Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Migrant CARE Desak Pelanggaran HAM di Kapal Ikan Tiongkok Diselidiki

Jenazah ABK Indonesia di atas kapal Tiongkok hendak dilarung (Youtube/MBC News Korsel)

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo mengkritisi dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dialami oleh anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal pencari ikan tuna berbendera Tiongkok.

Wahyu mengatakan, para ABK direnggut kebebasannya, bekerja dalam kondisi tidak layak, tidak mendapat hak atas informasi, hingga yang paling mendasar yakni hak untuk hidup. Lalu, apa yang dituntut oleh Migrant Care kepada pemerintah?

1. Pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan rentan dengan pelanggaran HAM

Masyarakat yang bersiaga dikapal nelayan (IDN Times/ istimewa)

Informasi mengenai pelanggaran HAM oleh ABK Indonesia itu viral setelah beredarnya video yang menggambarkan penderitaan mereka melalui media sosial dan media massa. Mereka bekerja di kapal pencari ikan Long Xin 605, Long Xin 629 dan Tian Yu 8 berbendera Tiongkok, yang beroperasi berpindah-pindah tempat melintasi negara.

"Kondisi ini makin memperlihatkan kondisi pekerja migran Indonesia, terutama yang bekerja di sektor kelautan, berwajah muram. Sebelumnya, seperti yang kita ketahui, ribuan pekerja migran Indonesia yang bekerja sebagai ABK di kapal-kapal pesiar juga menjadi korban penularan COVID-19, baik tertular penyakitnya maupun kehilangan pekerjaannya," ungkap Wahyu seperti dikutip dari kantor berita Antara pada Jumat (8/5). 

Ia menambahkan melihat kasus ABK di sektor perikanan ini seolah menambah derita para pekerja migran. Menurut catatan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (B2PMI), sudah lebih dari 6.000 ABK mengalami pemutusan hubungan kerja. 

2. Ratusan ribu ABK mengalami perbudakan di kapal perikanan asing

Ilustrasi ( ANTARA FOTO/Saiful Bahri)

Wahyu menjelaskan, berdasarkan data Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free tahun 2014-2016 menyebut pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan memang rentan terhadap aksi perbudakan.

Dalam pemeringkatan ini, terhitung ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berada dalam perangkap perbudakan modern. Jika kondisi tersebut masih berlangsung sampai sekarang, maka situasi memang belum berubah dan ini tentu sangat menyedihkan.

“Pemerintah Indonesia pernah terlibat dalam upaya memerangi perbudakan di sektor kelautan, terutama pada zaman Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Namun inisiatif tersebut lebih banyak menyangkut soal praktik ini di perairan Indonesia, dipicu kasus perbudakan di kapal ikan di perairan Benjina, kepulauan Maluku,” ujarnya.

3. Kebijakan pemerintah terkait perbudakan ABK di kapal asing harus mendapat dukungan dari banyak pihak

Dok. Biro Pers Kepresidenan

Sayangnya, kebijakan tersebut tidak secara luas dibuat oleh pemerintah untuk memasukan juga ABK di kapal-kapal pencari ikan berbendera asing yang beroperasi lintas negara.

Inisiatif ini pun tidak mendapat dukungan signifikan dari Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan atau BNP2TKI (waktu itu, sekarang menjadi BP2MI). Dalam perkara ini Kementerian Luar Negeri juga mengalami kesulitan dalam penanganan kasus terkait jurisdiksi perkara.

“Bisa dibayangkan jika kasus terjadi di kapal pencari ikan berbendera A, pemiliknya adalah warga negara B dan kasusnya terjadi di lautan dalam otoritas negara C atau di laut bebas. Namun apa pun situasinya seharusnya negara hadir dalam memberikan perlindungan terhadap anak buah kapal Indonesia,” katanya.

Kerentanan para pekerja migran Indonesia di sektor kelautan dan perikanan juga dipicu oleh ketiadaan instrumen perlindungan yang memadai sebagai payung perlindungan bagi mereka. Meskipun UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan adanya aturan khusus mengenai Pelindungan Pekerja Migran di sektor Kelautan dan Perikanan, namun hingga saat ini aturan turunan tersebut belum juga terbit.

Bahkan, terlihat ada kecenderungan berebut kewenangan antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Politik luar negeri dan diplomasi juga belum maksimal dalam memperjuangkan penegakan hak asasi pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan, terkait dengan implementasi dan komitmen antarnegara dalam pelindungan pekerja di sektor kelautan.

4. Migrant CARE minta Kemenaker panggil agen pembawa ABK tersebut untuk dilakukan investigasi

IDN Times/Bagus F

Dalam kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami ABK Indonesia di kapal berbendera Tiongkok, Kementerian Luar Negeri telah mengeluarkan sikap namun hingga saat ini belum ada respons dari Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.

"Migrant CARE menilai respons Kementerian Luar Negeri RI bersifat normatif namun belum menukik pada pokok persoalan apakah sudah ada desakan bagi investigasi pelanggaran hak asasi manusia, juga belum ada pernyataan tegas untuk memastikan pemenuhan hak-hak ABK tersebut," tuturnya.

Oleh karena itu Migrant CARE mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk bersikap pro-aktif memanggil para agen pengerah ABK tersebut.

“Dengan berkoordinasi Kementerian Perhubungan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dan apalagi ditemukan pelanggaran hukum harus diteruskan melalui mekanisme hukum yang berlaku,” kata Wahyu menegaskan.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us