Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kisruh Natuna, PBNU Desak Pemerintah Tidak Lembek pada Tiongkok

Rais 'Aam PBNU Ma'ruf Amin (kedua kanan) didampingi Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj (kedua kiri), Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (kiri), dan Sekjen PBNU Helmy Faishal (kanan) memberikan keterangan pers di gedung PBNU, Jakarta, Kamis (9/8/2019). (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Jakarta, IDN Times - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak pemerintah tidak lembek dalam bersikap menghadapi pemerintah Tiongkok terkait konflik teritorial di wilayah perairan Natuna.

NU menyadari Tiongkok selama ini menjadi investor terbesar ketiga di Indonesia. Namun, pemerintah RI tidak harus mengurangi sikap tegas terkait kasus Natuna terhadap Tiongkok.

"Meskipun China merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, Nahdlatul Ulama meminta pemerintah RI tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi," kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/1).

1. PBNU mendesak pemerintah Tiongkok berhenti melakukan tindakan provokatif

PBNU saat menerima kunjungan pimpinan MPR RI. (NU Online)

PBNU mendesak agar pemerintah Tiongkok berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan Indonesia. Sebab, wilayah tersebut telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS, United Nation Convention for the Law of the Sea1982).

"Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994. Karena itu tindakan Coast Guard RRT mengawal kapal nelayan berbendera China di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima," kata Said dalam keterangan tertulisnya.

2. Klaim sepihak sempat jadi pangkal sengketa dengan beberapa negara

KRI Teuku Umar-385 melakukan peran muka belakang usai mengikuti upacara Operasi Siaga Tempur Laut Natuna 2020 di Pelabuhan Pangkalan TNI AL Ranai, Natuna, Kepulauan Riau. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Pemerintah Tiongkok, menurut PBNU, secara sepihak telah mengklaim berhak atas Kepulauan Nansha atau Spratly yang masuk dalam nine dash line  atau sembilan garis putus-putus pertama kali pada peta 1947.

Klaim sepihak ini disebut-sebut sempat menjadi pangkal sengketa puluhan tahun yang melibatkan sejumlah negara seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei Darussalam.

Filipina sebelumnya telah memperkarakan Tiongkok atas tindakannya yang agresif di perairan Laut Selatan China pada 2013. Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag pada 2016, akhirnya memutuskan seluruh klaim teritorial Tiongkok atas Laut Selatan China tidak memiliki dasar hukum, termasuk konsep nine dash line dinyatakan bertentangan dengan UNCLOS. Namun keputusan tersebut ditolak Beijing.

PBNU menyatakan diri mendukung sikap tegas pemerintah Indonesia terhadap Tiongkok, dalam hal ini yang telah dilakukan Menteri Luar Negeri dan Badan Keamanan Laut (Bakamla). Termasuk dalam hal mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di seluruh perairan Indonesia sebagai manifestasi dari Archipelagic State Principle yang dimandatakan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.

3. PBNU mengingatkan keutuhan NKRI adalah harga mati

Pergerakan kapal nelayan asing melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU Lanud Sultan Hasanudin Makassar di Laut Natuna. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

PBNU juga mengingatkan keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, baik di darat maupun di laut, serta udara adalah harga mati. Dalam jangka panjang, PBNU bahkan mendorong pemerintah Indonesia untuk mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik. Karena kedudukan laut sangat strategis sebagai basis pertahanan.

"Karena itu pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan," kata Said.

Dia mengatakan jika pemerintah RI tidak bersungguh-sungguh melaksanakan konsep pembangunan berparadigma maritim, termasuk soal geopolitik, ekonomi, dan pertahanan, maka hal ini akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensi untuk maju dan sejahtera atau bahkan memimpin dunia sebagai bangsa bahari.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us