Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sejarah Perang Khaibar dan Kemenangan bagi Umat Muslim

Perang Khaibar (islam.nu.or.id)
Perang Khaibar (islam.nu.or.id)
Intinya sih...
  • Perang Khaibar terjadi setelah ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum kafir Mekkah. Rasulullah SAW memimpin pasukannya menuju Khaibar yang merupakan wilayah pertanian dengan penduduk Arab dan Yahudi.
  • Rasulullah SAW berhasil meraih kemenangan dalam Perang Khaibar melalui strategi pecah belah dan pengalihan, serta serangan mendadak di waktu fajar. Pasukan muslim menaklukkan benteng-benteng pertahanan milik Yahudi sebelum akhirnya mereka menyerah.

Jakarta, IDN Times – Perang Khaibar merupakan salah satu momen penting dalam sejarah perjuangan Nabi Muhammad SAW. Dilansir dari NU Online, perang ini terjadi pada awal tahun ke-7 Hijriah, pertengahan bulan Muharram, yang dipicu oleh ancaman eksternal dari komunitas Yahudi di wilayah Khaibar. 

Dengan strategi cermat dan kepemimpinan Rasulullah SAW, pasukan muslim berhasil meraih kemenangan dalam perang ini.

Berikut adalah rangkaian peristiwa Perang Khaibar, mulai dari latar belakang, jalannya perang, hingga dampaknya bagi umat Islam! 


1. Latar belakang terjadinya perang Khaibar

ilustrasi Madinah (pexels.com/Afif Ramdhasuma)
ilustrasi Madinah (pexels.com/Afif Ramdhasuma)

Perang Khaibar terjadi setelah ditandatanganinya Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi Muhammad SAW dengan kaum kafir Mekkah. Satu bulan setelah ditandatanganinya perjanjian tersebut, Rasulullah SAW yang telah tiba di Madinah segera memimpin pasukannya menuju Khaibar. 

Khaibar sendiri merupakan wilayah pertanian yang terletak sekitar 165 km di sebelah utara Madinah. Wilayah ini dikenal subur, memiliki banyak mata air, serta dipenuhi perkebunan kurma dan buah-buahan lainnya. Penduduk Khaibar terdiri atas gabungan orang-orang Arab dan Yahudi, meskipun Suku Arab Ghathafan mengklaim wilayah itu sebagai wilayah mereka. 

Latar belakang peperangan ini salah satunya disebabkan karena pengusiran Bani-an-Nadhir dari Madinah oleh Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk hukuman atas berbagai pengkhianatan yang mereka lakukan.Banyak tokoh penting dari Bani an-nadhir yang bermukim di Khaibar dan menyebarkan hasutan untuk merusak citra Nabi Muhammad SAW. 

Tidak hanya itu, penduduk Khaibar turut menghimpun pasukan untuk menyerang kaum muslimin. Mereka juga mendorong Bani Quraizhah untuk melanggar perjanjian, menjalin hubungan dengan orang-orang munafik, serta bekerja sama dengan penduduk Suku Ghathafan dan kaum Arab Badui yang menjadi sekutu dalam barisan musuh. Hal tersebut menunjukkan, penduduk Khaibar memang telah mempersiapkan diri berperang untuk melawan kaum muslimin. Bahkan, mereka pernah menyusun sebuah rencana untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. 

Gerakan yang membahayakan dari penduduk Khaibar ini dianggap dapat mengancam keamanan kaum muslimin di Madinah. Selain itu, Rasulullah SAW juga menilai, akses dakwah Islam akan terhambat bila para tokoh Yahudi di Khaibar tetap dibiarkan menyebarkan pengaruhnya. Dengan pertimbangan tersebut, maka langkah yang diambil adalah melakukan pengepungan terhadap Khaibar, yang merupakan benteng terakhir komunitas Yahudi di Jazirah Arab. 

Peristiwa perang ini turut diabadikan dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam Surat Al-Fath ayat 20, sebagai bentuk janji Allah SWT kepada kaum muslimin yang berpartisipasi dalam Perjanjian Hudaibiyah. Dalam ayat tersebut, Allah SWT menjanjikan kepada mereka harta rampasan yang melimpah.  Allah SWT berfirman : 

وَعَدَكُمُ اللّٰهُ مَغَانِمَ كَثِيْرَةً تَأْخُذُوْنَهَا فَعَجَّلَ لَكُمْ هٰذِهٖ وَكَفَّ اَيْدِيَ النَّاسِ عَنْكُمْۚ وَلِتَكُوْنَ اٰيَةً

لِّلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَهْدِيَكُمْ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًاۙ

Artinya : “Allah telah menjanjikan kepadamu rampasan perang yang banyak yang (nanti) dapat kamu ambil, maka Dia menyegerakan (harta rampasan perang) ini untukmu. Dia menahan tangan (mencegah) manusia dari (upaya manganiaya)-mu (agar kamu mensyukuri-Nya), agar menjadi bukti bagi orang-orang mukmin, dan agar Dia menunjukkan kamu ke jalan yang lurus.” (QS. Al-Fath ayat 20).


