedikit yang mengusir mereka, tapi anak-anak itu terus berjalan demi sepeser rupiah.
Sesekali mereka bercanda dan tertawa sambil berjalan. IDN Times memanggil mereka untuk istirahat sejenak di warung kecil di pinggir jalan tersebut.
"Dik sini," teriak IDN Times memanggil tiga anak kecil tersebut.
Mereka girang dan berlari saat tahu akan diberikan sebotol minuman dingin, mungkin untuk membasahi tenggorokan mereka yang kering.
Sepintas mereka terlihat lucu dengan senyum polos yang memperlihatkan deretan gigi mungil mereka. Namun, ada cerita pilu di balik keberadaan anak-anak manusia silver, yang mengkilap di sudut jalan.
Melawan perih dan panas demi mendapat rupiah
Rama mengaku baru pertama mengais rezeki dengan menjadi manusia silver. Peran ini ia lakoni karena ajakan teman. Sebelumnya, Rama mencari uang dengan mengamen.
"Gak perih kok," ujarnya pada IDN Times meski matanya merah dan berair.
Rama mengungkapkan, cat sablon silver memang membuat badan terasa panas, tapi dia yakin akan terbiasa. IDN Times menyentuh tangan mungil yang berlumur cat itu, warna silver langsung menempel di jari jemari, mengkilap, dan berminyak. Tidak mudah untuk membersihkannya dengan kain atau tisu.
"Bersihin digosok pakai plastik kak," ujarnya.
Rama mengatakan, meski bekerja di jalan tapi dia tetap sekolah. Dia berharap, suatu saat akan menjadi pengusaha sukses.
"Saya diajak ini teman-teman, tapi saya tetap sekolah kok," ungkapnya polos.
Sementara Marchel mengaku merupakan anak yatim piatu dan sudah menjadi manusia silver sejak usia 8 tahun. Dia terpaksa mencari rupiah untuk membantu neneknya yang seorang pemulung.
"Jika sepi dapat Rp50 ribu, kalau ramai bisalah dapat Rp100 ribu, tapi dibagi-bagi bertiga," ucapnya.
Tidak lama berbincang, Toni yang sedari tadi sudah menghabiskan sebotol minuman dingin meminta bergegas. Dia mengajak Rama dan Marchel melanjutkan langkah dan meninggalkan saya.
Bayi berusia 10 bulan ikut menjadi manusia silver
Munculnya manusia silver bukan tanpa alasan. Sejak pandemik COVID-19 melanda Tanah Air pada Maret 2020 lalu, berbagai cara dilakukan orang untuk bertahan hidup, di antaranya mencari rezeki dengan menjadi manusia silver.
Cara ini pula yang ditempuh seorang ibu di Tangerang, Banten untuk menjaga dapurnya tetap ngebul. Namun, bukan sang ibu yang menjadi manusia silver, melainkan bayinya yang masih berusia 10 bulan.
Ibu muda tersebut tega menyerahkan bayinya kepada tetangga yang bekerja sebagai manusia silver. Tubuh bayi malang itu pun, termasuk wajahnya, dilumuri cat warna silver.
Apa boleh buat, kata ibu yang masih berusia 18 tahun itu. Alasannya, dia butuh uang untuk menyambung hidup di masa pandemik COVID-19.
"Saya butuh uang untuk bayar kontrakan, makan, beli susu dan popok bayi. Dari hasil turun ke jalanan lumayan, bisa nutup walaupun kadang masih kurang," ucap Rani sambil menggendong bayi silvernya, 26 September 2021 lalu.
Kisah pilu bayi silver ini sempat viral, setelah video yang memperlihatkan kondisi bayi diunggah di media sosial, September 2021 lalu.
Di usia yang belum genap satu tahun, bayi tersebut sudah merasakan panasnya cat sablon dan juga debu jalanan demi mendapatkan sepeser rupiah dari pengguna jalan. Bayi malang itu menjadi manusia silver selama dua bulan.
