Muncul Gugatan Kepala Daerah yang Bisa Maju Pilpres Cuma Gubernur

Jakarta, IDN Times - Pasal mengenai syarat usia capres-cawapres yang baru saja diubah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 akhirnya digugat.
Penggugat merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia, Brahma Aryana, berusia 23 tahun. Dalam gugatan itu, Viktor Santoso Tandiasa bertindak sebagai kuasa hukum penguggat.
1. Penguggat minta secara spesifik frasa kepala daerah ditambahkan menjadi gubernur

Melalui petitumnya, penguggat menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 terhadap frasa "yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dia meminta agar ditambahkan frasa baru, "yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah pada tingkat Provinsi".
"Sehingga, bunyi selengkapnya 'berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pilkada pada tingkat daerah provinsi'," kata Brahma dalam gugatan yang diregister dengan nomor perkara 141/PUU-XXI/2023, dikutip dari situs resmi MK, Kamis (2/11/2023).
2. Kepala daerah bisa ikut pilpres, Saldi Isra: Harusnya cuma gubernur

Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra, menemukan kejanggalan dalam norma baru putusan yang mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal capres dan cawapres dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam komposisi argumentasi lima hakim yang merumuskan norma baru tersebut memutuskan, siapa pun orang yang pernah atau sedang menduduki jabatan publik hasil pemilu, baik pileg maupun pilkada, bisa maju sebagai capres-cawapres meskipun belum 40 tahun.
Saldi menjelaskan, lima hakim yang menyetujui hal ini sebetulnya tak kompak. Hakim Konstitusi Anwar Usman, Guntur Hamzah, Manahan Sitompul sepakat tak memberi batasan sejauh mana kepala daerah bisa jadi capres-cawapres.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menilai, hanya gubernur yang memenuhi syarat konstitusional untuk bisa maju capres-cawapres.
Senada dengan Daniel, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyetujui hanya gubernur yang memenuhi syarat konstitusional untuk maju capres-cawapres. Dengan catatan, tak semua gubernur memenuhinya. DPR bersama pemerintah sebagai pembentuk UU perlu mengatur lebih lanjut kriteria gubernur tertentu yang layak maju capres-cawapres.
"Merujuk penjelasan di atas, pilihan jabatan publik berupa elected official termasuk pemilihan kepala daerah, kelimanya berada pada titik singgung atau titik arsir jabatan gubernur. Oleh karena itu, seharusnya amar putusan lima hakim konstitusi yang berada dalam gerbong 'mengabulkan sebagian' adalah jabatan gubernur," kata Saldi saat membacakan pendapat berbedanya (dissenting opinion) di Ruang Sidang, Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (16/10/2023).
Saldi lantas menyinggung amar putusan yang disepakati MK menjadi bunyi Pasal 169 huruf q UU Pemilu. Padahal, sebenarnya putusan yang disepakati itu hanya merepresentasi pendapat hukum tiga hakim konstitusi saja. Dalam hal ini, Anwar, Guntur, dan Manahan.
"Oleh karenanya, amar putusan a quo seharusnya hanya menjangkau jabatan gubernur saja, sebagaimana menjadi titik temu di antara kelima hakim konstitusi tersebut," ucap Saldi.
3. Dikhawatirkan kepercayaan publik terhadap MK anjlok

Di sisi lain, Saldi Isra khawatir Putusan yang mengakomodir kepala daerah yang pernah atau sedang menjabat, meski belum berusia 40 tahun, bisa maju pilpres menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi MK.
"Saya sangat, sangat, sangat cemas, dan khawatir, Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?" ucap dia.
Menurut Saldi, persyaratan usia minimum pejabat negara, termasuk syarat usia minimum sebagai calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana diajukan dalam permohonan e quo dapat dikatakan menjadi bagian dalam doktrin political question. Dengan demikian, harusnya perkara itu diselesaikan dengan keputusan yang diambil oleh cabang politik pemerintahan, dalam hal ini Presiden dan DPR selaku pembentuk undang-undang.
"Sebaliknya, permasalahan atau pertanyaan tersebut seyogyanya ditangani oleh cabang kekuasaan yang berwenang, seperti eksekutif atau legislatif," tutur dia.
Saldi menuturkan, MK seringkali memberikan pertimbangan opened legal policy terhadap permasalahan yang tidak diatur secara eksplisit di dalam konstitusi, sehingga sepenuhnya diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukannya, dan bukan diputuskan oleh MK. Oleh sebab itu, dalam perkara mengenai batas usia capres dan cawapres tersebut, MK seharusnya berpegang teguh pada.
Dalam permohonan a quo, Mahkamah juga sudah seharusnya menerapkan judicial restraint dengan menahan diri untuk tidak masuk dalam kewenangan pembentuk UU, dalam menentukan persyaratan batas usia minimum bagi calon presiden dan wakil presiden.
"Hal ini sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan dan penghormatan kepada pembentuk undang-undang dalam konteks pemisahan kekuasaan negara. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat dengan jelas sifat opened legal policy-nya ini, justru diambil alih dan dijadikan beban politik Mahkamah untuk memutusnya," ujar Saldi.