KPAI: Program Barak Militer Ala Dedi Mulyadi Belum Punya SOP

- KPAI menilai program barak militer ala Gubernur Jawa Barat belum memiliki standar baku dan SOP yang jelas
- Perbedaan pola pelaksanaan program di dua lokasi menyebabkan ketidakseragaman metode pengajaran dan infrastruktur
Jakarta, IDN Times - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai kegiatan barak militer ala Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi belum mempunyai standar baku yang jadi acuan program, termasuk standar operasional prosedur (SOP).
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra. Pihaknya sudah melakukan kunjungan ke lokasi penyelenggaraan program Pendidikan Karakter Panca Waluya Jawa Barat Istimewa. Dua lokasi yang didatangi KPAI adalah di barak militer Resimen 1 Shira Yudha Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III Siliwangi, Cikole, Bandung Barat.
"Belum terdapat standar baku yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan program, seperti belum ada panduan, petunjuk teknis (juknis) dan Standar Operasional Prosedur (SOP). Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan pola pelaksanaan di dua program yang dikunjungi," kata dia dalam konferensi pers daring, Jumat (16/5/2025).
1. Beda struktur program hingga metode di dua tempat

Jasra menjelaskan, perbedaan ini mencakup struktur program, ketersediaan sarana prasarana, rasio antara peserta dan pembina, serta metode pengajaran mata pelajaran sekolah yang tidak seragam meskipun berasal dari jenjang kelas dan jurusan berbeda.
"Kondisi ini dikhawatirkan dapat memengaruhi mutu hasil dari program secara keseluruhan," kata dia.
2. Ada 6,7 persen siswa tak tahu alasan mereka ikut program barak militer

Dalam kunjungan itu, KPAI melakukan pengumpulan data dan berdiskusi soal program barak militer ini dengan 90 peserta program. Hasilnya, sebanyak 6,7 persen siswa menyatakan tak mengetahui alasan mereka mengikuti program.
"Temuan ini menunjukkan perlunya peninjauan kembali terhadap ketepatan sasaran peserta dalam pelaksanaan program," kata dia.
"Peserta program tidak ditentukan berdasarkan asesmen psikolog profesional, melainkan hanya rekomendasi guru BK. Bahkan ada ancaman bahwa siswa yang menolak mengikuti program bisa tidak naik kelas," kata Jasra.
3. Tak semua pembina paham protokol child safeguarding

Dari hasil wawancara sampel anak di dua lokasi pengawasan, perilaku menyimpang anak banyak dipengaruhi oleh kurang optimalnya pengasuhan di lingkungan keluarga.
Hal ini disebabkan beberapa hal mulai dari kesibukan orangtua, perceraian, tidak tinggal bersama orangtua, serta harapan anak untuk mendapatkan bimbingan dari figur ayah. Selain itu, pengaruh teman sebaya dan lingkungan sekitar juga turut berperan.
Kemudian, pihaknya berdiskusi dengan dinas terkait mengungkapkan kekurangan psikolog profesional, pekerja sosial, dan guru BK yang menyebabkan layanan konseling bagi siswa tidak berjalan secara maksimal.
Termasuk, tidak semua pembina memahami protokol child safeguarding dan tak ada kehadiran tenaga medis dan ahli gizi secara tetap di lokasi.