Sang ibu, sebut saja Rani, mengaku sebelumnya juga menjadi manusia silver, tepatnya sejak putus sekolah 2 tahun lalu. Tapi berhenti karena hamil dan melahirkan. Kini setelah memiliki bayi, kehidupan Rani semakin sulit, apalagi dunia tengah dilanda COVID-19. Karena itulah, kata dia, sang bayi dibawa ke jalanan menjadi manusia silver.
"Ini urusan perut, saya tidak maling"
Keberadaan manusia silver tidak hanya di Ibu Kota, tapi juga di daerah lainnya, salah satunya Yogyakarta. Di Kota Gudeg, Rika yang masih berusia 16 tahun mengaku sudah biasa kejar-kejaran dengan Satpol PP, gegara jadi manusia silver.
Rika mengaku pernah ditangkap beberapa kali, namun dia tidak kapok turun ke jalan untuk mengais rezeki. Dia yakin apa yang dikerjakan merupakan pekerjaan halal selama tidak mencuri.
“Saya terpaksa melakukan ini, mau bagaimana lagi? Ini yang bisa ku lakukan buat hidup, urusan perut. Saya tidak maling, hanya minta pecahan koin dari rezeki orang-orang," ungkapnya, Juni 2021 lalu.
Angka kemiskinan meningkat saat pandemik, memaksa anak ikut bekerja
Munculnya fenomena manusia silver yang melibatkan anak-anak, menjadi gambaran tegas bagaimana kemiskinan di kota telah memaksa anak-anak dan juga orang dewasa, mencari cara untuk bisa mengais rezeki. Pandemik COVID-19 yang telah melanda 2 tahun, membuat kemiskinan semakin meluas dan terlihat jelas.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada September 2020 sebesar 10,19 persen, meningkat 0,41 persen poin dibandingkan Maret 2020, dan naik 0,97 persen poin dibandingkan September 2019.
Total jumlah penduduk miskin pada September 2020 sebesar 27,55 juta orang, meningkat 1,13 juta orang dibandingkan Maret 2020, dan naik 2,76 juta orang dibandingkan September 2019.
Meningkatnya kemiskinan membuat jumlah pekerja anak di Indonesia juga bertambah. Berdasarkan data Sakernas atau Survei Angkatan Kerja Nasional yang dirilis BPS tahun 2020, sebanyak 3,25 persen atau 1,17 juta anak usia 10 sampai 17 tahun, atau 3 dari 100 anak, bekerja. Jumlah ini naik dibandingkan data 2019 yakni 2,37 persen.
Sementara, menurut studi global Country Officer International Labour Organization (ILO) tahun 2020, terdapat 160 juta pekerja anak yang terdiri dari 63 juta anak perempuan dan 97 juta anak laki-laki. Mereka mewakili 1 dari 10 anak di seluruh dunia.
Akibat COVID-19, ILO memperkirakan akan ada tambahan 9 juta anak yang berisiko menjadi pekerja pada 2022. Sedangkan pada 2025, prevalensi pekerja anak usia 15 sampai 17 tahun diproyeksikan sekitar 2,2 persen atau setara dengan 293.000 anak.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, berdasarkan survei KPAI terhadap pekerja anak selama masa pandemik COVID-19, jumlahnya meningkat. Pemicunya, karena beban keluarga bertambah sehingga mempekerjakan anak.
Bahkan dia menilai, anak yang bekerja sebagai manusia silver akan sulit hilang, bahkan akan terjadi berulang. Sebab, beragam kisah pekerja anak masih mengakar di jalanan hingga jadi wajah jalanan di Indonesia.
"Data pengaduan KPAI juga mencatat, selama pandemik ada 53 persen jenis kasus, terbanyak pekerja anak, membutuhkan layanan adalah anak yang dilacurkan dan anak jalanan," ujar Jasra kepada IDN Times, 28 September 2021.
