Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Film Glodok 98 Karya Mahasiswa Gen Z di Amerika Angkat Luka Reformasi

Screenshot 2025-11-07 141038.png
Potret project film Glodok ‘98, bagian dari perjalanan dokumenter CTVA CSUN (Dok/CSUN Crowdfunding)
Intinya sih...
  • Film "Glodok 98" karya mahasiswa Gen Z di AS mengangkat luka reformasi Indonesia.
  • Nicholas Ricky Manuel Tjen merekam ingatan kelam Mei 1998 dalam film pendeknya di California State University, Northridge.
  • Film itu dibuat dengan riset mendalam dan melibatkan tim lintas negara, serta telah diputar di Samuel Goldwyn Theater dan masuk seleksi Utah Film Festival.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Di tengah derasnya arus budaya populer dan nostalgia instan, seorang anak muda Indonesia di Amerika memilih jalan yang berbeda: menggali luka sejarah bangsanya sendiri. Nicholas Ricky Manuel Tjen merekam ingatan kelam Mei 1998 dalam film pendek berjudul Glodok 98, karya tugas akhirnya di California State University, Northridge (CSUN). Film itu bukan sekadar proyek akademik, tapi cara dia memahami sejarah yang membentuk keluarganya, dan lebih luas lagi, identitas bangsanya.

“Padahal aku pas bikin naskahnya itu kayak dari dulu pengen bikin kisah 98, karena orang tuaku went through kejadian itu sendiri. Terus koko aku juga ngalamin segala macam, dan banyak orang Indonesia yang di Amerika pun ke sini gara-gara kerusuhan itu,” tutur Niko saat wawancara daring dengan IDN Times.

1. Menceritakan soal Unity

Screenshot 2025-11-07 141820.png
Nicholas Ricky Manuel Tjen menceritakan project Glodok 98 kepada IDN Times (IDN Times/Lia Hutasoit)

Film Glodok 98 berkisah tentang Asyung dan Linda, pasangan muda keturunan Tionghoa yang tengah menanti kelahiran anak pertama mereka di tengah krisis ekonomi dan gejolak sosial menjelang kerusuhan Mei. Dalam keterbatasan dan tekanan, mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan yang mencerminkan rapuhnya kehidupan warga minoritas kala itu.

“Sebenarnya ceritanya ini pun aku tulis tentang unity sih, tentang kesatuan, apalagi Indonesia sebagai negara yang punya macam ras dan agama. Dan sampai sekarang pun kadang-kadang sedih melihatnya masih belum selesai, masih agama berbeda, ras berbeda, saling bergesekan,” kata dia.

Bagi Niko, generasinya yang lahir setelah reformasi mungkin tidak mengalami langsung peristiwa 1998. Namun, trauma itu diwariskan lewat cerita, sikap, dan diam yang panjang. Dia ingin menghadirkan ruang untuk berbicara kembali, tanpa takut dan tanpa sensor.

“Tapi buat aku, kenapa aku ada di sini sekarang dan kenapa aku bikin cerita sebagai filmmaker, karena aku mau merepresentasikan suara-suara yang belum pernah terdengar,” ucapnya.

2. Dalami cerita dari banyak penyintas yang kini tinggal di Amerika

WhatsApp Image 2025-10-15 at 16.30.40 (5).jpeg
Talkshow sejarah dan fakta tragedi Mei 1998, tantangan penyangkalan dan kelembagaan Komnas Perempuan dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Film itu dia buat dengan riset. Dia berbicara dengan banyak penyintas yang kini tinggal di Amerika. Sebagian besar, katanya, masih membawa trauma yang sama seperti dua dekade lalu.

“Aku interview satu-satu, nanya kayak gimana sih pas Glodok 98, lokasinya di mana pas kejadian itu terjadi, dan apa sih yang dialamin. Aku mau dapetin emotion-nya sih yang paling penting—seberapa chaotic dan seberapa bizarre-nya kejadian itu,” kata dia.

