Istana Enggan Komentari Tatib DPR yang Bisa Evaluasi MK

- Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan enggan mengomentari tatib DPR yang bisa mengevaluasi pejabat negara, menyatakan itu ranah internal.
- Tata tertib baru DPR menuai polemik publik karena tak disampaikan ke ruang publik dan dianggap inkonstitusional oleh sejumlah pakar.
- Revisi tatib tersebut memungkinkan DPR memberikan rekomendasi pemberhentian jabatan pejabat yang dianggap bertentangan dengan aturan, tetapi hasil akhir tetap ada di mekanisme institusi masing-masing.
Jakarta, IDN Times - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, enggan mengomentari tata tertib (tatib) DPR RI yang bisa mengevaluasi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya, tata tertib itu merupakan ranah internal.
"Kita tidak mau mengomentari tatib DPR. Kan tatib mengikat ke dalam organisasi DPR," ujar Hasan di kantornya, Jakarta, Jumat (7/2/2025).
1. Hasan Nasbi anggap tak ada polemik

Menurutnya, tata tertib itu tidak ada polemik. Hasan menganggap, polemik hanya ada di media saja.
"Sejauh ini saya rasa gak ada polemik. Polemiknya ada di media saja. Diantara pemerintah dan DPR sejauh ini tidak ada polemik," kata dia.
2. Isi tatib baru DPR

Sebelumnya, DPR tiba-tiba melakukan revisi terhadap peraturan DPR RI nomor 1 tahun 2020 tentang tata tertib. Revisi itu berupa tambahan pasal yakni 228A terkait kewenangan parlemen untuk mengevaluasi pejabat negara yang telah ditetapkan melalui hasil uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di lembaga legislatif tersebut.
Pengesahan tatib baru tersebut dilakukan ketika digelar sidang paripurna pada 4 Februari 2025 lalu. Wakil Ketua Badan Legislatif Sturman Panjaitan membacakan laporan bahwa perubahan tatib tersebut telah disetujui oleh semua fraksi di parlemen. Itu semua telah disepakati dalam rapat baleg pada 3 Februari 2025.
"Pada rapat Badan Legislasi tanggal 3 Februari 2025 telah dibahas dengan intensif dan dibacakan pandangan mini fraksi atas rancangan peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia tentang perubahan atas Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Dengan menyatakan persetujuan dari seluruh fraksi atas rancangan perubahan peraturan Tata Tertib tersebut," ujar Sturman ketika itu dan dikutip dari YouTube Parlemen TV.
Ia mengatakan ada penambahan substansi di antara pasal 228 dan 229 yaitu 228A menyangkut kewenangan DPR. Bunyi pasal yang dimaksud yakni satu 'dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR tentang hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.' Poin kedua, yaitu 'hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR dan ditindak lanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.'
3. DPR bisa berikan rekomendasi untuk memberhentikan pejabat negara

Pengesahan tata tertib baru DPR ini menuai polemik dari publik. Sebab, proses revisi tatib tersebut tak pernah disampaikan ke ruang publik. Selain itu, isinya dianggap oleh sejumlah pakar inkonstitusional.
Ketika dikonfirmasi kepada Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bob Hasan, melalui tatib tersebut bukan berarti parlemen bisa memberhentikan pejabat negara yang disahkan lewat mekanisme sidang paripurna. Evaluasi yang dimaksud yakni memberikan rekomendasi pemberhentian jabatan yang dianggap bertentangan dengan aturan.
Ia kemudian memberikan contoh calon hakim agung di Mahkamah Agung (MA) yang melakukan uji kepatutan dan kelayakan. Sejak tatib itu disahkan, maka DPR RI bisa mengembalikan usulan calon hakim ke Komisi Yudisial. Namun, hasil akhir, kata Bob, tetap ada di mekanisme institusi masing-masing.
"Ya, itu kan ujungnya masalah pemberhentian dan keberlanjutan daripada pejabat atau calon yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR, (kewenangannya) di pejabat yang berwenang. Mekanisme yang berlaku (untuk memberhentikan) ada di pejabat yang berwenang ya kan? Misalnya, dalam kasus hakim Mahkamah Agung," tutur dia pada Rabu (5/2/2025).