Menurut Jasra, peristiwa anak-anak silver bukan peristiwa tunggal, atau peristiwa yang berdiri sendiri, sehingga memerlukan penelusuran pada keluarga agar dapat memberi solusi permanen.
"Karena kalau hanya sifatnya bantuan, tanpa memberi solusi sistemik untuk pegangan hidupnya ke depan, maka kita tinggal menunggu saja anak-anak ini dibawa ke jalanan lagi," kata dia.
Kondisi tersebut, lanjutnya, bisa terjadi karena lembaga pemerintah yang menampung mereka, belum tuntas merehabilitasi, sehingga akhirnya anak-anak kembali ke jalanan.
"Untuk itu perlu keberpihakan lebih, agar norma, kebijakan, anggaran, SOP mampu menjawab amanah para petugas lapangan. Sehingga di mana pun ada anak silver, ada rujukan yang standarnya sama dan cepat dalam penanganan," kata dia
Dalam waktu dekat, kata Jasra, KPAI akan berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait bersama dinas provinsi, untuk mendorong implementasi kebijakan yang ada agar anak-anak tidak kembali ke jalanan untuk mengemis.
"Selama kita tetap memberi di jalanan, tidak ada pihak yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, data kemiskinan kita tidak valid. Maka akan berdampak standar penanganan masalah kesejahteraan sosial kita berbeda-beda, tak kunjung berubah. Ujung-ujungnya anak silver ini kembali ke jalan, dan wajah jalanan kita, akan terus seperti sekarang," kata dia.
UNICEF sebut pandemik COVID-19 jadi krisis terburuk bagi anak

UNICEF menyebut, pandemik COVID-19 sebagai krisis terburuk bagi anak sepanjang 75 tahun. Dalam laporan yang berjudul Preventing a lost decade: Urgent action to reverse the devastating impact of COVID-19 on children and young people, disebutkan kemiskinan multidimensi kemungkinan bertambah dan bisa menimpa 100 juta anak akibat pandemik COVID-19.
Angka yang mencengangkan ini merepresentasikan kenaikan 10 persen sejak tahun 2019. Artinya, jumlah anak yang mengalami kemiskinan multidimensi naik sekitar 1,8 anak per detik sejak pertengahan Maret 2020.
Laporan itu juga menyebutkan, butuh proses panjang untuk pulih dari dampak pandemik. Dalam situasi terbaik sekalipun, akan dibutuhkan 7 hingga 8 tahun untuk pulih dan mengembalikan angka kemiskinan anak ke tingkat sebelum COVID terjadi.
Pemerintah sendiri melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) serta Kementerian Ketenagakerjaan telah menetapkan tujuan untuk mengakhiri semua bentuk pekerja anak pada 2025.
Pemda harus bergerak melindungi dan memenuhi hak-hak anak
Khusus bagi anak yang bekerja sebagai manusai silver, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengakui, fenomena anak jalanan dan manusia silver meningkat.
Penyebabnya, karena kemiskinan dan angka putus sekolah di tengah pandemik COVID-19.
Kasus manusia silver maupun anak jalanan pada Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 masuk dalam kategori pekerjaan terburuk bagi anak, yaitu mempekerjakan anak di jalanan yang memberikan banyak risiko akibat lalu lintas, panas dan hujan, polusi udara, dan juga keracunan cat berbahaya.
Bintang meminta agar pemerintah daerah provinsi dan kabupaten atau kota bisa memberikan perhatian pada pemenuhan hak anak agar kasus-kasus tersebut dapat dicegah dan diantisipasi.
"Jika semua melakukan pemenuhan hak anak dan memberikan perlindungan khusus anak, maka situasi yang dapat mengancam tumbuh dan kembang anak dapat dicegah,” kata Bintang menanggapi maraknya anak silver.
Menurutnya, penanganan kasus anak silver tidak semata hanya pendekatan ekonomi, tetapi juga pemenuhan hak anak secara komprehensif termasuk pemenuhan hak sipil, pengasuhan layak, kesehatan dan pendidikan.
