Dasco Tegaskan Tatib Baru DPR Tak Beri Kewenangan Copot Pejabat Negara

- Dasco Ahmad membantah tata tertib baru DPR memberi kewenangan mencopot pejabat negara melalui fit and proper test.
- Ketua Badan Legislasi Bob Hasan menyatakan bahwa DPR tak memiliki kewenangan untuk mencopot pejabat yang telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
- Pengurus organisasi GNB, Lukman Hakim Saifuddin menilai revisi tata tertib DPR bersifat inkonstitusional dan melebihi kewenangan parlemen.
Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad membantah tata tertib baru yang disahkan pada Selasa kemarin memberi kewenangan bagi parlemen untuk mencopot pejabat negara yang melalui uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test). Bantahan itu disampaikan usai tatib baru yang tertuang di dalam Peraturan nomor 1 tahun 2020 tersebut menimbulkan polemik.
"Itu kan tata tertib DPR sebagai turunan dari undang-undang. Kami itu cuma menambahkan klausul, kan kami yang (lakukan) fit and proper test (calon). Jika sewaktu-waktu diperlukan, maka kami bisa lakukan fit and proper test ulang terkait dengan hal-hal yang luar biasa," ujar Dasco di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada Kamis (6/2/2025).
Ia menambahkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh parlemen terhadap para pejabat negara yang dilakukan oleh parlemen, hanya bersifat rekomendasi. Keputusan akhir apakah rekomendasi itu akan ditindak lanjuti atau tidak, ada di tangan pemerintah.
"Nah, tapi itu kan juga tergantung nanti dari pemerintahnya menindak lanjuti atau tidak. Karena itu kan bukan keputusan kami sendiri juga. Kan, sifatnya itu cuma rekomendasi," tutur dia.
1. Ketua Baleg berubah sikap dan sebut tatib baru hanya bersifat evaluasi semata

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Ketua Badan Legislasi DPR RI, Bob Hasan. Politisi Partai Gerindra itu mengubah pernyataannya dan menyebut DPR tak memiliki kewenangan untuk mencopot pejabat yang pernah menjalankan uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Bob menyebut keputusan akhir apakah pejabat tersebut dicopot atau tidak usai terdapat evaluasi, ada di tangan pemegang kekuasaan tertinggi.
"Jadi, bukan mencopot. Pada akhirnya bahwa pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu yang berhak (untuk mencopot). Bukan DPR RI yang mencopot," kata Bob.
"Tapi, kami melakukan evaluasi karena kami punya kewenangan atas fit and proper tes atau uji kelayakan. Atas itu pula kami bisa meloloskan calon (pejabat) itu. Maka, kami juga bisa memberikan satu evaluasi dan itu babnya ada. Memang, itu bab evaluasi," tutur dia.
2. Presiden yang berhak mencopot pejabat negara

Lebih lanjut, Bob mengatakan untuk menentukan apakah seorang pejabat negara dicopot atau tidak, maka itu semua tergantung kepada pemegang kekuasaan tertinggi yaitu presiden. Bila menyangkut hakim, maka kewenangannya ada di Komisi Yudisial (KY).
"Itu memang sudah kewenangan dalam tata tertib kami. Jadi, berlaku dan mengikat ke dalam. Tetapi, dengan mekanisme yang berlaku itu dilanjutkan lah dengan memberikan rekomendasi hasil evaluasi secara mufakat kepada instansi yang berwenang," tutur dia.
Padahal, Bob sebelumnya mengatakan aturan yang tertuang di dalam tatib baru mengikat ke pejabat yang mereka evaluasi. Maka, rekomendasi pencopotan pejabat, kata Bob pada Rabu kemarin, harus dijalankan.
"Aturan tersebut mengikat (ke pejabat yang dievaluasi). Seperti halnya ketika calon tersebut melakukan fit and proper test. Sehingga hasil evaluasi kinerja pejabat setelah menjabat juga memiliki kekuatan yang sama," kata dia pada Rabu kemarin.
Sementara, isi dari penambahan klausul yang disepakati pada Selasa kemarin yakni poin pertama, 'dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR tentang hasil pembahasan komisi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 227 ayat (2), DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.'
Poin kedua, yaitu 'hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR dan ditindak lanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.'
3. Tata tertib baru DPR dinilai inkonstitusional

Pengurus organisasi Gerakan Nurani Bangsa (GNB), Lukman Hakim Saifuddin menilai revisi tata tertib DPR bersifat inkonstitusional. "DPR, MA, MK dan KPK itu lembaga negara yang setara dan mandiri. Yang satu bukan lah subordinasi dari lembaga lainnya," ujar Lukman di dalam keterangan tertulis, Rabu kemarin.
Maka, hak dan kewenangan DPR untuk mengajukan usulan calon hakim MK, menyetujui calon hakim MA atau memilih komisioner komisi antirasuah konteksnya terbatas dalam hal pemilihan anggota lembaga negara semata. Sama sekali tidak ada kewenangan DPR untuk memberhentikan para pejabat lembaga negara yang dimaksud.
"Mekanisme pemberhentian mereka diatur tersendiri di dalam undang-undang masing-masing lembaga negara," kata mantan Menteri Agama itu.
Lebih lanjut, Lukman mengatakan, bila DPR memaksa untuk memberhentikan pejabat negara yang mekanisme pemilihannya melalui DPR, maka Panglima TNI, Kapolri dan para duta besar juga bisa diberhentikan oleh parlemen sewaktu-waktu.
"Bila itu yang terjadi, maka penerapan sistem ketatanegaraan kita bisa menjadi kacau balau," kata Lukman.
Ia menggarisbawahi tata tertib DPR seharusnya hanya mengatur dan mengikat ke dalam atau internal parlemen saja. Parlemen tak bisa membuat tata tertib yang mengatur dan mengikat negara lain di luar dirinya.