Putri Candrawathi Tak Ditahan, ICJR: Pemerintah Harus Revisi KUHAP

Jakarta, IDN Times - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, pilihan untuk tidak menahan Putri Candrawathi merupakan bentuk permasalahan hukum penahanan yang ada dalam kerangka hukum Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP).
Meskipun, saat ini Putri sudah berstatus tersangka dalam kasus pembunuhan ajudan suaminya, Brigadir J.
"ICJR perlu menekankan bahwa penahanan memang bukan merupakan keharusan, bukan suatu kewajiban, tidak mesti orang yang menjadi tersangka harus ditahan. Penahanan hanya apabila kepentingan pemeriksaan dibutuhkan. Misalnya, jika tidak ditahan kepentingan pemeriksaan akan terhambat," kata Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu dalam keterangannya, dilansir Senin (5/9/2022).
1. Orang yang ditahan harus dihadapkan kepada hakim

Erasmus mengatakan, keputusan untuk menahan dalam ketentuan Pasal 21 KUHAP hanya bergantung aparat penegak hukum, dalam hal ini penyidik.
Dia menyinggung, Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).
"Padahal sistem seperti ini merupakan suatu masalah, membuat sistem peradilan pidana di Indonesia tidak akuntabel. Pasal 9 ICCPR menjelaskan, orang yang ditahan harus segera dihadapkan kepada hakim atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan kehakiman," kata dia.
Menurut dia, hal ini menawarkan jaminan yang diperlukan untuk independensi dari eksekutif dan para pihak yang terlibat dalam penahanan.
Oleh karena itu, KUHAP pun dinilainya harus direvisi untuk memastikan adanya peran hakim pemeriksa pendahuluan yang salah satu tugasnya menguji kebutuhan.
2. Alasan penahanan tak bisa dijelaskan hanya dengan narasi abstrak

Erasmus mengatakan, KUHAP tak mewajibkan aparat penegak hukum secara objektif mengurai tentang terpenuhinya syarat-syarat penahanan.
Menurut dia, dalam putusan pengadilan HAM Eropa Piruzyan v. Armenia, alasan penahanan tidak dapat dijelaskan hanya dengan narasi yang abstrak, berbasis stereotype atau alasan yang diulang-ulang.
Oleh karena itu, perlu ada pertimbangan kasus per kasus yang kuat tentang alasan mengapa seseorang akan melarikan diri atau menghalangi penyidikan.
"Hal ini tidak terjadi dalam praktik di Indonesia. Jika kita lihat surat perintah penahanan, maka uraian alasan penahanan tidak pernah dijabarkan secara rinci dan kasuistis, hanya narasi copy paste yang diulang-ulang," kata dia.
"Pendekatan yang digunakan oleh penyidik dalam menentukan penahanan adalah dengan pendekatan kewenangan, terdapat pemahaman bahwa penyidik telah memiliki kewenangan penahanan sehingga tidak diperlukan adanya uraian lagi," lanjut dia.
Selain itu, dengan sistem tanpa hakim pemeriksa yang ada seperti saat ini, Erasmus menilai, penyidik dianggap tidak terbiasa menguraikan alasan penahanan secara akuntabel.
3. KUHAP dianggap sudah tidak lagi dukung sistem peradilan pidana yang akuntabel

Terakhir, Ersamus menyebut, KUHAP tidak mengakomodir pertimbangan HAM dan gender dalam rumusannya.
Dia mengatakan, perlu ada penegakan dalam KUHAP bahwa otoritas yang menahan seseorang harus terlepas dari aparat penegak hukum. Dengan begitu, penahanan di kepolisian dan kejaksaan pun harus dihapuskan.
"Harus ada penekanan bahwa yang didahulukan adalah penahanan nonrutan yang justru tidak diefektifkan di Indonesia dan untuk tersangka atau terdakwa dengan kerentanan tertentu, misalnya ibu, perempuan hamil, lansia harus dipertimbangkan untuk dihindarkan penahanan rutan," ujarnya.
"Kita seharusnya bisa sepakat bahwa KUHAP sudah tak lagi mendukung sistem peradilan pidana yang akuntabel. Salah satunya dalam hukum tentang penahanan yang bisa sangat tidak konsisten diterapkan oleh aparat penegak hukum, utamanya penyidik," kata Erasmus.