Selain itu, juga dilakukan pendekatan hukum jika ditemukan ada pihak-pihak yang mengeksploitasi atau pelanggaran hukum lainnya, sehingga dapat mencegah kasus serupa terjadi di tempat lain.
Sebagai upaya pencegahan dan untuk mewujudkan perlindungan ekstra bagi anak, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak.
PP tersebut mengatur bentuk-bentuk perlindungan khusus terhadap anak dari penelantaran dan eksploitasi, baik karena perdagangan anak maupun pekerja anak termasuk dalam situasi darurat.
Selain itu, telah diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).
Strategi pemerintah menghapus pekerja anak

Sementara itu, Kementerian Sosial mengklaim telah berhasil mengurangi jumlah anak jalanan di Indonesia melalui program "Menuju Indonesia Bebas Anak Jalanan" pada tahun 2016.
Kemudian didukung dengan "Gerakan Sosial Menuju Indonesia Bebas Anak Jalanan" pada tahun 2017. Meski demikian, Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos Kanya Eka Santi mengakui pandemik COVID-19 membuat banyak keluarga mengalami kesulitan ekonomi, sehingga mendorong anak-anak kembali ke jalanan.
Fenomena anak jalanan berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tahun 2020 menunjukkan, 8.320 anak berada di dalam Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak Jalanan.
“Jika disandingkan dengan data anak korban eksploitasi secara ekonomi juga meningkat tinggi di tengah pandemik COVID-19, begitu juga dengan klaster Anak Memerlukan Perlindungan Khusus (AMPK) lainnya termasuk anak silver,” ujarnya dikutip dari Youtube Kemensos, 28 Maret 2022.
Untuk menangani masalah anak silver secara komprehensif, Kemensos merekomendasikan ada pemetaan terhadap isu-isu anak, keluarga, dan komunitas.
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memastikan komitmennya untuk terus berupaya menghapus pekerja anak. Pemerintah sudah melakukan penarikan pekerja anak dari berbagai jenis pekerjaan terburuk sejak 2008.
Berdasarkan data survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2019, dalam periode 2008 sampai 2020 terdapat 143.456 pekerja anak yang telah ditarik dari sekitar 1,5 juta pekerja anak yang berumur 10 sampai 17 tahun.
Risiko kesehatan mengintai anak-anak silver, dari iritasi hingga kanker
Fenomena anak pekerja masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Apalagi anak yang bekerja menjadi manusia silver. Mereka tidak hanya rentan secara ekonomi, tapi juga kesehatan.
Dokter Siloam Hospitals Kebon Jeruk dr. Yeyen Yovita Mulyana mengungkapkan, cat yang dipakai manusia silver biasanya merupakan campuran dari cat sablon. Mereka kadang menggunakan minyak tanah agar warna lebih terang atau minyak goreng jika ingin warna lebih gelap.
"Pada umumnya cat mengandung bahan kimia seperti Vinyl chloride, Plastisol, formaldehida, logam berat seperti timbal, titanium, kromium, hidrokarbon, dan pelarut (thinner)," paparnya kepada IDN Times.
Yeyen menegaskan, penggunaan Vinyl chloride dalam waktu singkat bisa mempengaruhi saraf menimbulkan gejala pusing dan sakit kepala, iritasi mata dan saluran napas, iritasi dan alergi pada kulit, bahkan bila terekspose dalam jumlah besar, akan menimbulkan kerusakan paru dan ginjal.
"Efek jangka lama bisa menimbulkan Vinyl chloride’s disease, kerusakan hati, ginjal, otak, cacat pada bayi, abortus, kanker hati, kanker payudara, kanker rongga mulut, dan kanker otak," paparnya
Yeyen mengatakan, kulit anak dan bayi lebih tipis dan rentan terjadi kanker, alergi, dan iritasi dibandingkan paparan terhadap kulit dewasa.