Dokter Reisa: Kasus Melandai, tapi Penularan COVID di RI Masih Tinggi

Jakarta, IDN Times - Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, dokter Reisa Broto Asmoro, mengatakan penambahan kasus positif virus corona dalam satu pekan terakhir mengalami penurunan. Angkanya turun 30,3 persen dibandingkan pekan sebelumnya.
Sementara, jumlah kasus aktif COVID-19 juga mengalami penurunan 18,18 persen dibandingkan pekan sebelumnya. Lantaran kasus mulai melandai, pemerintah kini melonggarkan pembatasan pergerakan masyarakat. Bahkan, sudah bolak-balik menyatakan hendak menuju ke fase endemik.
Padahal, menurut data yang dipegang Reisa, tingkat penularan COVID-19 (positivity rate) di Indonesia masih jauh dari kata terkendali. Bila idealnya tingkat penularan berada di bawah lima persen, kini positivity rate harian di Indonesia pada 10 Maret 2020 masih 15,47 persen.
"Sedangkan, positivity rate pada pekan lalu mencapai 13,22 persen," ungkap Reisa ketika memberikan keterangan pers yang ditayangkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (11/3/2022).
"Oleh karena itu, saya kembali tekankan bahwa kita harus menekan laju transmisi virus ini di masyarakat. Salah satunya dengan meningkatkan cakupan vaksinasi," ujarnya.
Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Kesehatan, Indonesia baru mencapai 72,06 persen dari total sasaran vaksinasi yakni 208.265.720. 208 juta adalah target yang ditetapkan di awal pemberian vaksin COVID-19 agar bisa mencapai kekebalan komunal alias herd immunity. Namun, satu tahun berlalu, target tersebut belum tercapai.
Apakah dengan kondisi ini, Indonesia sudah bisa melaju ke fase endemik?
1. Hanya WHO yang punya otoritas cabut status pandemik di dunia

Indonesia belum resmi memasuki fase endemik lantaran penambahan kasus, tingkat penularan dan angka kematian masih tinggi. Meski demikian, kata Reisa, pemerintah mulai menyiapkan peta jalan agar masyarakat bisa pelan-pelan beraktivitas secara normal.
Ia juga menyebut hanya Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang memiliki otoritas untuk mengubah status pandemik bergeser menjadi endemik.
"Status pandemik merupakan deklarasi darurat kesehatan oleh WHO, maka pencabutan statusnya pun demikian. Penetapan status pandemik dan endemik merupakan otoritas dari WHO," ujar Reisa.
Ia mewanti-wanti pandemik COVID-19 berdampak pada banyak negara. Sehingga, perubahan status membutuhkan perbaikan kasus secara global dan bukan hanya di satu negara saja.
Reisa juga mengatakan manusia pernah mengalami tiga pandemik influenza di abad ke-20 dan berhasil dilalui lantaran sudah bergeser menjadi endemik.
"Pertama, flu Spanyol di tahun 1918-1920 yang disebabkan oleh virus H1N1. Pandemik itu mengakibatkan lebih dari 50 juta kematian. Kedua, di tahun 1957-1958 ada pandemik flu Asia yang disebabkan oleh virus H2N2. Ketiga, pada 1968 ada pandemik flu Hong Kong yang disebaabkan oleh virus H3N2," kata dia.
2. Kurang dari 10 persen warga yang telah disuntik booster COVID-19

Reisa mengungkapkan baru 6,68 persen warga dari target 208.265.720 orang yang telah melakukan vaksinasi booster. Artinya, masih sedikit warga yang kembali ke fasilitas kesehatan untuk disuntik kembali vaksin COVID-19.
Sedangkan, jumlah warga yang telah menerima vaksin lengkap dua dosis mencapai 150.066.815 orang atau 72,06 persen. Reisa pun mendorong agar warga kembali melindungi diri sendiri dengan menerima vaksin booster.
"Vaksin booster bisa diterima apabila sudah lebih dari tiga bulan sejak vaksinasi dosis kedua baik bagi lansia dan masyarakat umum lainnya," kata dia.
Ia menjelaskan warga perlu kembali diberi vaksin booster karena imunitas yang dihasilkan dari vaksin primer pelan-pelan akan menurun. Sehingga, tidak lagi memberikan perlindungan optimal melawan COVID-19.
3. Sebanyak 8.230 pasien meninggal selama gelombang Omicron di Indonesia

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, periode 21 Januari 2022 hingga 6 Maret 2022, tercatat ada 8.230 pasien COVID-19 yang meninggal selama gelombang Omicron melanda Indonesia. Bahkan, sebanyak tiga persen atau 265 pasien di antaranya baru berusia 0-5 tahun atau balita.
"Bila dilihat dari rentang usia, ternyata tiga persen pasien ada di rentang umur 0-5 tahun. Kemudian, 82 persen pasien berada di atas usia 45 tahun," ungkap Koordinator Substansi Penyakit Infeksi Emerging Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Ditjen P2P Kementerian Kesehatan, Endang Budi Hastuti, ketika berbicara dalam webinar, Kamis, 10 Maret 2022.
Ia juga menjelaskan dari data yang dimiliki Kemenkes, sebanyak 51 persen pasien yang meninggal itu mempunyai penyakit bawaan. Kemudian 56 persen di antara pasien yang meninggal juga lansia dan 70 persen di antaranya belum menerima vaksinasi dua dosis.
"Ini membuktikan bahwa vaksinasi lengkap bisa mencegah keparahan (bila terkena COVID-19) dan meninggal," kata dia.
Ia menambahkan lansia yang terinfeksi COVID-19 memiliki risiko 3,5 kali lipat lebih besar meninggal dibandingkan yang terpapar dan bukan lansia. "Risikonya lebih tinggi lagi pada lansia yang memang kebanyakan memiliki penyakit penyerta seperti diabetes melitus, gagal ginjal, dan hipertensi. Ini semakin menunjukkan pentingnya vaksinasi pada kelompok lansia dan yang memiliki komorbid," tutur Endang.