Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Koalisi Masyarakat Sipil Desak DPR Setop Pembahasan Revisi UU TNI

Ilustrasi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi)
Intinya sih...
  • Revisi UU TNI dikhawatirkan membuka peluang kembalinya dwifungsi TNI
  • Koalisi masyarakat sipil menyoroti usulan perubahan pasal 47 ayat (2) yang memperluas penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga serta menambah masa pensiun prajurit.
  • Usulan perubahan tersebut dinilai akan mengakibatkan kemunduran bagi TNI, menciptakan inefisiensi, politisasi militer, dan bertentangan dengan cita-cita reformasi 1998.

Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak DPR agar menghentikan pembahasan mengenai revisi Undang-Undang nomor 34 tahun 2004 mengenai TNI. Mereka khawatir revisi UU TNI bakal membuka peluang kembalinya dwifungsi TNI. Apalagi pada 13 Februari 2025 lalu, DPR telah menerima surat dari Presiden Prabowo Subianto untuk memulai pembahasan revisi UU TNI. 

"Berdasarkan rancangan revisi UU TNI 2024 yang diperoleh Koalisi Masyarakat Sipil, terdapat beberapa perubahan yang akan mengembalikan peran dan fungsi sosial serta politik TNI. Sehingga, TNI akan menjadi tulang punggung pemerintahan seperti era Orde Baru," demikian pernyataan koalisi di dalam keterangan tertulis pada Jumat (21/2/2025).

Mereka mengatakan perubahan di dalam UU TNI dikhawatirkan dapat memperluas penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga. Selain itu, revisi UU TNI juga akan menambah masa pensiun prajurit. 

"Koalisi memandang langkah ini menunjukkan cara pandang Prabowo terhadap sektor pertahanan yang masih sangat konservatif, tradisional dan non-reformis," katanya. 

Mengapa menurut koalisi perubahan di dalam pasal-pasal tersebut dianggap dapat membawa kemunduran bagi TNI?

1. Revisi UU TNI bakal membuka peluang lebih lebar bagi prajurit duduk di instansi sipil

Ilustrasi prajurit TNI. (IDN Times/M.Idris)

Poin pertama yang disoroti oleh koalisi masyarakat sipil yaitu soal usulan perubahan pasal 47 ayat (2) yang mengatur instansi sipil yang boleh diisi oleh prajurit TNI. Di dalam UU TNI yang lama ada sejumlah jabatan di 10 instansi sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI. Dikhawatirkan jumlah instansi yang dapat diisi oleh prajurit TNI bisa bertambah dalam UU yang direvisi. 

"Penambahan itu lewat frasa 'serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan presiden.' Pasal tersebut membuka peluang yang cukup luas dan bisa memberikan ruang kepada prajurit TNI aktif untuk ditempatkan pada kementerian atau lembaga di luar dari 10 kementerian yang telah ditetapkan di UU TNI tahun 2004," kata koalisi. 

Koalisi menilai usulan untuk mengubah pasal 47 ayat (2) sebenarnya adalah upaya Prabowo untuk melegitimasi penempatan prajurit TNI aktif yang semula sudah dilakukan secara tidak sah dan bertentangan dengan UU TNI tahun 2004. Mereka memberikan contoh dalam penunjukkan Mayjen TNI Novi Helmy sebagai Direktur Perum Bulog dan Mayor Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet. 

Bahkan, Prabowo rela melakukan akrobat hukum demi bisa menjustifikasi penunjukkan Teddy sebagai Sekretaris Kabinet meskipun masih berstatus prajurit TNI aktif. Hal itu dilakukan dengan cara mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 148 tahun 2024 tentang Kementerian Sekretariat Negara. 

"Di dalam pasal 48 ayat (1) Perpres a quo, Sekretaris Kabinet disebutkan menjadi bagian dari Sekretariar Militer Presiden. Pengintegrasian dan/atau menempatkan Seskab sebagai bagian dari Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres) berimplikasi terhadap legitimasi penempatan prajurit TNI pada jabatan Seskab 'tertular' dari legitimasi penempatan jabatan Sesmilpres," kata koalisi. 

