Komnas HAM Nilai Proses Rancangan UU KKS Belum Transparan

- RUU KKS belum melibatkan partisipasi publik yang bermakna
- Substansi RUU beresiko mengabaikan hak asasi manusia (HAM)
- Definisi ancaman siber dan keamanan siber dalam RUU ini luas dan kabur
Jakarta, IDN Times - Komnas HAM menyampaikan cacatatn proses pembuatan dan substansi Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS). Mereka menilai proses pembentukan RUU KKS belum libatkan partisipasi publik yang bermakna.
RUU KKS dinilai belum melalui mekanisme konsultasi dengan pemangku kepentingan utama seperti masyarakat sipil, akademisi, maupun lembaga independen negara.
"Komnas HAM mencatat bahwa naskah akademik dan rancangan undang-undang ini yang beredar secara terbatas, bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik, serta dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap asas keterbukaan yang diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12/2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan," ujar Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, Kamis (16/10/2025).
1. Libatkan TNI dalam ruang sipil hingga ancaman pada kebebasan berekspresi

Dia mencatat, substansi yang beresiko mengabaikan hak asasi manusia (HAM) dalam RUU ini antara lain karena ketentuan RUU melibatkan TNI dalam ruang sipil, ancaman terhadap kebebasan berekspresi, tumpang tindih dengan regulasi yang ada, serta minimnya pengawasan.
"Beberapa ketentuan dalam RUU KKS membuka ruang bagi keterlibatan militer, termasuk kewenangan penyidikan oleh penyidik TNI terhadap kasus siber. Hal ini bertentangan dengan prinsip supremasi sipil sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30 ayat (5) UUD 1945. Ruang siber adalah domain sipil, sehingga pelibatan aparat militer di luar fungsi pertahanan negara beresiko melahirkan penyalahgunaan kekuasaan," katanya.
2. Definisikan ancaman siber dan keamanan siber dengan luas dan kabur

RUU ini, dijelaskan mendefinisikan ancaman siber dan keamanan siber dengan luas dan kabur, tanpa batasan objektif. Definisi ini dinilai ambigu dan berpotensi digunakan untuk menjustifikasi tindakan pembatasan akses, pemblokiran konten, atau pelacakan terhadap aktivitas warga di ruang digital tanpa mekanisme pengawasan yudisial yang memadai.
'Ini bertentangan dengan prinsip proporsionalitas dan legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)," kata dia.
Anis juga mengatakan, bantak materi di RUU ini sudah diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Perlindungan Data Pribadi (PDT), dan UU Keterbukaan Informasi Publik. Maka perlu ada harmonisasi agar tak tumpang tindih.
3. RUU KKS harus mengacu pada prinsip HAM dan ruang digital

Komnas HAM juga mencermati, pasal soal putusan dan perlambatan akses internet memberikan kewenangan besar pada pemerintah tanpa ada batasan yang jelas. Pengalaman masa lalu, kata Anis menunjukkan bahwa pemutusan akses di Papua pada 2019 melanggar hukum sesuai putusan Mahkamah Agung (MA).
"RUU ini dikhawatirkan justru memberi dasar hukum baru bagi tindakan serupa di masa depan," kata dia.
RUU KKS, kata dia, harus mengacu pada prinsip HAM dan ruang digital sesuai UU yang ada dan Resolusi Dewan HAM PBB Nomor 32/13 (2016) tentang Promosi, Perlindungan, dan Penikmatan Hak Asasi Manusia di Internet (Promotion, Protection and Enjoyment of Human Rights on the Internet).