ICJR: Pidana Mati Tak Pernah Jadi Solusi Akar Masalah Korupsi

Jakarta, IDN Times - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menentang keras wacana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau aktor pemerintah lainnya yang ingin menggunakan hukuman mati sebagai solusi dari perilaku korupsi. Sebab, pidana mati tidak akan pernah menjadi jawaban dari akar masalah rasuah.
Direktur Eksekutif, ICJR, Erasmus A Napitupulu melalui cuitannya di media sosial terlihat geram lantaran pemerintah kembali menyampaikan narasi itu usai Menteri Sosial Juliari Peter Batubara resmi ditahan oleh komisi antirasuah karena diduga menerima suap senilai Rp17 miliar untuk program bantuan sosial.
Pidana hukuman mati, kata Erasmus, kerap digunakan oleh pemerintah sebagai narasi populis. Seolah-olah negara telah bekerja efektif dalam menanggulangi kejahatan, termasuk korupsi.
"Padahal, faktanya tidak ada satu pun permasalahan kejahatan yang dapat diselesaikan dengan menjatuhkan pidana hukuman mati. Contoh paling kongkrit terlihat dari kebijakan perang melawan narkotika pada 2015 yang agresif menerapkan hukuman mati. Hasilnya, hukuman tersebut tak berimbas pada penurunan angka peredaran narkoba," ungkap Erasmus melalui keterangan tertulis pada Minggu, 6 Desember 2020 lalu.
Sedangkan, dalam kasus rasuah yang melibatkan Mensos Juliari, alih-alih memberlakukan hukuman mati, ICJR mendorong agar pemerintah fokus memperbaiki sistem pengawasan dan kerja dalam penyaluran bansos. ICJR pun memaparkan bukti lainnya bahwa hukuman mati tidak efektif memberantas korupsi. Apa itu?
1. Negara yang sudah bebas dari korupsi tak lagi menggunakan pidana mati bagi koruptor

Erasmus kemudian mengutip data dari laporan kebijakan hukuman mati berjudul "Mencabut Nyawa di Masa Pandemik" yang dirilis pada Oktober 2020 lalu. Di dalam laporan itu, ICJR menjelaskan hukuman mati sama sekali tidak memiliki dampak positif terhadap pemberantasan korupsi di suatu negara.
"Hal itu terbukti berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2019. Negara-negara yang menduduki peringkat puncak atas keberhasilan menekan angka korupsi, pada kenyataannya tidak memberlakukan pidana hukuman mati. Hal itu bisa dilihat di Denmark, Selandia Baru, dan Finlandia," ungkap Erasmus.
Sementara, untuk Singapura, ia menjelaskan Negeri Singa tidak menerapkan hukuman mati bagi pelaku kasus korupsi. Hukuman maksimal pelaku korupsi di Singapura yakni bui tujuh tahun. Pidana mati diberlakukan untuk individu yang terlibat kasus terorisme dan narkotika.
"Singapura yang tidak menerapkan hukuman mati bagi pelaku kasus korupsi menjadi negara dengan IPK tertinggi di kawasan Asia Tenggara," tutur dia lagi.
Sebaliknya, negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi malah memiliki IPK yang rendah dan berada di peringkat bawah. Itu terlihat pada Indonesia (peringkat 85), Tiongkok (peringkat 80), dan Iran (peringkat 146).
2. Mantan Wakil Ketua KPK menyebut hukuman mati terhadap koruptor tak ada relevansi dengan pemberantasan korupsi

Pendapat serupa juga disampaikan oleh mantan Wakil Ketua KPK, Laode M. Syarif melalui pesan pendek kepada IDN Times pada Minggu, 6 Desember 2020. Ia mengatakan pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor tak ada sangkut pautnya dengan pemberantasan korupsi.
"Penerapan hukuman mati bagi koruptor justru akan menyulitkan Indonesia untuk bekerja sama dengan negara lain dalam memberantas korupsi," kata Syarif.
Selain itu, akan ada banyak negara yang menolak untuk bekerja sama dengan Indonesia bila pemerintah masih memberlakukan hukuman mati. Ia pun sepakat agar dilakukan pembaruan sistem pengawasan ketimbang bersikap reaktif.
Pria yang kini menjadi Direktur Eksekutif di LSM Kemitraan itu menyebut pasal yang digunakan oleh komisi antirasuah yaitu UU nomor 20 tahun 2001 pasal 12 sudah sangat berat. "Sebab, di pasal 12 bila terbukti bersalah, maka ancaman pidananya seumur hidup atau 20 tahun penjara," ujarnya lagi.
Ia pun menyebut dalam penyaluran insentif dalam menangani pandemik COVID-19, KPK cukup menjaga tiga komponen yaitu UMKM yang diberi kucuran dana Rp123,46 triliun, insentif bagi dunia usaha yang mendapat dana Rp120,61 triliun dan pembiayaan korporasi yang memperoleh dana Rp53,57 triliun.
3. ICJR menyarankan daripada memberlakukan hukuman mati bagi koruptor, sebaiknya pemerintah membenahi sistem pengawasan

Di sisi lain, Erasmus melihat mencuatnya lagi narasi hukuman mati bagi koruptor menandakan bahwa pemerintah berpikir pendek atas penanganan korupsi di Indonesia. Alih-alih memberlakukan hukuman mati, ICJR mendorong agar pemerintah melakukan pembenahan sistem pengawasan untuk mencegah korupsi. Sebab, di sektor itu, pemerintah belum bekerja dengan baik.
"Hal ini terbukti dengan terus bermunculannya kasus-kasus korupsi khususnya yang ada di lingkungan Kementerian Sosial," ujar Erasmus.
Menteri Sosial periode sebelumnya yakni Idrus Marham, kata dia, pada 2019 lalu terjerat kasus korupsi pembangunan PLTU Riau-1. Lalu, pada 2011, Menteri Sosial periode 2001-2009, Bachtiar Chamsyah, juga sempat tersandung kasus korupsi pengadaan sarung, sapi, dan mesin jahit.
"Jadi, seharusnya pemerintah fokus pada pembaruan sistem dan tidak hanya berfokus pada hukuman," katanya lagi.