Koalisi Sipil Minta DPR Stop Bahas RUU TNI, Polri dan Kejaksaan

- Koalisi sipil meminta DPR menolak RUU yang menambah kewenangan TNI, Polri, dan Kejaksaan karena potensi penyalahgunaan wewenang.
- Penambahan kewenangan dapat membahayakan iklim penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia serta cenderung melanggengkan praktik impunitas.
- Reformasi penegakan hukum harus dilakukan dengan memperkuat lembaga pengawas independen, bukan dengan menambah kewenangan lembaga penegak hukum dan militer.
Jakarta, IDN Times - Koalisi masyarakat sipil meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menambah kewenangan lembaga penegak hukum Kepolisian dan Kejaksaan serta lembaga militer TNI melalui Revisi Undang-Undang (RUU).
Koalisi sipil yang terdiri dari PBHI, Imparsial, Elsam, HRWG, Walhi, Centra Initiative, Koalisi Perempuan Indonesia, Setara Institute dan BEM SI Kerakyatan, menilai rencana penambahan kewenangan yang terjadi saat ini sangatlah keliru.
Ketua PBHI Julius Ibrani mengatakan hal itu dikarenakan dengan kewenangan yang ada saat ini, ketiga lembaga itu justru seringkali melakukan penyimpangan seperti korupsi dan kekerasan.
"Kami mendesak pada DPR dan pemerintah untuk menghentikan dan menolak pembahasan RUU Polri, RUU Kejaksaan dan RUU TNI," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (9/2/2025).
1. Kasus Pinangki hingga pemerasan DWP

Julius mencontohkan, Kejaksaan Agung misalnya sempat dihebohkan oleh aksi korupsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang menerima suap Rp8,1 miliar dari buronan kasus korupsi Bank Bali, Djoko Tjandra.
Sementara itu, sejumlah anggota TNI juga terlibat dalam aksi korupsi pada jabatan sipil seperti kasus yang menyeret mantan Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsdya Henri Alfiandi.
Polri juga dinodai dengan kasus pemerasan yang menyasar sejumlah warga negara Malaysia konser DWP di JIExpo Kemayoran beberapa waktu lalu. Oleh sebab itu, Julius mengaku pihaknya khawatir apabila ketiga RUU itu disahkan hanya akan menambah daftar panjang penyalahgunaan wewenang.
Di sisi lain, kata dia, penambahan kewenangan itu juga bisa membahayakan iklim penegakan hukum dan demokrasi di Indonesia jika akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan politik oleh pemerintah yang sedang berkuasa.
"Yang kita butuhkan saat ini adalah membangun akuntabilitas dan transparansi dengan salah satu cara memperkuat lembaga lembaga independen yang ada untuk mengawasai mereka," tutur Julius.
2. Indonesia berada di peringkat ke-68 Indeks Rule of Law 2024

Sementara itu, Julius mengatakan berdasarkan Indeks Rule of Law 2024 yang dirilis oleh World Justice Project (WJP), Indonesia berada di peringkat ke-68. Posisi ini justru menurun dari tahun sebelumnya yang berada di urutan 66 atau mengalami penurunan 0,53 poin.
Ia menegaskan evaluasi sistem pengawasan internal bagi masing lembaga penegak hukum dan militer menjadi penting lantaran selama ini cenderung melanggengkan praktik impunitas.
Pengawasan internal yang lemah juga dapat berdampak pada pembiaran atau pelanggoran hukuman terhadap aksi-aksi pelanggaran pidana yang dilakukan oleh anggota penegak hukum dan militer.
Sejalan dengan itu, kata dia, pemerintah dan DPR juga perlu menguatkan kepada lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, Komnas HAM, hingga Komnas Perempuan.
"Untuk dapat mengawasi, memproses, dan melakukan penindakan bagi para penegak hukum menyalahi kode etik atau melakukan pelanggaran," jelas Julius.
"Perlu dipastikan bahwa lembaga pengawas external ini dapat bekerja secara efektif yang dilengkapi dengan kewenangan yang memadai dan sumberdaya yang cukup," imbuhnya.
3. Lembaga pengawas independen perlu diperkuat

Julius menegaskan, reformasi penegakan hukum tidak dapat dilakukan dengan menambah kewenangan, tetapi dengan membangun akuntabilitas dengan memperkuat lembaga pengawas independen.
"Alih-alih melakukan pembenahan dengan memperkuat pengawasan, lembaga-lembaga tersebut di atas justru terlihat tengah berlomba-lomba untuk menambah kewenangannya," ujar dia.