Hal itu lantaran di dalam UU TNI tahun 2004, posisi Sesmilpres masuk ke dalam ketentuan jabatan yang boleh diisi oleh prajurit TNI aktif. Poin tersebut tercantum di pasal 47 ayat (2). 

"Tetapi, perubahan regulasi itu tentu tidak serta merta mengubah analisis jabatan Seskab relevan untuk diduduki oleh prajurit TNI. Artinya, mudah menganalisisnya bahwa perubahan ketentuan tersebut tidak dilakukan berdasarkan relevansi dan urgensinya," tutur mereka. 

2. Penambahan masa pensiun dikhawatirkan bisa tambah beban anggaran

Ilustrasi anggaran (IDN Times/Aditya Pratama)

Lebih lanjut, koalisi menyoroti pasal 53 ayat (2) yang menambah masa usia pensiun prajurit TNI. Semula untuk prajurit TNI di level perwira tinggi, usia pensiun berubah dari 58 tahun menjadi 60 tahun. Sedangkan, prajurit TNI di level bintara dan tamtama, berubah dari 53 tahun menjadi 58 tahun. 

"Usulan tersebut akan memicu inefisiensi pada tubuh TNI dan dapat menambah beban anggaran di sektor pertahanan. Belum lagi menghambat regenerasi dan membuat macet jenjang karier dan kepangkatan," ujar koalisi masyarakat sipil. 

Bila perubahan pasal tersebut diakomodasi oleh parlemen maka akan melanggengkan masalah klasik di mana ada penumpukan perwira TNI non-job. Alih-alih melakukan kebijakan percepatan pensiun terhadap perwira TNI non-job, perubahan usia, kata koalisi, akan berpotensi memberdayakan mereka di luar instansi militer seperti pada jabatan sipil dan urusan sipil-domestik lainnya. 

3. Koalisi khawatir ada politisasi militer di balik penambahan masa dinas perwira tinggi

Ilustrasi prajurit TNI AD ketika bertugas di Papua. (Dokumentasi Dinas Penerangan TNI AD)

Poin lain yang disinggung oleh koalisi yakni kekhawatiran adanya upaya politisasi militer yang tertuang di dalam usulan pasal 53 ayat (3) draf revisi UU TNI. Di dalam ayat tersebut tertulis 'khusus untuk perwira tinggi bintang empat, prajurit dapat diperpanjang masa dinas keprajuritannya maksimal dua kali yang ditetapkan melalui keputusan presiden.' Hal tersebut, kata koalisi, menyebabkan perwira tinggi TNI bintang empat itu rentan digunakan dalam agenda politik kekuasaan. 

"Apalagi Prabowo juga memiliki latar belakang militer. Langkah ini semakin memperkuat dugaan bahwa revisi UU TNI didorong oleh kepentingan elit tertentu, bukan demi profesionalisme TNI. Bila revisi undang-undang ini tetap dijalankan, maka Indonesia akan menghadapi ancaman kembalinya dwifungsi TNI dalam politik dan pemerintahan," kata koalisi. 

Hal itu tentu bertentangan dengan cita-cita reformasi 1998. Berdasarkan pandangan itu, maka koalisi masyarakat sipil di sektor reformasi keamanan mendesak pemerintah dan DPR tidak lagi melanjutkan pembahasan revisi UU TNI. 

"Lebih baik fokus pada agenda reformasi TNI yang mengalami regresi, membentuk UU Tugas Perbantuan, reformasi sistem peradilan militer dan restrukturisasi komando teritorial. Selain itu lakukan evaluasi dan koreksi menyeluruh terhadap penyimpangan tugas pokok TNI," kata koalisi. 

TNI juga perlu membangun sistem pengawasan internal dan eksternal terhadap TNI yang efektif, akuntabilitas dan transparan. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Dwifantya Aquina
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us