Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ojol Mau Naik Tarif, Sudah Pantas?

ANTAR. Pengemudi ojek berbasis online mengantar penumpang di kawasan Palmerah, Jakarta, 18 Desember 2015. Foto oleh Rivan Awal Lingga/Antara

JAKARTA, Indonesia—Persoalan ojek online (ojol) ibarat peribahasa ‘ada bukit di balik pendakian.’ Tuntas satu persoalan, muncul lagi persoalan lainnya. Belum lagi ada payung hukum resmi dikeluarkan untuk mengatur ojol, kini ribuan pengemudi ojol yang tergabung dalam Gerakan Aksi Roda Dua (Garda) Indonesia menuntut kenaikan standar tarif. Tak tanggung-tanggung, Garda menuntut kenaikan tarif hingga Rp 4,000 per kilometer.  

Tuntutan pengemudi ojol itu muncul di tengah menurunnya kualitas pelayanan yang diberikan. Menurut penuturan sejumlah konsumen yang dikonfirmasi Rappler, layanan ojol kerap bermasalah. Selain aplikasi sering eror, banyak pengemudi juga kurang beretika dalam berkendara. 

Tiga tuntutan ojol

Setidaknya ada tiga hal yang dituntut Garda Indonesia dalam aksi unjuk rasa di Gedung DPR Senayan Jakarta, Senin, 23 April 2018. Pertama, pengakuan legal eksistensi, peranan, dan fungsi ojek online sebagai bagian sistem transportasi nasional. 

Kedua, penetapan tarif standar dengan nilai yang wajar, yaitu Rp 3,000 sampai Rp 4,000 per kilometer dengan metode subsidi dari perusahaan aplikasi agar tarif untuk penumpang tetap murah dan terjangkau. Terakhir, perlindungan hukum dan keadilan bagi ojek online sebagai bagian dari tenaga kerja Indonesia yang mandiri. 

Ketiga tuntutan itu telah disampaikan Garda kepada perwakilan DPR. Saat berbincang dengan Rappler di kawasan Senen, Usep, salah seorang pengemudi Grab Bike, tarif bawah senilai Rp 1,600 per kilometer terlalu kecil. Di sisi lain, mereka juga harus mengejar performa sehingga sulit untuk menolak penumpang. 

“Jadi, mau enggak mau yang deket juga kita ambil. Kalau enggak performa bisa jelek. Sekarang sih masih nunggu dari DPR. Denger-denger sih belum ada rencana demo lagi. Mudah-mudahan sih bisa Rp 3,000 tarif bawahnya. Segitu cukup,” ujar dia. 

Pada 27 Maret lalu, gabungan pengemudi ojol juga sempat berunjuk rasa di depan Istana Negara. Ketika itu, Presiden Jokowi sempat menemui lima perwakilan pengunjuk rasa didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. “Intinya mereka menyampaikan kesulitan mengenai tarif, yang perang tarif antara aplikator. Sehingga, tadi saya perintahkan kepada Menhub, Menkominfo, untuk besok mengumpulkan aplikator-aplikator," jelas Jokowi seperti dikutip Antara. 

Di sisi lain, CEO GoJek Nadiem Makarim tak mau berkomentar soal tuntutan anak buahnya dalam sejumlah aksi unjuk rasa. Namun demikian, Nadiem pernah menyebut, gaji pengemudi GoJek rata-rata mencapai Rp 4 juta atau di atas upah minimum regional (UMR) Jakarta pada 2018 yang hanya Rp 3,6 juta. 

“Artinya, (pengemudi) yang geber (bekerja) 12 jam atau 10-12 jam per hari bisa hasilkan Rp 6-8 juta tiap bulan," kata Nadiem, di Gedung Dhanapala, Jakarta Pusat, Kamis, 26 Oktober 2017. 

Pengemudi ojol berkasus

Keberadaan ojol tidak dimungkiri sangat membantu mobilitas warga yang tinggal di kota-kota besar. Apalagi bagi pengguna yang tinggal di Jakarta dengan kemacetan yang bikin ‘patah hati’. Namun demikian, ojol juga pisau bermata dua. Pasalnya, sejak beberapa tahun lalu, tercatat banyak kasus kejahatan yang melibatkan pengemudi ojol sebagai pelaku. 

Pada awal September 2017 lalu misalnya, seorang pengemudi Grab Bike ditangkap di kawasan Jakarta Timur karena mencabuli pelanggannya yang masih berusia 17 tahun. Masih di bulan yang sama, seorang pengemudi ojol ditangkap polisi karena membunuh seorang perempuan di sebuah apartemen di Pluit, Jakarta Utara. Tak hanya di Ibu Kota saja, kasus-kasus kriminalitas yang pelakunya pengemudi ojol juga kerap terjadi di daerah. 

Apa kata konsumen?

Belakangan, keluhan yang paling banyak dikemukakan konsumen terkait layanan ojol ialah aplikasi yang sering hang dan tidak bisa mendeteksi pengemudi. Anna, 31 tahun, misalnya. Ia mengaku harus menginstal ulang aplikasi GoJek di ponselnya karena kerap tidak bisa digunakan. 

“Belakangan juga udah lebih mahal. Tapi kok rasanya makin sering eror aplikasinya. Order juga kadang bermasalah. Padahal kan kita pilih ojol itu salah satunya karena pesennya mudah. Kapan aja, di mana aja bisa,” ujar perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan di salah satu bank swasta itu. 

Keluhan lainnya ialah soal menurunnya kualitas pelayanan dan berkurangnya promo. GoJek misalnya, kini sudah menghapus layanan penggunaan poin untuk ditukarkan dengan makanan atau minuman. “Dulu mah enak. Poin bisa buat beli makanan. Sekarang boro-boro. Belum lagi banyak pengemudi yang enggak sopan kalau nganter,” ujar Susan, 27, salah seorang pengguna GoJek.

https://cdn.idntimes.com/content-images/post/20180424/instagram-4c2e63192be3831f75fc491be7319348.jpg

Kasus pengemudi ojol kurang ajar juga sempat diungkap oleh Surya Sahetapy, putra aktor Ray Sahetapy dan penyanyi era 80-an Dewi Yul. Lewat postingan di Instagram, Surya mengungkap perlakuan tidak menyenangkan yang dilakukan salah satu pengemudi Grab Bike terhadap rekannya. 

Tarif harus adil

Meskipun sudah beroperasi lama, namun ojol saat ini masih berstatus ilegal karena belum memiliki payung hukum. Tidak adanya payung hukum juga mengakibatkan persaingan tarif antar aplikasi ojol. Karena itu, pengamat transportasi Azas Tigor Nainggolan meminta pemerintah segera menentukan sikap. 

“Mau mengakui atau tidak eksistensi ojek online? Kalau melarang, segera putus aplikasi ojek online. Kalau mau mengakui, pemerintah harus segera buat regulasi. Didiamkan tanpa regulasi justru akan merugikan pengemudi ojek online dan penggunanya," kata Tigor seperti dikutip CNN.com

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, tuntutan pengemudi ojol perlu didengarkan. Namun demikian, ia menilai kenaikan tarif sebesar Rp 4,000 per kilometer terlalu tinggi. “Taksi saja hanya Rp 3,500.  Harus ada keadilan tarif. Dalam arti, keadilan untuk operator, keadilan untuk konsumen, dan keadilan untuk driver,” ujarnya. 

Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Christian Simbolon
EditorChristian Simbolon
Follow Us