Revisi UU TNI Tuai Polemik, Menko Hadi: Masih Dalam Proses

- Menko Polhukam Hadi Tjahjanto menyatakan revisi UU TNI belum final, masih dalam pembahasan
- Panglima TNI Agus Subiyanto menepis kekhawatiran publik bahwa revisi UU TNI akan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI di era Orde Baru
- Wakil Menteri Pertahanan Letjen TNI Muhammad Herindra memastikan penempatan personel TNI di instansi sipil tetap dalam pengawasan ketat dan harus sesuai aturan
Jakarta, IDN Times - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Hadi Tjahjanto mengatakan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia nomor 34 tahun 2004 belum final. Semua poin masih dilakukan pembahasan.
"Ya, itu semuanya kan masih dalam proses ya," ujar Hadi ketika dikonfirmasi pada Minggu (9/6/2024).
Saat ditanyakan apakah saran dari masyarakat sipil agar ada pembatasan prajurit TNI aktif untuk bekerja di instansi sipil, mantan Panglima TNI itu tidak menjawab. Salah satu poin yang disorot terkait revisi UU TNI yakni kekhawatiran bakal kembali hidupnya dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru.
Hal itu dipicu di dalam draf revisi UU TNI pasal 47 ayat 2 menyebut prajurit aktif dapat menduduki jabatan di sejumlah instansi sipil seperti kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden.
1. Panglima TNI sebut TNI tidak lagi dwifungsi melainkan multifungsi di masyarakat

Sementara, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menepis kekhawatiran publik bahwa revisi UU TNI akan menghidupkan lagi dwifungsi ABRI di era Orde Baru. Sambil berseloroh, Agus justru menyebut TNI kini multifungsi. Mereka tidak hanya bekerja di sejumlah instansi sipil, melainkan juga membantu masyarakat untuk bidang yang belum diisi oleh pemerintah.
"Semuanya kita ini, bukan lagi dwifungsi ABRI. Melainkan multifungsi ABRI. Ada bencana pun, kami ada di situ, ya kan? Jadi, jangan berpikir seperti itu lah," ujar Agus di Jakarta, 7 Juni 2024 lalu.
Ia menambahkan, tugas prajurit TNI mengabdi kepada negara. Sehingga, penugasan prajuritnya tersebar di berbagai bidang dan wilayah.
"Sekarang di Papua yang ngajar itu anggota saya dari TNI. Lalu, pelayanan kesehatan juga anggota saya. Terus kalian mau menyebut ini sebagai dwifungsi atau multifungsi sekarang? Kita jangan berpikir seperti itu ya. Kan ini demi kebaikan negara ini," imbuhnya.
2. Kemhan pastikan penempatan personel TNI di instansi sipil dilakukan dengan aturan ketat

Sementara, Wakil Menteri Pertahanan Letjen TNI Muhammad Herindra pernah menyampaikan pesan serupa. Ia mengakui di dalam revisi UU TNI membolehkan adanya penempatan personel TNI di instansi sipil.
Tetapi, hal tersebut tetap dalam pengawasan ketat dan harus sesuai aturan. Sehingga, ia memastikan tidak akan ada lagi dwifungsi ABRI.
"Sekarang kan sudah diatur dengan regulasi yang ketat ya. Jadi, gak semena-mena lah. Semua juga ada aturannya, regulasi," ujar Herindra di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat pada 6 Juni 2024 lalu.
Ia menambahkan, penempatan personel TNI di instansi sipil harus datang dari instansi yang bersangkutan. "Jadi, tidak bisa ujug-ujug. Pengiriman itu pasti atas permintaan dari K/L tersebut. Sehingga, saya pikir kalau ada kekhawatiran seperti itu, terlalu berlebihan lah ya," imbuhnya.
3. Pernyataan Jenderal Agus bahwa anggota TNI multifungsi menuai kritik

Sementara, pernyataan Jenderal Agus yang menyebut anggota TNI kini sudah menjelma multifungsi di masyarakat menuai kritik dari kelompok masyarakat sipil.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Dimas Bagus Arya menyebut pernyataan Agus tersebut merupakan pandangan yang salah dan keliru.
"Mengingat, Indonesia adalah negara yang menganut sistem politik demokrasi, harus ada pemisahan antara domain sipil dan domain militer," ujar Dimas yang dikutip dari keterangan tertulis pada Minggu (9/6/2024).
Ia menjelaskan, militer sesuai dengan hakikat keberadaanya dididik, dibiayai dan dipersiapkan untuk menghadapi peperangan, bukan untuk mengurusi urusan sipil yang orientasinya pelayanan publik. Oleh sebab itu, dilihat dari prinsip demokrasi, kehadiran militer di luar bidang pertahanan negara sebenarnya menyalahi tata kelola dan nilai negara demokrasi.