2. Strategi pecah belah dan pengalihan

ilustrasi pasukan muslim (twitter.com/nka979)
ilustrasi pasukan muslim (twitter.com/nka979)

Rasulullah SAW berangkat ke Khaibar dengan membawa pasukan berjumlah antara 1.400 hingga 1.600 orang. Pasukan ini adalah rombongan yang sebelumnya ikut Rasulullah SAW untuk menunaikan ibadah umrah, tetapi terhalang kaum musyrik Mekkah sampai akhirnya disepakati Perjanjian Hudaibiyah. Perbedaan jumlah pasukan ini, menurut Quraish Shihab dalam bukunya 'Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih' (2018) yang dikutip dari NU Online, disebabkan oleh adanya variasi dalam riwayat hadis. 

Pasukan muslim saat itu juga dilengkapi oleh dua ratus ekor kuda dan beberapa orang perempuan. Salah satunya merupakan istri Rasulullah SAW, Ummu Salamah atau Hindun binti Abu Umayyah bin Mughirah al-Qurasyiyah al-Makhzumiyah yang telah ikut sebelumnya ke Hudaibiyah. 

Sebelum tiba di Khaibar, Rasulullah SAW terlebih dahulu menerapkan strategi menghalau suku Arab Ghathafan yang telah menjalin kerja sama dengan kelompok Yahudi Khaibar. Menurut Karen Armstrong dalam 'Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis' (2011) yang dikutip dari NU Online menjelaskan, Khaibar adalah pemukiman yang dikenal sangat kuat dan sulit ditaklukan. Meski terlihat kuat, pada kenyataannya Khaibar mengalami perpecahan internal karena setiap suku mempunyai otonomi sendiri serta kesulitan untuk bersatu dalam menghadapi musuh bersama. 

Rasulullah SAW kemudian memanfaatkan kelemahan ini untuk memecah belah lebih dalam lagi, salah satunya melalui cara penghadangan terhadap Suku Ghathafan. Dalam perjalanannya, pasukan muslimin mendirikan markas di lokasi strategis yang mampu menghalangi Ghathafan menuju Khaibar. Saat rombongan Ghathafan mendengar kegaduhan di pemukiman mereka, mereka menduga pasukan Rasulullah SAW sedang menyerang pemukiman mereka. 

Situasi tersebut membuat Suku Ghathafan mengurungkan niatnya untuk membantu orang-orang Yahudi Khaibar. Mereka memilih kembali ke wilayahnya guna mempertahankan harta, benda, dan keluarga. Menurut Quraish Shihab (2018) dikutip dari sumber yang sama, tidak menutup kemungkinan kegaduhan yang terjadi dan didengar Suku Ghathafan sebenarnya merupakan siasat dari kaum muslim atas perintah Rasulullah SAW.  Strategi tersebut dilakukan untuk mengecoh Suku Ghathafan supaya tidak ikut campur, sehingga kaum Yahudi Khaibar harus menghadapi pasukan Rasulullah SAW tanpa bantuan dari kelompok lain. 


3. Serangan mendadak di waktu fajar

Ilustrasi waktu fajar (Unsplash.com/Simon Infanger)
Ilustrasi waktu fajar (Unsplash.com/Simon Infanger)

Setelah tiba di Khaibar sebelum fajar, Rasulullah SAW bersama pasukannya langsung menunaikan salat subuh di pinggiran kota. Begitu matahari terbit, serangan ke Khaibar pun dilancarkan. Rasulullah memiliki kebiasaan untuk tidak melakukan penyerbuan pada malam hari demi menghindari mereka yang tidak terlibat perang. Saat pagi hari, penduduk Khaibar yang keluar rumah seraya membawa sekop serta keranjang menuju kebun, dikejutkan oleh serangan mendadak dari pasukan muslim. 

Rasulullah SAW memulai serangan, mereka berlarian ke benteng mereka sambil berteriak, “Muhammad datang dengan bala tentara.” 

Dalam riwayat Anas bin Malik, diceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda: 

الله أكبر , خربت خيبر , إنّا إذا نزلنا بساحة قوم فساء صباح المنذرين  

Artinya, “Allahu Akbar! Hancurlah Khaibar! Kami jika turun menyerang di halaman satu kaum, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu.” (HR. Bukhari. Lihat juga, Abd al-Qadir Syaibah al-Hamd, al-Qashash al-Haq fi Sirah Sayyid al-Khalq Muhammad Saw, (Riyadh, 2013) halaman 337).

Dalam Sirah Nabawiyah, Shafiyurrahman al-Mubarakfuri menjelaskan, wilayah Khaibar dilindungi oleh sejumlah benteng besar yang strategis. Separuh wilayah Khaibar memiliki lima benteng, yakni Benteng Na’im, Benteng Ash-Shab bin Muadz, Benteng Qal’ah az-Zubair, Benteng Ubay, dan Benteng An-Nizar. Tiga benteng pertama terletak di kawasan Nathat, sementara dua benteng lainnya terletak di wilayah Asy-Syiq. 

