'Lembayung': Tentang Hakikat Perempuan

Oleh Dhion Gumilang
JAKARTA, Indonesia —Perkembangan peradaban manusia semakin melaju meninggalkan sisi konvensional dan nilai tradisional. Sebuah hukum fundamental yang berlaku di negara Barat menganut paham yang menempatkan perempuan pada posisi yang sejajar dengan kaum laki-laki dalam berbagai sisi kehidupan.
Bahkan, dalam bidang politik maupun pemerintahan, perempuan bisa menempati posisi penting tanpa aling-aling bani Adam. Mereka menyebutkan bahwa perempuan yang tidak memiliki hak setara dengan laki-laki adalah korban dari produk budaya patriarki untuk memarjinalkan kaum perempuan. Benarkah demikian?
Lembayung merupakan sesosok gadis yang sedang menjalani masa pertumbuhannya di dalam sebuah panti asuhan. Dia menjelma menjadi seorang perempuan dari tataran Sunda yang menarik, mekar, dan memikat hati pria. Abah, pemilik panti berusia 70an yang juga seorang tuan tanah di mana Lembayung bernaung, mengisyaratkan bahwa Lembayung harus diperistri olehnya untuk menghindari stigma negatif masyarakat.
Tapi, cibiran dan pemikiran negatif masyarakat justru semakin ramai dan diarahkan kepada Lembayung yang di-cap sebagai sesosok perempuan gila harta yang menunggu warisan.
Ada stigma yang berkembang dalam masyarakat di sini bahwa wanita menduduki posisi subordinat atau menempati kelas dua setelah laki-laki dalam tatanan sebuah masyarakat, sehingga wanita harus selalu siap untuk menjadi pelayan bagi laki-laki setiap saat, dan tidak sebaliknya. Wanita hanya bergerak pada wilayah yang dibatasi oleh empat dinding rumah, atau dengan ibarat lain tempat wanita hanya di dapur, sumur, dan kasur.
Tetapi, Lembayung mendobrak semua itu karena perlakuan Abah yang menghormatinya untuk tidak menyentuh dan memaksanya berbuat seperti itu.
Identitas perempuan
Komentar masyarakat yang mudah menghakimi dan melabeli perempuan berdasar stigma tersebut menjadi sorotan dalam pertunjukan teater rangkaian monolog Lembayung, Tiga Suami Satu Perempuan. Pementasan ini disajikan secara segar dan mudah dipahami karena mengangkat isu sosial yang terjadi di sekitar kehidupan penonton.
Empat puluh lima menit pementasan di Galeri Indonesia Kaya, 22 April 2018 bisa disebut sebagai karya yang mendukung perjuangan perempuan untuk menentukan sendiri identitas dan pilihan lainnya.
Perempuan dan topik pembicaraan yang mengikutinya seakan tidak mengenal kata selesai maupun tanda titik. Entah itu karena daya tariknya, potensinya untuk bisa menilai hal-hal detil, atau perdebatan tentang memilih mengikuti kodrat atau berjuang demi pilihannya. Sama seperti Lembayung, dia memilih untuk memperjuangkan apa yang menjadi pilihannya.
Ketika pilihannya jatuh pada Dimas, seorang lelaki yang diinginkannya untuk memberikan keturunan, semata atas pemenuhan kebutuhan biologis menjadi titik penting bagi seorang perempuan karena ketidak mampuan Abah. Atau, ketika dia bercerai dan memutuskan untuk menikahi seorang aktor, Joe Raymond, dia mempertahankan dan menggapai apa yang dia rasakan dan inginkan.
Pada hakikatnya, seorang perempuan – yang disampaikan oleh Lembayung – memiliki sebuah pilihan yang harus dilepaskan dari kaitan nilai-nilai tradisional, kultur maupun stigma masyarakat. Seseorang bebas untuk memilih menjadi apa, siapa, dan bagaimana. Kebebasan menjadi satu syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi perempuan untuk mengekspresikan dirinya.
Dengan kata lain bagi perempuan, mereka harus mengembangkan kapabilitas mereka sesuai dengan tabiatnya dan tidak harus mengekor pada pria. Tidak perlu menyerah pada keadaan dan nilai tradisional tetapi lebih mementingkan apa yang menjadi kenyamanan dan pilihannya. Hal ini pun semakin menyadarkan bahwa setiap manusia memiliki banyak pilihan dan sepatutnya tidak perlu dihakimi atas pilihannya.
Lembayung pun mengakhiri perdebatan tentang perempuan untuk menemui sebuah tanda titik yang tidak perlu memarjinalkan sesamanya.
—Rappler.com