Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

New Media dan Upaya Mengatasi Stunting, Memang Bisa?

Ilustrasi kegiatan posyandu. (ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas)

Saat ini, sebagian besar dari kita tentu sudah pernah mendengar kata stunting. Bahkan mungkin belakangan semakin familier. Hal ini karena stunting menjadi isu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Strategi penurunan angka stunting juga sudah ditetapkan dalam strategi nasional percepatan penurunan stunting melalui PP No 72 Tahun 2021. Karena itulah, “perang” terhadap stunting benar-benar digalakkan oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah dari provinsi, kabupaten/kota, hingga pemerintah desa.

Sebagian masyarakat mungkin ada yang bertanya-tanya, memangnya seberapa gawat stunting di Indonesia? Seserius itukah sehingga sampai menjadi prioritas nasional?

Sebagai gambaran, menurut WHO masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis apabila prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Sedangkan Presiden Jokowi menargetkan angka stunting turun menjadi 14 persen pada 2024. Prevalensi stunting menunjukkan persentase jumlah Balita yang mengalami stunting di sebuah wilayah/negara.

Sementara itu, meskipun menunjukkan tren penurunan, Indonesia hingga kini masih belum memenuhi target WHO apalagi Presiden. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi stunting ada di angka 37,2 persen. Terbaru, pada 2021, berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) prevalensi stunting berada di angka 24,4 persen. Artinya, satu dari lima Balita di Indonesia mengalami stunting.

Dari angka tersebut sudah sangat terlihat jelas, stunting sama sekali bukan masalah yang gampang dan remeh. Kita sedang memperjuangkan kelangsungan masa depan bangsa Indonesia, karena Balita saat ini adalah generasi penerus. Kita tentu tidak ingin meninggalkan generasi yang lemah untuk memikul tanggung jawab pembangunan di masa mendatang.

1. Ujung tombak pencegahan

Ilustrasi sosialisasi pencegahan stunting (instagram.com/bkkbnofficial)

Stunting sangat bisa dicegah. Intervensi pencegahan sedang dilakukan oleh pemerintah, sejak sebelum kelahiran dan sesudah kelahiran. Bahkan jauh sebelum seorang perempuan menikah.

Dari mulai mendistribusikan tablet tambah darah untuk remaja putri, tambahan asupan gizi untuk ibu hamil kurang gizi kronik hingga melengkapi Puskesmas dengan USG. Kader-kader Posyandu di tingkat Desa hingga RT/RW bergerak melakukan penyuluhan dan pendampingan pada pasangan yang akan menikah, perempuan hamil, hingga pasca melahirkan. Semua bergerak melakukan intervensi agar kejadian stunting benar-benar bisa dihindari.

Dalam intervensi yang sangat masif ini, salah satu yang sangat krusial adalah komunikasi.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Suryati dan Supriyadi (2019), berjudul The effect of booklet education about children nutrition needs toward knowledge of mother with stunting children in Pundong Primary Health Center Work Area Bantul Yogyakarta, menyebutkan bertambahnya pengetahuan tentang kebutuhan gizi akan semakin menambah pengetahuan mengenai pencegahan stunting pada Balita.

Sebaliknya, pengetahuan yang kurang pada Ibu terhadap kesehatan, dapat menyebabkan risiko anak mengalami kondisi stunting.

Karena itu, program edukasi, diseminasi informasi untuk masyarakat, khususnya ibu dan calon ibu menjadi sangat penting.

Semua channel informasi perlu dimanfaatkan untuk menjangkau sebanyak mungkin kalangan masyarakat. Di kota, di desa, di pelosok. Semua perlu dijangkau. Kita sedang berkejaran dengan bahaya besar yang diakibatkan apabila prevalensi stunting yang masih tinggi gagal untuk diatasi.

2. Sosialisasi dengan New Media

ilustrasi membaca artikel di media online (Unsplash.com/Matthew Guay)

Media baru (New Media) adalah media yang menggunakan internet berbasis teknologi online, berkarakter fleksibel, berpotensi interaktif, serta dapat berfungsi secara privat atau publik (Rahmanita Ginting, 2021). Dengan media baru kita dapat meningkatkan interaksi sosial antara manusia dan menyebarkan informasi ke audiens dalam jumlah yang besar secara sekaligus melalui suatu bentuk teknologi digital.

Selain untuk menyebarkan informasi, media baru juga dapat memberi manfaat bahkan keuntungan dalam pemberian pesan edukasi di semua kalangan masyarakat, menjadi sumber hiburan selain TV dan Radio tentunya, dan yang paling menarik, berpotensi untuk memberikan pengaruh dan meyakinkan audiens yang pada akhirnya dapat mendorong ke perubahan perilaku.

Berlaku juga dalam konteks pencegahan stunting. New media tentunya dapat berperan dalam penyebaran informasi dan edukasi kepada target audiensnya. Melalui beragam konten digital, mendorong masyarakat dari segala usia untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat dalam keseharian untuk mencegah stunting.

Caranya dengan menyediakan informasi yang kredibel, menciptakan komunitas yang suportif, dan memberikan pengetahuan kesehatan yang mendalam seputar pola hidup bersih dan sehat. Semua dilakukan dengan kemasan yang menarik dan sederhana.

Dengan cara ini diharapkan edukasi mengenai stunting dapat tersosialisasi dengan lebih luas. Karena masyarakat saat ini lebih nyaman dan mudah menyerap informasi melalui platform media sosial.

 

3. Hasil penelitian

Ilustrasi kegiatan posyandu. ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas

Hasil penelitian menunjukkan bahwa internet menjadi new media yang paling banyak dimanfaatkan oleh manusia (Situmorang, 2012). Data terbaru menunjukkan bahwa penetrasi internet di Indonesia telah naik menjadi 77 persen di 2022 (APJII) yang artinya sekitar 210 juta orang telah menggunakan internet untuk mengakses informasi baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Melihat fakta ini, internet dan media sosial memiliki peluang besar menjadi medium yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan pencegahan stunting.

Apakah kinerja sosialisasi ini sudah memuaskan? Dalam hal jangkauan yang makin luas, masyarakat yang semakin terlibat, tentu ini adalah pertanda baik.

Namun sangat berisiko untuk menyebut kata puas. Karena kondisi stunting kita masih di atas ambang batas aman menurut WHO. Masih menurut standar WHO, kita bahkan belum lepas dari kondisi kronis.

Intervensi dan sosialisasi perlu terus ditingkatkan, harus lebih banyak masyarakat yang terjangkau dari upaya ini. Karena semakin banyak masyarakat yang sadar dan memiliki pengetahuan kesehatan, berarti semakin besar peluang stunting bisa dicegah

Target Presiden 2024 mencapai prevalensi stunting 14 persen bukan target ambisius, tapi memang seharusnya begitu. Itu kalau kita ingin memiliki generasi yang kuat untuk meneruskan pembangunan bangsa di masa mendatang. Dan ini adalah tugas bersama.

.***

Ditulis oleh Septa Dewi Anggareni. Pranata Humas Ahli Muda Kemkominfo

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ezri Tri Suro
EditorEzri Tri Suro
Follow Us