Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

PSHK: Lebih Mendesak Sahkan RUU Perampasan Aset daripada Revisi UU TNI

DPR RI resmi mengesahkan RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi UU dalam Rapat Paripurna ke 15 masa persidangan II pada Kamis (20/3/2025). (youtube.com/DPR RI)
DPR RI resmi mengesahkan RUU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi UU dalam Rapat Paripurna ke 15 masa persidangan II pada Kamis (20/3/2025). (youtube.com/DPR RI)

Jakarta, IDN Times - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia memberikan catatan kritis terkait proses pembahasan revisi undang-undang TNI. Mereka menilai sejak awal proses legislasi revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 mengenai TNI (UU TNI) ini tidak sah. 

Sebab, sejak awal revisi UU TNI tidak masuk agenda Program Legislasi (Prolegnas) 2025. Namun, tiba-tiba masuk dalam pembahasan RUU Prioritas pada rapat paripurna 18 Februari 2025. 

"Perubahan agenda atau acara rapat tersebut tidak dilakukan melalui mekanisme sesuai dengan Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020, mengenai tata tertib DPR, di mana bila ada perubahan acara rapat, maka perlu diajukan secara tertulis dua hari sebelum acara rapat dilaksanakan," demikian isi keterangan tertulis PSHK Indonesia dan dikutip pada Kamis (20/3/2025). 

Di sisi lain, UU TNI dinilai tidak memiliki urgensi untuk diamandemen. Sejumlah aturan seperti pembentukan RUU Peradilan Militer, RUU Perampasan Aset atau RUU Masyarakat Hukum Adat dinilai lebih penting dan mendesak disahkan. 

"Pertimbangan perubahan terhadap prolegnas 2025 secara tertutlis dibutuhkan untuk menjadi dasar pengambilan keputusan agar tetap tercapai prinsip akuntabilitas," katanya. 

Selain itu, revisi UU TNI tidak melalui sosialisasi oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR. Hal itu tertuang dalam Pasal 66 huruf I Tatib DPR. 

"Ini merugikan publik, apalagi pembahasan dilakukan begitu cepat dalam satu masa sidang. Kelalaian pelaksanaan tugas tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab Baleg DPR," tutur PSHK Indonesia. 

1. PSHK Indonesia tepis RUU TNI carry over dari DPR periode lalu

Ilustrasi gedung DPR di Senayan. (IDN Times/Kevin Handoko)
Ilustrasi gedung DPR di Senayan. (IDN Times/Kevin Handoko)

Dalam catatan PSHK Indonesia, mereka menepis klaim anggota Komisi I DPR yang menyebut mereka tetap kukuh segera membahas revisi UU TNI karena merupakan kelanjutan tugas dari parlemen periode sebelumnya atau carry over

"Pada proses pembentukan RUU Revisi UU TNI periode lalu, Presiden (Joko Widodo) belum pernah mengirimkan surat presiden dan DIM (Daftar Isian Masalah) untuk pembahasan," kata PSHK Indonesia.

Publik pun kesulitan mengakses DIM dan naskah draf RUU TNI. Padahal, dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 Pasal 71A, tertulis 'dalam hal pembahasan RUU sebagaimana yang dimaksud di dalam pasal 65 ayat (1) telah memasuki pembahasan DIM pada periode masa keanggotaan DPR saat itu. Hasil pembahasan RUU  tersebut dapat disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden dan atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangkah menengah dan atau Prolegnas Prioritas Tahunan.'

Lantaran tidak memenuhi kriteria tersebut, maka RUU TNI tidak bisa dikatakan sebagai RUU carry over. "Konsekuensinya, pembentukan RUU TNI harus dilakukan dari tahap awal, termasuk tahap penyusunan," ujar PSHK Indonesia. 

2. Pembahasan revisi UU TNI dilakukan sembunyi-sembunyi

Ilustrasi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). (ANTARA FOTO/Aprilio Akbar)
Ilustrasi prajurit TNI Angkatan Darat (AD). (ANTARA FOTO/Aprilio Akbar)

PSHK Indonesia juga menyentil sikap DPR yang terkesan menutup-nutupi pembahasan RUU TNI. Sejak awal, naskah draf RUU TNI tidak pernah disebarluaskan secara resmi oleh parlemen. 

"Dampaknya masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara bermakna. Hal itu diperburuk dengan komunikasi DPR yang sempat menyudutkan masyarakat yang bersikap kritis dengan menyebutkan draf yang digunakan tidak sama dengan draf yang mereka bahas di parlemen," kata PSHK Indonesia. 

Hal itu, kata mereka, semakin menunjukkan parlemen tidak pernah menjalankan tugasnya untuk menyebarluaskan draf RUU TNI sesuai dengan Pasal 96 ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2022 dan tatib DPR Pasal 7 huruf b. 

Partisipasi publik semakin minim ketika kelanjutan pembahasan revisi UU TNI dilakukan di hotel mewah dengan tingkat keamanan tinggi. "Dengan tingkat penolakan yang tinggi dan misprosedur yang fatal, komisi I DPR justru bersikukuh melanjutkan pembahasan dan disahkan dalam satu kali masa sidang," ujarnya. 

3. RUU TNI dibahas dan disahkan dalam waktu 37 hari

Gedung DPR/MPR (IDN Times/Amir Faisol)
Gedung DPR/MPR (IDN Times/Amir Faisol)

Sementara, bila menghitung sejak waktu masuknya surat Presiden Prabowo Subianto pada pertengahan Februari 2025 hingga pengesahan, dibutuhkan 37 hari saja untuk mengamandemen UU TNI. Aksi protes dan unjuk rasa dari kelompok masyarakat sipil direspons dengan penutupan pintu gerbang Pancasila di DPR hari ini. Selain itu, parlemen juga mengerahkan ratusan personel TNI dan Polri. 

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin akhirnya mengakui pembahasan RUU TNI dilakukan secara maraton. Meski ia menepis proses pembahasan yang dikebut lantaran instruksi langsung dari Prabowo. 

"Pembahasan rancangan Undang-Undang perubahan atas undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia antara pemerintah dan Komisi 1 DPR RI berjalan dengan sangat maraton dan melalui pembahasan serta perdebatan yang konstruktif," kata Sjafrie ketika membacakan pidato di rapat paripurna. 

Purnawirawan jenderal itu menambahkan, walau pembahasan menampung banyak usulan dari beragam sudut pandang, mulai dari anggota legislatif, perwakilan militer, kelompok masyarakat sipil, hingga akademisi, jalannya diskusi dipastikan berjalan guyub.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Rochmanudin Wijaya
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us