Sementara, dua wilayah benteng lainnya yang disebut al-Katibah, terdiri dari tiga benteng, yaitu Benteng Al-Qamush (milik Abul Huqaiq dari Bani An-Nadhir), Benteng Al-Wathit, serta Benteng As-Sulalim. 


4. Peran Ali bin Abi Thalib dan kemenangan di benteng Na'im

ilustrasi kaligrafi bertuliskan nama Ali bin Abi Thalib (pexels.com/Mohamed hamdi)
ilustrasi kaligrafi bertuliskan nama Ali bin Abi Thalib (pexels.com/Mohamed hamdi)

Pasukan muslim melakukan serangan mereka di wilayah Nathat, tepatnya pada Benteng Na’im. Selama dua hari berturut-turut, pasukan muslim berusaha menembus benteng tersebut, tetapi selalu mengalami kegagalan. Pada saat itu, panji pasukan Rasulullah SAW dipegang oleh Sayyidina Abu Bakar. Namun, keesokan harinya, Rasulullah SAW memberikan panji tersebut kepada sosok lain yang beliau yakini sebagai pembawa kemenangan, yakni Sayyidina Ali ra. 

Quraish Shihab dalam penjelasannya, mengutip hadist dari Bukhari-Muslim mengenai pesan Rasulullah SAW kepada Ali ketika menyerahkan panji itu. Nabi bersabda : 

ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله تعالى , فوالله لأن يهدي الله بك

رجلا واحدا خير لك من أن يكون لك حمر النعم 

Artinya, “Ajaklah mereka kepada Islam. Sampaikanlah kepada mereka apa yang diwajibkan atas mereka dari hak-hak Allah. Demi Allah bahwa Allah memberi hidayah kepada seseorang melalui Engkau, maka itu lebih baik dari Humr an-Ni’am (harta benda yang amat bernilai).” (HR. Bukhari dan Muslim. Lihat Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih, (2018: 807). 

Ketangkasan Ali sebagai pemegang panji Nabi ditunjukkan saat beliau dihadang oleh Marhab, seorang tokoh Yahudi yang dikenal sebagai sosok yang gagah berani, tetapi sombong dan gemar membanggakan diri. Duel pun terjadi antara keduanya dan Ali berhasil membunuh Marhab. Kemenangan ini membuka jalan bagi pasukan muslim untuk menaklukkan Benteng Na’im. Setelah itu, Yasir (saudara Marhab) turut maju ke medan perang, tetapi ia berhasil dikalahkan oleh Zubair ibn al-Awwam. 

Satu demi satu benteng pertahanan milik Yahudi berhasil ditaklukkan sehingga makanan serta harta benda jatuh ke tangan pasukan muslim. Mereka akhirnya melarikan diri ke wilayah Khaibar bagian kedua yang disebut Al-Katibah, dan berlindung di Benteng Al-Qamush dan benteng Sulalim. 

Pasukan muslim pada akhirnya mengepung mereka selama 14 hari hingga mereka menyerah dan meminta perdamaian. Jumlah korban dari pasukan muslim tercatat sebanyak 20 orang syahid, meskipun menurut Quraish Shihab (2018) menyebutkan riwayat lain 25 orang yang syahid. Sementara dari pihak Yahudi, tercatat 93 orang tewas dalam peperangan tersebut. 


5. Dampak kemenangan perang Khaibar bagi umat muslim

Suasana Masjid Nabawi, Madinah yang dipenuhi oleh Jamaah di tengah musim haji (IDN Times/Umi Kalsum)
Suasana Masjid Nabawi, Madinah yang dipenuhi oleh Jamaah di tengah musim haji (IDN Times/Umi Kalsum)

Kemenangan kaum muslim dalam Perang Khaibar membawa dampak besar. Mereka yang sebelumnya gagal melaksanakan ibadah umrah akibat dihalangi kaum musyrik Makkah dalam peristiwa Hudaibiyah, akhirnya menyaksikan janji Allah SWT dalam QS. Al-Fath ayat 20 terpenuhi. Dari penaklukan Khaibar, kaum muslim mendapat banyak harta rampasan, termasuk persediaan makanan dan perlengkapan perang. 

Kemenangan ini juga membuka jalan yang lebih luas bagi dakwah islam, seiring meningkatnya keamanan di Madinah. Hal tersebut mendorong pertumbuhan ekonomi umat Islam. Kaum Muhajirin yang semula banyak menerima bantuan dari kaum Anshar, akhirnya bisa membalas kebaikan tersebut dengan penuh rasa syukur. Sebab, harta rampasan hasil dari Perang Khaibar yang dibagikan Rasulullah SAW, telah mencukup kebutuhan mereka. 


Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us