PVRI: Gelar Pahlawan untuk Soeharto Skandal Terbesar Politik Era Reformasi

- Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto dinilai sebagai skandal politik terbesar era reformas dan bentuk fasisme baru.
- PVRI menyebut keputusan ini merupakan bentuk pencucian dosa sejarah yang mengabaikan penolakan sipil, termasuk korban pelanggaran HAM yang hingga kini masih menuntut keadilan.
- PVRI menilai keputusan ini sebagai upaya menormalisasi masa lalu yang kelam, dan menghapus memori kolektif rakyat terhadap kekerasan dan penyimpangan kekuasaan.
Jakarta, IDN Times - Lembaga kajian dan advokasi demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional merupakan skandal politik terbesar sepanjang era reformasi.
Direktur Eksekutif PVRI, Muhammad Naziful Haq, menyebut keputusan itu bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi tanda kembalinya pola kekuasaan fasisme baru di tengah menguatnya militerisme dan dukungan politik berbasis agama.
“Sayangnya, gelar Soeharto sebagai pahlawan nasional juga didukung oleh pimpinan dua ormas Islam terbesar di Indonesia. Sebagai negara berpopulasi muslim terbesar di Asia Tenggara, dukungan itu menjadi keberpihakan yang tragis sekaligus bagian dari skandal politik terbesar era reformasi itu. Peleburan ormas dan negara adalah fasis,” kata Naziful.
1. Skandal politik terbesar era reformasi

Naziful menyebut keputusan ini merupakan bentuk pencucian dosa sejarah yang mengabaikan penolakan sipil, termasuk korban pelanggaran HAM yang hingga kini masih menuntut keadilan.
“Keputusan pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto lebih mirip pencucian dosa sejarah yang dipaksakan terang-terangan. Keputusan ini mengabaikan aspirasi dan penolakan masyarakat sipil, termasuk korban pelanggaran HAM yang hingga kini masih menuntut keadilan,” katanya.
Naziful juga menilai keputusan ini mengabaikan fakta-fakta pelanggaran HAM, korupsi, dan represi selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru.
“Para elite mungkin menganggapnya sah administratif, tapi apalah artinya itu dibanding sebelanga fakta ilmiah yang terhampar terang dan dibaca khalayak umum. Jadi keputusan ini pada dasarnya sesat pikir dan logika. Bagaimana mungkin aktor yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM dan KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) secara sistematik dianggap pahlawan?” kata dia.
2. Penghapusan ingatan kolektif masyarakat

PVRI menilai keputusan ini sebagai upaya menormalisasi masa lalu yang kelam, dan menghapus memori kolektif rakyat terhadap kekerasan serta penyimpangan kekuasaan.
Berbagai kajian ilmiah seperti karya John Roosa, Saskia Wieringa, dan Vincent Bevins menunjukkan Soeharto meraih kekuasaan melalui rekayasa berdarah, dan menegakkan rezim dengan represi terhadap rakyat dan kelompok kritis.
“Rezim Soeharto mengawali kekuasaannya dengan pembasmian gerakan rakyat yang berkemajuan, yang salah satunya adalah gerakan perempuan, seperti yang ditulis di Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999) karya Saskia E. Wieringa. Anti-komunisme juga dinormalisasi lewat film dan sastra yang akhirnya ini menjadi kekerasan budaya setelah 1965. Wijaya Herlambang menuliskannya dengan rinci dalam Kekerasan Budaya Pasca 1965 (2013),” ujar Ketua Dewan Pengurus PVRI, Usman Hamid.
3. Tanda naiknya fasisme baru

PVRI menegaskan di tengah meningkatnya pengaruh militerisme, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dapat menjadi titik awal kebangkitan kembali fasisme. Menurut mereka, kondisi politik saat ini menunjukkan arah menuju kekuasaan bergaya fasis, yang merasa legitimasi tindakannya kuat, karena mendapat dukungan dari kelompok keagamaan.
Dari sepuluh calon pahlawan yang diajukan tahun ini, enam berasal dari kalangan agama, dua merupakan jenderal militer yang terlibat dalam peristiwa G30S, dan sisanya tokoh sipil. PVRI memperingatkan, situasi ini sebagai situasi buruk yang perlu dicegah, dan jika tidak diwaspadai, Indonesia bisa kembali terjerumus ke dalam kegelapan fasisme masa lalu.
“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto tidak saja menegasi nalar, tetapi juga menganggap enteng apa yang seharusnya tidak dimaafkan. Elite menganggap publik tidak membaca dan menelisik ulang sejarah, sehingga seolah tidak bisa membedakan mana yang punya nilai teladan, dan seolah semuanya bisa direkonsiliasi," kata Naziful.
"Bila sastrawan Rusia Maxim Gorki mengatakan kekerasan sosial itu lebih keji dari pada kekerasan fisik, Orde Baru justru memulai kekerasan fisik untuk kemudian mewariskan kekerasan sosial. Bila ada kemudian kalangan yang merasa baik-baik saja dengan hal ini, maka tanda tanya besar untuk kepala dan hatinya.” kata Naziful.

















