Jusuf Kalla Jadi Rujukan untuk Selesaikan Polemik 4 Pulau Aceh Jadi Milik Sumut

- Kemendagri gelar rapat lintas instansi
- JK sebut penetapan 4 pulau jadi milik Sumut cacat formil
- Tidak bisa penetapan wilayah menggunakan Kepmendagri
Jakarta, IDN Times - Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri), Bima Arya menjelaskan, pernyataan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla (JK), menjadi rujukan penting dalam menangani sengketa empat pulau yang diperebutkan Aceh dan Sumatra Utara.
Bima mengatakan, pernyataan Jusuf Kalla yang merujuk pada dokumen Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 menjadi bahan pertimbangan rapat forum lintas instansi yang digelar pada Senin (16/6/2025).
"Kami sangat melihat apa yang disampaikan Pak Jusuf Kalla itu penting untuk menjadi rujukan, karena mengacu kepada dokumen Helsinki dan Undang-Undang 1956,” ujar Bima di Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta Pusat, Senin (16/6/2/25).
“Namun demikian tentu seperti dokumen-dokumen yang lainnya, perlu kita dalami dan kita pelajari masing-masing substansi, ke arah mana petunjuk untuk kepemilikan yang lebih permanen," lanjut dia.
1. Kemendagri gelar rapat lintas instansi

Sebagaimana diketahui, Kemendagri bersama Kementerian Pertahanan, TNI AL, TNI AD, dan Badan Informasi Geospasial menggelar forum rapat lintas instansi membahas polemik empat pulau yang diperebutkan Aceh dan Sumut di Kantor Pusat Kemendagri, Jakarta Pusat.
Rapat tersebut tidak dihadiri Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, karena sedang mendampingi Presiden Prabowo Subianto dalam kunjungan ke Singapura.
Bima menyebut, dalam rapat tersebut ditemukan ada data baru mengenai nasib empat pulau tersebut. Namun ia hanya menyebut, hasil rapat tersebut akan dilaporkan Mendagri Tito kepada Prabowo.
"Data yang baru ini, novum ini tentu akan kami jadikan melalui satu kelengkapan berkas untuk kemudian kami sampaikan, kami laporkan ke Bapak Mendagri untuk kemudian beliau sampaikan kepada Bapak Presiden. Kami sore ini menyepakati bahwa keputusan akhir adalah didapat dari data-data yang hari ini dikumpulkan oleh forum rapat lintas instansi ini untuk kemudian Pak Menteri laporkan kepada Bapak Presiden. Demikian yang bisa kita sampaikan," ungkap Bima.
2. JK sebut penetapan 4 pulau jadi milik Sumut cacat formil

Sebelumnya, Jusuf Kalla mengatakan, penetapan empat pulau di Aceh menjadi milik Sumut adalah cacat formil. Sebab, perbatasan wilayah Aceh sudah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Daerah Otonom Provinsi Aceh bahwa keempat pulau itu masuk ke dalam wilayah Aceh.
"Anda benar (cacat formil), bahwa ini Aceh termasuk kabupaten-kabupatennya dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956," ujar JK di kediamannya, Jakarta, Jumat (13/6/2025).
3. Tidak bisa penetapan wilayah menggunakan Kepmendagri

JK mengaku sudah berbicara dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Pada pertemuan itu, JK mengatakan, empat pulau itu tidak bisa ditetapkan sebagai milik Sumut menggunakan Keputusan Mendagri (Kepmen).
"Mendagri Pak Tito, mengenai hal ini. Wah, tentu karena ini didirikan dengan undang-undang, tidak mungkin, itu tentu tidak bisa dibatalkan atau dipindahkan dengan Kepmen karena undang-undang lebih tinggi daripada Kepmen," ucap dia.
"Kalau mau mengubah itu, dengan Undang-Undang juga. Hanya karena analisis perbatasan," sambungnya.
JK mengatakan, selama ini masyarakat di empat pulau tersebut membayar pajak ke Kabupaten Aceh Singkil. Menurut dia, ada bukti pembayaran pajak tersebut.
"Selama ini orang sana, pulau itu bayar pajaknya ke Singkil. Ada, nanti ada teman yang akan membawakan bukti pajak dia ke Singkil," kata dia.
JK mengatakan, secara historis empat pulau itu memang masuk wilayah Aceh. JK menyampaikan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 dibuat ketika masa pemerintahan Presiden Sukarno, karena saat itu Aceh tidak mau bergabung dengan Provinsi Sumatra Utara.
JK kemudian bicara Perjanjian Helsinki, yakni perjanjian yang digunakan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perjanjian tersebut sepakat tidak akan ada pemekaran di wilayah Aceh.
Artinya, tidak ada pengurangan atau penambahan wilayah di Aceh sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956.
"Kemudian, bagaimana perundingan di Helsinki? Ini adalah kesepakatan bersama antar pemerintah dan GAM, dua-dua untuk sepakat. Apa kepentingan di Aceh? Ingin agar jangan ada katakanlah pemekaran kaya di Papua, Karena kalau ada pemekaran lagi di Aceh, maka terpecah Aceh. Timbul lagi masalah baru. Jadi, pemerintah setuju," ucap JK.