Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Legislator PDIP Khawatir Sejarah Versi Baru Sarat Desukarnoisasi

Pelukis Yos Suprapto (kiri) dan Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana di Galeri Nasional Indonesia. (IDN Times/Amir Faisol)
Intinya sih...
  • Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDI-P, Bonnie Triyana khawatir akan narasi desukarnoisasi dalam proyek penulisan sejarah Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan.
  • Bonnie menegaskan perlunya penulisan ulang sejarah yang proporsional dan berfungsi sebagai pembelajaran bagi generasi muda untuk menumbuhkan sikap kritis.
  • Menteri Kebudayaan Fadli Zon menargetkan penulisan ulang sejarah Indonesia rampung pada 17 Agustus 2025 sebagai hadiah HUT ke-80 RI, dengan fokus pada sisi perlawanan Indonesia terhadap Belanda.

Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDI-P, Bonnie Triyana mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kemungkinan munculnya narasi desukarnoisasi, dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang digagas Kementerian Kebudayaan.

Hal itu disampaikan Bonnie saat mengikuti rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) yang digelar Senin (19/5/2025).

“Yang terakhir, saya agak khawatir tentang narasi yang bersifat desoekarnoisasi,” ujar Bonnie di Gedung DPR RI.

1. Sukarno kerap jadi sasaran pembunuhan karakter

Pelukis Yos Suprapto (kiri) dan Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana di Galeri Nasional Indonesia. (IDN Times/Amir Faisol)

Bonnie mengatakan, selama ini, Presiden pertama RI Sukarno kerap menjadi sasaran sistematis untuk meruntuhkan karakter dan perannya bagi sejarah bangsa ini.

“Jujur selama puluhan tahun, Soekarno, dia bukan hanya milik PDI Perjuangan, tapi milik bangsa Indonesia, didegradasi, diruntuhkan, dibunuh karakternya,” kata Bonnie.

Ia berharap, narasi desukarnoisasi ini tidak lagi muncul dalam proyek penulisan sejarah gagasan Kementerian Kebudayaan. Ia pun bersyukur bila kekhawatirannya itu tidak terjadi.

“Dan ini saya pikir juga penting untuk kita perhatikan bersama. Narasi-narasi seperti ini hendaknya tidak lagi ada di dalam proyek penulisan sejarah. Syukur-syukur kalau tidak ada,” kata dia.

2. Harus menempatkan tokoh secara proporsional

Pelukis Yos Suprapto (kiri) dan Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana di Galeri Nasional Indonesia. (IDN Times/Amir Faisol)

Oleh karena itu, Bonnie menegaskan, penulisan ulang sejarah nanti harus mampu menempatkan setiap tokoh secara proporsional, dengan catatan kritis yang bisa menjadi pembelajaran bagi generasi muda.

“Kita ingin menempatkan orang yang layak pada posisinya, dengan segala macam catatan-catatan untuk dipelajari oleh generasi muda,” ucap Bonnie.

Bonnie mengingatkan, tujuan dari belajar sejarah bukan sekadar menghafal angka dan tahun, melainkan juga menumbuhkan sikap kritis dalam memahami sebab-akibat suatu peristiwa sejarah.

“Karena tujuan belajar sejarah buat saya bukan menghafal angka tahun, tapi menumbuhkan sikap kritis dan rasional, logis, untuk memahami sebab akibat sebuah peristiwa yang membawa kita hidup di masa kini. Itu yang seringkali kita mungkin lupakan,” kata dia.

3. Sejarah versi baru bakal launching saat HUT ke-80 RI

Eks Menparekraf Sandiaga Uno (kiri) dan Menteri Kebudayaan Fadli Zon (kanan). (IDN Times/Amir Faisol)

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkapkan, penulisan ulang sejarah Indonesia ditargetkan akan rampung pada 17 Agustus 2025 sekaligus menjadi hadiah bagi HUT ke-80 RI.

Adapun, penulisan ulang sejarah Indonesia salah satunya untuk mengubur dalam-dalam narasi yang menyebutkan bahwa negara ini dijajah Belanda selama 350 tahun.

"Termasuk saya katakan soal 350 tahun dijajah itu menurut saya harus diubah mindset itu. Nggak ada 350 tahun Indonesia dijajah itu. Kita itu melakukan perlawanan terhadap para penjajah itu," kata Fadli Zon saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (6/5).

Menurut Fadli Zon, penulisan ulang sejarah ini mau menonjolkan sisi perlawanan Indonesia terhadap Belanda. Ia mengatakan, perlawan di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Perang Jawa Diponegoro terhadap kolonialisme Belanda bahkan mencapai 200 tahun. 

"Ada yang perlawanannya 200 tahun, ada yang perlawanannya puluhan. Jadi kita ubah bukan sejarah kita dijajahnya tapi perlawanannya yang harus kita tonjolkan," kata dia. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us