Kesulitan Pengungsi Perempuan, Depresi hingga Terisolasi

Jakarta, IDN Times - Dalam rangka memperingati Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (WPS), Komnas Perempuan mengajak semua pihak lebih memperhatikan perempuan pengungsi, baik dalam negeri (IDPs) maupun luar negeri (refugees).
Komisioner Komnas Perempuan Rainy M Hutabarat menyampaikan, pemantauan ke lokasi penampungan pengungsi luar negeri di Makassar dan Tangerang Selatan, dirinya menemukan sejumlah tantangan, mulai dari persoalan kesehatan mental, banyak pengungsi yang merasa depresi karena lamanya menunggu izin dari negara tujuan, hingga ketergantungan yang mengakibatkan rasa tidak berdaya.
Meskipun mereka memiliki pendidikan dan keahlian khusus, izin untuk bekerja tidak tersedia. Ruang gerak pengungsi menjadi sangat terbatas selama bertahun-tahun yang pada akhirnya menyebabkan para pengungsi merasa seperti terpenjara.
“Secara khusus, perempuan refugee yang tinggal sendiri atau menjadi orang tua tunggal, kerap mengalami pelecehan seksual secara verbal baik dari sesama pengungsi maupun dari masyarakat lokal. Perempuan refugee juga mengalami kekerasan dalam rumah tangga,” kata Rainy, dikutip Kamis (7/11/2024).
1. Catatan lenyapnya hak-hak dasar warga pengungsi Papua

Data Human Rights Monitor (HRM) mencatat hingga September 2024, ada 79.867 warga sipil Papua tersebar di Nduga, Kabupaten Pegunungan Bintang, Intan Jaya, Yahukimo, Fakfak. Sementara, pengungsi terbaru yang tercatat antara Juni-Agustus 2024, ada di Kabupaten Maybrat dan Puncak.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja di Indonesia (KWI) pada September 2024 mencatat, hak-hak dasar warga pengungsi Papua termasuk perempuan lenyap.
Sebagian pengungsi terpaksa hidup berpindah-pindah, adanya intimidasi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dan ancaman terhadap keluarga dan kekurangan pangan.
Selain itu, mereka juga merasakan akses yang terbatas pada layanan kesehatan, termasuk layanan psikis untuk pemulihan trauma dan depresi, lenyapnya ruang pencarian pendapatan dan kemiskinan ekonomi, serta ketiadaan akses pada pendidikan gratis.
2. Perempuan refugee harus diberi layanan keadilan dan pemulihan yang dibutuhkan

Komisioner Komnas Perempuan lainnya yakni Siti Aminah Tardi, mengatakan jika tantangan juga dihadapi pengungsi luar negeri dan dalam negeri khususnya dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksual. Perempuan pengungsi yang hamil dalam proses pengusiran dan pengungsian, acap mengalami keterbatasan memeriksa kehamilan dan melahirkan di lokasi pengungsian.
Mereka juga alami kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, terjadi di pengungsian seperti perkawinan anak, kekerasan dalam rumah tangga, pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan (P2GP), yang diperkuat karena tafsir keagamaan dan budaya dari pengungsi.
“Walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi mengenai Pengungsi 1951, namun dalam konteks instrumen HAM internasional, perlindungan dan pemenuhan hak-hak pengungsi khususnya perempuan pengungsi, anak-anak dan kelompok rentan, Indonesia telah menjadi negara-pihak CEDAW, Konvensi Hak Anak, Kovenan Hak Ekonomi dan Sosial Budaya, Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi Hak-hak Sosial Politik. Karenanya, perempuan refugee harus diberikan layanan keadilan dan pemulihan yang dibutuhkannya,” ujarnya.
3. Indonesia telah mengadopsi WPS 1325

Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (WPS), mengakui pentingnya perspektif gender dalam upaya perdamaian dan keamanan global, dengan fokus pada empat pilar: partisipasi, perlindungan, pencegahan, dan pemulihan.
Komite CEDAW juga mengeluarkan Rekomendasi Umum No 30 mengenai perempuan dan konflik. Konflik yang dimaksud mencakup perang antar negara, konflik sosial, dan perebutan sumber daya alam yang menyebabkan pengungsian.
Menurut UNHCR, jumlah pengungsi dunia terus meningkat, dengan lebih dari 50 juta pada 2023, termasuk 12.295 pengungsi terdaftar di Indonesia.
Indonesia telah mengadopsi WPS 1325, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang menjadi dasar Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam Konflik Sosial (RAN P3AKS).