Kuota 30 Persen Tak Sampai, Caleg Perempuan Perlu Dorong KPU

Jakarta, IDN Times - Angka partisipasi calon anggota legislatif (caleg) DPR perempuan di daerah pemilihan (dapil) nyatanya sulit menyentuh 30 persen. Dengan kondisi ini, Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Bivitri Susanti mengatakan ke depan pada caleg perempuan yang maju harus bisa menyuarakan isu ini.
Caleg perempuan harus mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menjalankan putusan MA 24/2023 terkait 30 persen keterwakilan perempuan di Parlemen serta putusan Bawaslu yang menyatakan KPU bersalah melanggar administratif dan meminta ada perbaikan tata cara, prosedur dan mekanisme pencalonan anggota DPR.
“Jadi menurut saya kalau para caleg perempuan itu harusnya membantu mendorong supaya KPU benar-benar melaksanakan putusan Mahkamah Agung dan putusan Bawaslu itu,” kata dia saat usai Seminar Publik mengusung tema "Perlindungan Perempuan dalam Pemilu; Suarakan, Mau Apa di 2024" di Jakarta Pusat, Sabtu (2/12/2023).
1. Dorong perubahan di partai politiknya

Bivitri mengatakan upaya ini setidaknya bisa supaya membantu para caleg perempuan menyelamatkan suara mereka. Selain itu, para perempuan yang memang sudah ada menjadi anggota DPR atau DPRD juga perlu mendorong perubahan di partai politiknya masing-masing.
“Gimana caranya supaya partai-partai politik punya perubahan paradigma gitu ya. Tidak hanya memberdayakan kader perempuan ya secara umum tapi juga kader laki-laki juga, supaya punya perspektif gender. Sehingga nanti keterlibatan perempuan dalam politik itu gak dilihat sebagai beban tapi memang bermitra gitu” katanya.
2. Timbulnya pertanyaan perempuan bisa apa setelah menang

Sementara, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka dalam seminar yang diadakan Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (DPW SPRI) DKI mengatakan masalah keterwakilan perempuan minimal 30 persen ini harus diperbaiki.
Hal tersebut agar tak menimbulkan stigma bahwa keterwakilan perempuan hanyalah syarat administratif. Karena yang terjadi di lapangan partai politik kerap menempatkan perempuan hanya untuk mendompleng elektabilitas partai atau tidak, bukan dari kualitasnya tapi dari latar belakangnya, seperti artis atau publik figur.
“Sehingga ya jangan salah, ketika ditanyakan bener gak sih perempuan itu sudah dipilih bisa kerja. Mereka bisa menjadi privilege isu-isu perempuan yang selama ini juga masih menjadi masalah,” katanya.
3. Partai politik tak memberikan dukungan pada perempuan

Mike mengatakan, kerap kali saat perempuan maju menjadi caleg, partai politik tak memberikan dukungan atau ruang peningkatan kapasitas dengan maksimal. Akhirnya perempuan menjadi lemah di internal partai politiknya sendiri.
"Ketika perempuan maju menjadi caleg, partai politik kurang memberikan ruang peningkatan kapasitas akibatnya posisi perempuan menjadi lemah di internal partai politik, kecuali memiliki jaringan orang kuat di dalam," katanya.