Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Rektor Paramadina: Prabowo Akan Lebih Nasionalis

Diskusi Publik dengan tema “Islam dan Demokrasi” yang diadakan di ruang Granada, Universitas Paramadina, Selasa (25/6/2024). (dok. Universitas Paramadina)
Intinya sih...
  • Presiden terpilih Prabowo Subianto dinilai akan lebih nasionalis dalam ekonomi dan politik dalam pemerintahan baru. Pada kesempatan yang sama, Eunsook Jung dari University Wisconsin, mengatakan pada Pemilu 2019 di Indonesia, polarisasi semakin meningkat, dengan pembagian antara populisme Islam pro dan anti-Islam. Sementara, pada Pemilu 2024, populisme Islam dan politik identitas tampak berkurang karena perbedaan ideologis dikesampingkan demi aliansi antara elite nasionalis dan religius.

Jakarta, IDN Times - Rektor Universitas Paramadina, Profesor Didik J Rachbini, mengatakan Presiden terpilih Prabowo Subianto akan lebih nasionalis, baik dalam ekonomi maupun politik dalam pemerintahan baru.

Hal ini diungkapkan politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu dalam pengantarnya pada diskusi publik bertema “Islam dan Demokrasi” yang diadakan di ruang Granada, Universitas Paramadina, Selasa, 25 Juni 2024.

Sementara, Eunsook Jung dari University Wisconsin, menyatakan topik ini sangat relevan bagi Indonesia, mengingat perubahan signifikan yang terjadi dan implikasinya bagi masa depan Indonesia.

“Sejak Indonesia mengalami demokratisasi pertama kali pada 1999, pemilu demokratis kedua setelah Pemilu 1955, peran Islam dalam politik telah mengalami perubahan. Pola-pola tersebut menunjukkan kemiripan, namun dengan peningkatan dalam populisme Islam atau yang dikenal sebagai politik identitas," katanya dalam keterangan, Rabu (26/6/2024).

1. Pemilu 2019 politik identitas kuat

Ilustrasi petugas pemungutan suara (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)

Jung mengatakan pada Pemilu 2019, kecenderungan politik identitas lebih kuat dibandingkan Pemilu 2014. Pada kampanye 2013, seorang kandidat mendukung gagasan negara harus menjamin kemurnian ajaran agama dari segala bentuk penyelewengan. 

“Pada Pemilu 2019, polarisasi semakin meningkat, dengan pembagian antara populisme Islam pro dan anti-Islam. Kandidat presiden kala itu menunjukkan kecenderungan populis Islam yang kuat, sementara lawannya lebih pluralis dan anti-populis Islam,” tuturnya.

2. Populisme Islam dan politik identitas tampak berkurang pada Pemilu 2024

Ilustrasi TPS Pemilu 2024. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Namun, situasi berubah pada Pemilu 2024, di mana populisme Islam dan politik identitas tampak berkurang. Semua kandidat, termasuk yang paling Islamis, tidak lagi menekankan posisi ideologis mereka, melainkan fokus pada kebijakan yang lebih umum.

"Pertanyaan yang muncul adalah mengapa perubahan ini terjadi? Mengapa populisme Islam absen dalam pemilu ini, dan apa implikasinya bagi masa depan? Beberapa pihak menyebut ini sebagai akibat dari represi negara, dengan contoh seorang ulama yang dilarang pada 2017. Ada juga pandangan bahwa ini adalah hasil dari kampanye anti-radikalisasi yang berhasil," kata Jung.

3. Transaksi di tingkat elite meningkat pada Pemilu 2024

(Dok. Tim Humas Prabowo)

Namun, Jung mengatakan, pada Pemilu 2024, transaksi di tingkat elite meningkat, dengan perbedaan ideologis yang dikesampingkan, demi aliansi baru antara elite nasionalis dan religius. Negara tidak memiliki kekuatan pemersatu Islam, sehingga kelompok Islam lebih fokus pada membangun akar rumput daripada keterlibatan politik langsung. 

“Selain itu, tidak ada isu yang memecah belah terkait Islam dalam pemilu ini, meskipun ada protes terkait Palestina. Faktor-faktor ini menjelaskan mengapa populisme Islam absen dalam pemilu kali ini,” kata Jung.

4. Politik yang lebih terbuka pasca-Orde Baru

Cawapres Muhaimin Iskandar saat kampanye di Malang. Dok. Timprov AMIN Jatim.

Sementara, Dosen Universitas Paramadina, Sunaryo, melihat politik saat ini lebih terbuka pasca-Orde Baru, penguatan civil society, dan menciptakan good governance merupakan tiga cita-cita dalam demokrasi. Dia menyebut pada 1999 dan 2004 Indonesia sudah menikmati keterbukaan politik. 

“Namun, sebagaimana yang kita saksikan saat ini, demokrasi dan politik mengalami kemunduran. Sistem politik yang terbuka ternyata tidak melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang diharapkan (yang terbaik) dengan prinsip meritokrasi. Sistem ini diokupasi oleh para kaum pemodal yang bisa membeli suara," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
Rochmanudin Wijaya
3+
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us