Dari riset itu, dia menemukan bukan hanya tragedi, tetapi juga potongan-potongan kemanusiaan: solidaritas antarwarga, rasa bersalah, dan upaya bertahan. Semua itu dia rangkai dalam narasi yang sederhana namun emosional.

“Film aku pun gak bisa merepresentasikan apa yang terjadi, karena apa yang terjadi pun itu sangat kelam menurut aku. Jadi, buat aku, pasti research pas bikin film ini, dan bantuan dari komunitas Indonesia di Amerika sendiri yang bantu aku bisa nge-push cerita ini,” ujarnya.

3. Libatkan tim lintas negara

Mahasiswa dan masyarakat melakukan demo di halaman gedung MPR/DPR RI, Mei 1998 (commons.wikimedia.org/Kaliper1)
Mahasiswa dan masyarakat melakukan demo di halaman gedung MPR/DPR RI, Mei 1998 (commons.wikimedia.org/Kaliper1)

Produksi film dilakukan dengan tim lintas negara. Dari sekitar 48 orang yang terlibat, hanya sekitar sepuluh orang Indonesia. Sisanya berasal dari Amerika, Meksiko, Tiongkok, dan negara lain. Baginya, proses lintas budaya itu justru memperkuat semangat filmnya tentang kemanusiaan yang universal.

“Lucunya, orang yang kerja di tim aku kayak bagian tata set dan wardrobe-nya bukan orang Indonesia. Jadinya mereka belajar banyak tentang Indonesia sendiri. I think it’s a very interesting way to menyebar culture Indonesia terhadap atau history Indonesia ke orang-orang di Amerika sini,” katanya.

Film tersebut kemudian terpilih untuk diputar di Samuel Goldwyn Theater—gedung yang sama tempat penyelenggaraan Academy Awards di Beverly Hills serta masuk seleksi Utah Film Festival.

“Akhirnya film aku juga ditayangin di Samuel Goldwyn Theater, itu di Oscar Theater di Beverly Hills ini juga. Dan ya, aku bangga bisa merepresentasikan Indonesia, apalagi cerita tentang ini,” ungkapnya.

4. Berharap orang bisa menatap sejarah dan jujur pada rasa sakit yang ada

Potret suntingan rekaman video peristiwa Tragedi 12 Mei 1998 Trisakti (humas.trisakti.ac.id)
Potret suntingan rekaman video peristiwa Tragedi 12 Mei 1998 Trisakti (humas.trisakti.ac.id)

Niko sadar filmnya tak akan bisa menyembuhkan luka. Tapi setidaknya, dia berharap karyanya bisa membuat orang berhenti sejenak, menatap sejarah, dan jujur pada rasa sakit yang dulu diabaikan.

“Luka itu harus dibuka, harus dikasih tahu ke orang lain, harus dikasih lihat ini yang terjadi. Kita harus menerima ini," ujar dia.

Kini, Glodok 98 masih berkeliling di festival film Amerika. Dia berharap bisa menayangkannya di Indonesia tahun depan, mungkin lewat platform digital agar bisa menjangkau generasi muda.

Eventually itu bakal buat publik juga, mungkin aku taruh di YouTube atau gimana, tapi aku mau pastiin orang-orang di Indonesia bisa akses film ini supaya mereka bisa tahu apa sih ceritanya. Dan generasi muda mereka pakai YouTube pokoknya. For me, this movie is for young generation to see whatever happens in 98,” ujarnya.

Di tangan Niko, sejarah 1998 bukan sekadar kisah kerusuhan atau kekerasan rasial. Dia menjadikannya panggilan untuk generasinya agar tak melupakan, agar berani menatap masa lalu tanpa ilusi, dan agar menyadari ingatan peristiwa 98.

Share
Topics
Editorial Team
Sunariyah Sunariyah
EditorSunariyah Sunariyah
Follow Us

Latest in News

See More

OTT Bupati Ponorogo, KPK Amankan Barang Bukti Uang Tunai

08 Nov 2025, 12:35 WIBNews