Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Partai Buruh: Tapera Dibutuhkan Tapi Tak Tepat Harus Potong Gaji

Presiden KSPI, Said Iqbal dalam demo buruh tolak kenaikan harga BBM di depan Gedung DPR/MPR RI (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Presiden KSPI, Said Iqbal dalam demo buruh tolak kenaikan harga BBM di depan Gedung DPR/MPR RI (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Partai Buruh dan KSPI mendukung program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebagai kebutuhan primer bagi kelas pekerja dan rakyat. Namun, Tapera harus melalui mekanisme APBN dan APBD tanpa memotong upah pekerja, serta perlu kajian ulang untuk menghindari korupsi. Mereka menolak program Tapera diterapkan saat ini, karena iuran tidak mencukupi untuk memiliki rumah, menurunkan daya beli buruh, dan terkesan dipaksakan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mendukung program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). 

Presiden Partai Buruh yang juga Persiden KSPI, Said Iqbal, menganggap, perumahan untuk kelas pekerja dan rakyat merupakan kebutuhan primer seperti halnya kebutuhan makanan dan pakaian (sandang, pangan, dan papan).

“Bahkan di dalam UUD 1945, negara diperintahkan untuk menyiapkan perumahan sebagai hak rakyat," kata Said Iqbal kepada IDN Times, Rabu (29/5/2024).

1. Mekanisme pembayaran Tapera tak boleh potong upah pekerja

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh, Said Iqbal (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh, Said Iqbal (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Namun, Said Iqbal menuturkan, Tapera yang dibutuhkan buruh dan rakyat ialah melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurutnya, buruh membutuhkan kepastian upah yang layak.

Said Iqbal menekankan, program seperti Tapera memang dibutuhkan, tetapi dengan catatan tidak memotong upah pekerja.

Said Iqbal menolak program Tapera dijalankan saat ini, karena akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh, PNS, TNI, Polri dan peserta Tapera. 

Dia menyebut, Partai Buruh dan KSPI sedang mempersiapkan aksi untuk menolak Tapera, Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan program KRIS dalam Jaminan Kesehatan yang semuanya dianggap membebani rakyat.

“Tetapi persoalannya, kondisi saat ini tidaklah tepat program Tapera dijalankan oleh pemerintah dengan memotong upah buruh dan peserta Tapera. Karena membebani buruh dan rakyat,” tegasnya.

2. Sejumlah alasan program Tapera belum siap

Ilustrasi kerja. (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi kerja. (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Said Iqbal, setidaknya ada beberapa alasan, mengapa program Tapera belum tepat dijalankan saat ini. 

Pertama, belum ada kejelasan terkait dengan program Tapera, terutama tentang kepastian apakah buruh dan peserta Tapera akan otomatis mendapatkan rumah setelah bergabung dengan program Tapera. Jika dipaksakan, hal ini bisa merugikan buruh dan peserta Tapera.

“Secara akal sehat dan penghitungan matematis, iuran Tapera sebesar 3 persen (dibayar pengusaha 0,5 persen dan dibayar buruh 2,5 persen) tidak akan mencukupi buruh, untuk membeli rumah pada usia pensiun atau saat di PHK,” tegasnya.

Sekarang ini, kata Said Iqbal, upah rata-rata buruh Indonesia adalah Rp3,5 juta per bulan. Bila dipotong tiga persen per bulan, maka iurannya sekitar Rp105.000 per bulan atau Rp1,26 juta per tahun. Karena Tapera adalah tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp12,6 juta hingga Rp25,2 juta. 

“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun ke depan ada harga rumah yang seharga Rp12,6 juta atau Rp25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah," kata dia.. 

“Jadi dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah. Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” sambung Said Iqbal.

Alasan kedua, dalam lima tahun terakhir ini, upah riil buruh (daya beli buruh) turun 30 persen. Hal ini akibat upah tidak naik hampir tiga tahun berturut-turu, dan tahun ini naik upahnya murah sekali. Bila dipotong lagi tiga persen untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.

“Dalam UUD 1945 tanggungjawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyedikan rumah untuk rakyat yang murah, sebagaimana program jaminan kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah. Tetapi dalam program Tapera, pemerintah tidak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh. Hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Apabila buruh disuruh bayar 2,5 persen dan pengusaha membayar 0,5 persen,” ucap Said Iqbal.

Menurut dia, program Tapera tidak tepat dijalankan sekarang sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah, sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan.

Sedangkan alasan ketiga, program Tapera terkesan dipaksakan hanya untuk mengumpulkan dana masyarakat, khususnya dana dari buruh, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. 

"Jangan sampai korupsi baru merajalela di Tapera sebagaimana terjadi di ASABRI dan Taspen. Dengan demikian, Tapera kurang tepat dijalankan sebalum ada pengawasan yang sangat melekat untuk tidak terjadinya korupsi dalam dana program Tapera," imbuh Said Iqbal.

3. Partai Buruh dan KSPI usulkan rekomendasi kepada pemerintah

Seribuan buruh mulai bergerak dari jalan depan Balai Kota DKI Jakarta menuju Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Rabu (9/8/2023). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)
Seribuan buruh mulai bergerak dari jalan depan Balai Kota DKI Jakarta menuju Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Rabu (9/8/2023). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Oleh karena itu, Partai Buruh dan KSPI mengusulkan kepada pemerintah terhadap program Tapera adalah sebagai berikut:

1. Merevisi UU tentang Tapera dan peraturan pemerintahnya yang memastikan bahwa hak rumah adalah hak rakyat dengan harga yang murah dan terjangkau, bentuk yang nyaman/layak, dan lingkungan yang sehat dimana pemerintah berkewajiban menyediakan dana APBN untuk mewujudkan Tapera yang terjangkau oleh rakyat.

2. Iuran Tapera bersifat tabungan sosial, bukan tabungan komersial. Artinya, pengusaha wajib mengiur sebesar 8,5 persen, pemerintah menyediakan dana APBN yang wajar dan cukup untuk kepemilikan rumah, dan buruh mengiur 0,5 persen di mana total akumulasi dana Tabungan sosial ini bisa dipastikan begitu buruh, PNS, TNI/Polri dan peserta Tapera pensiun otomatis memiliki rumah yang layak, sehat, dan nyaman tanpa harus menabahkan biaya apapun. Bagi peserta yang sudah memiliki rumah, maka Tabungan sosial tersebut bisa diambil uang cash di akhir pensiunnya untuk memperbaiki atau memperbesar rumah yang sudah dimilikinya.

3. Program Tapera jangan dijalankan sekarang, tapi perlu kajian ulang dan pengawasan terhindarnya korupsi hingga program ini siap dijalankan dengan tidak memberatkan buruh, PNS, TNI, Polri dan peserta Tapera. 

4. Naikkan upah buruh yang layak agar iuran Tapera tidak memberatkan para buruh. Agar upah bisa layak, maka yang harus dilakukan pemerintah adalah mencabut omnibus law UU Cipta Kerja yang selama ini menjadi biang keladi upah murah di Indonesia.

5. Karena Tapera adalah program tabungan sosial (seperti JHT dan Jaminan Pensiun) dan bukan program asuransi sosial (seperti Jaminan Kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja), maka harus dipastikan jumlah tabungan milik buruh dan peserta Tapera tidak digunakan subsidi silang antar peserta Tapera. Karena sifat tabungan sosial beda dengan sifat asuransi sosial. Jadi bila ada yang berkata bahwa Tapera sama dengan program BPJS Kesehatan, maka hal itu adalah keliru. Jangan ada subdisi silang dalam program Tapera.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us