ICJR Sarankan Dana Bantuan Korban Kekerasan Masuk Dalam RUU TPKS

Jakarta, IDN Times - Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) terus berlanjut usai disahkan menjadi RUU inisiatif DPR.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengungkapkan pembahasan RUU TPKS harus bertujuan memberikan penguatan hak yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual. Mulai dari aspek prosedural, hak layanan kesehatan sampai dengan pemulihan pada tingkat yang paling optimal.
“Dengan komprehensifnya hak korban kekerasan seksual hingga aspek pemulihan, maka negara harus menyediakan mekanisme khusus untuk pemenuhan hak korban. Skema tersebut dapat hadir dalam bentuk mekanisme Victim Trust Fund atau Dana Bantuan Korban Tindak Pidana, skema ini merupakan dana yang diterima negara dari penerimaan bukan pajak serta sanksi pidana finansial untuk diolah diberikan demi program pemenuhan hak korban,” kata Peneliti ICJR Maidina Rahmawati dalam keterangannya, dikutip Selasa (8/2/2022).
1. Negara harus hadirkan skema yang revolusioner

Skema victim trust fund atau dana bantuan korban dapat diperoleh dari penerimaan negara bukan pajak, lalu diolah untuk memberi layanan dan pemulihan korban. Dana ini bisa didistribusikan pada LPSK atau pun lembaga layanan sampai ke tingkat daerah di UPTD pemerintah daerah.
Dana ini juga bisa diberi pada korban untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan atau kerugian yang ditimbulkan. Termasuk dana ini bisa digunakan untuk membayar kompensasi kepada korban. Maidina mengatakan skema ini sudah banyak diperkenalkan.
ICJR dan IJRS, kata dia, mendukung pemerintah dan DPR untuk memperkenalkan mekanisme ini dalam RUU TPKS, ke depan mekanismenya dapat diatur dalam bentuk peraturan yang lebih teknis di bawah undang-undang.
“Negara harus menghadirkan skema revolusioner untuk memberikan pemulihan bagi korban kekerasan seksual,” ujarnya.
2. Menuntut peran mengelola penerimaan bukan pajak

Dia menjelaskan dana bantuan korban tindak pidana adalah skema khusus yang bukan menyerap APBN, namun menuntut peran negara mengelola penerimaan bukan pajaknya untuk korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual.
Sebagai catatan, berdasarkan Laporan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sepanjang 2020 penilaian restitusi yang berjumlah sekitar Rp7 miliar, sedangkan angka yang dikabulkan oleh putusan pengadilan hanya Rp1,3 miliar.
“Lalu yang lebih memprihatinkan, pencapaian eksekusi restitusi untuk korban malah kurang dari 10 persen dari yang dijatuhkan pengadilan, yaitu hanya di angka sekitar Rp101 juta,” ujar Maidina.
3. Mandeknya eksekusi restitusi karena sejumlah faktor

Efektivitas restitusi menimbulkan beberapa catatan, salah satunya karena sulitnya merampas aset pelaku untuk pembayaran restitusi sampai dengan keterbatasan harta yang dapat dirampas dari pelaku untuk ganti kerugian korban.
Maidina menjelaskan, mayoritas pelaku kekerasan seksual adalah orang terdekat korban, dengan dinamika ini maka restitusi yang dibebankan kepada pelaku akan memberikan beban juga ke korban secara finansial, termasuk juga dengan kemungkinan pelaku yang berekonomi rentan.
“Pembiayaan layanan dan pemulihan korban jelas perlu dikembangkan. Negara harus memikirkan cara untuk menghasilkan pengelolaan dana untuk pemulihan korban secara lebih kreatif dan tidak membebani APBN,” ujar dia.
4. Manfaatkan penerimaan negara bukan pajak

Maidina mengutip data dari penelitian PPH Unika Atma Jaya 2020 terkait “Analisis Biaya dan Dampak Kekerasan terhadap Perempuan di Enam Kota/Kabupaten Indonesia, yaitu Kabupaten Bener Meriah, Kota Batam, Kota Surakarta, Kabupaten Maros, Kota Ambon, dan Kabupaten Belu”.
Dijelaskan bahwa alokasi program penanganan kekerasan terhadap perempuan oleh Pemda dalam studi tersebut berada di angka Rp86.000 hingga Rp223.000 per korban dalam satu tahun, terdiri dari pemberian layanan di sektor hukum, kesehatan, dan sosial.
“Kebutuhan biaya di atas jelas akan memakan alokasi APBN/APBD cukup banyak. Angka ini memang membebani pemerintah, namun jika dibandingkan penerimaan negara total, maka seharusnya alokasi penanganan korban dapat ditingkatkan. Sebagai catatan, berdasarkan data Kementerian Keuangan, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 2021 mencapai R452 triliun atau 151,6 persen dari target APBN 2021 sebesar Rp298,2 triliun. Hal ini peluang besar untuk menyediakan skema bantuan korban,” pungkas dia.