Sidak ke SPBU, DPR Ungkap Banyak Celah Oplos Pertamax

- Pengoplosan Pertamax terjadi sejak impor minyak mentah hingga di depo milik Pertamina.
- Kasus korupsi tata kelola minyak dan produksi kilang melibatkan banyak pihak, termasuk Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan sebagai tersangka.
- Kerugian konsumen akibat pembelian BBM Pertamax oplosan mencapai Rp47,6 miliar per hari, dengan total kerugian per tahun mencapai Rp17,4 triliun.
Jakarta, IDN Times - Anggota Komisi VI DPR RI dari F-PDIP, Mufti Aimah Nurul Anam, menyebut bahwa banyak sekali celah terjadinya pengoplosan kandungan dalam bensin jenis Pertamax.
Hal tersebut disampaikan Mufti usai dirinya bersama sejumlah Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) menggelar inspeksi mendadak (sidak) ke SPBU Pertamina di Jalan Palmerah Utara, Palmerah, Jakarta Barat, Senin (3/3/2025).
Dalam kesempatan itu, legislator yang membidangi perdagangan, kawasan perdagangan dan pengawasan persaingan usaha, dan BUMN ini berdiskusi langsung dengan Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina Patra Niaga, Harsono Budi Santoso dan Direktur Rekayasa dan Infrastruktur Darat, Eduward Adolof Kawi.
"Kalau tadi kami bahas pintas dari ini, jadi sebenarnya banyak sekali saya yakinin tidak hanya Dirut Patraniaga (yang korupsi). Kalau dari tadi paparan tadi, saya pikir tidak hanya satu atau dua orang (terlibat dalam oplos Pertamax), ini kerja bersama ini," kata dia kepada IDN Times di lokasi.
1. Banyak celah untuk mengoplos Pertamax, tapi kecil kemungkinan terjadi di SPBU

Mufti menjelaskan, berdasarkan hasil sidak yang dilakukan, celah untuk melakukan tindakan ilegal mengoplos Pertamax sangat banyak. Mulai dari saat impor minyak mentah hingga di depo milik Pertamina.
Namun, ia meyakini, celah pengoplosan Pertamax sangat kecil terjadi di SPBU.
"Setelah kami telisir tadi, kami diskusi dengan teman-teman Patraniaga, ruangnya sangat banyak sekali, sangat banyak celah untuk bagaimana melakukan pengoplosan. Baik mulai dari importasi dari luar ke dalam, kemudian di depo-depo tadi itu bisa dilakukan dimanapun. Kecuali di tempat SPBU sudah tidak punya ruang untuk mereka melakukan pengoplosan," ujar dia menegaskan.
2. Soroti megakorupsi

Oleh sebab itu, Mufti meyakini, kasus korupsi tata kelola minyak dan produksi kilang dalam mengoplos Pertalite menjadi Pertamax ini melibatkan banyak pihak.
Ia pun mengistilahkan, kasus ini bukan cuma megakorupsi, melainkan "megagotong-royong korupsi."
"Jadi saya pikir, bukan hanya megakorupsi ini, tapi juga apa ya, megagotong-royong bagaimana ternyata perampokan ini dilakukan secara bersama-sama begitu, kalau memang benar itu terjadi begitu. Walaupun kami sampai hari ini belum baca BAP-nya," beber Mufti.
3. Wakil Ketua Komisi VI DPR setuju bikin panja khusus usut korupsi Pertamina dan oplos Pertamax

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Adisatrya Suryo Sulisto mendukung penuh pembentukan panitia kerja (panja) khusus untuk mengusut kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) periode 2018 hingga 2023. Sebab, kasus tersebut mengungkap adanya dugaan pengoplosan BBM.
Ia pun mengatakan, banyak dari Anggota DPR Komisi VI yang meminta agar panja segera dibentuk.
"Sudah banyak permintaan dari anggota Komisi 6 mendorong keberadaan panja ini. Saya pun setuju," ucap dia.
Adisatrya memastikan usulan pembentukan panja khusus kasus korupsi PT Pertamina akan dibahas lebih lanjut. Ia menyebut, dalam waktu dekat akan dibahas bagaimana kelanjutan nasib panja tersebut.
"Kita akan bahas lebih lanjut di Komisi VI DPR dan keputusannya akan segera," ungkapnya.
4. Awal mula kasus Pertamax oplos terungkap

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan tindak pidana korupsi dalam Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018 sampai 2023. Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Direktur Penyidikan Jaksa Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar mengungkap modus korupsi yang dilakukan RS. Tersangka melakukan pembelian atau pembayaran buat bahan bakar dengan kadar RON 92. Namun, sebenarnya tersangka membeli bahan bakar dengan kadar RON 90 atau lebih rendah.
"Tersangka RS melakukan pembelian atau pembayaran untuk RON 92 padahal sebenarnya hanya yang dibeli adalah RON 90 atau lebih rendah," kata dia dikutip Selasa (25/2).
Meski begitu, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar mengungkapkan, Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ada saat ini bukan dari hasil oplosan, dan tak ada kaitannya dengan modus para tersangka yang mengoplos Pertalite jadi Pertamax pada tahun kasus terjadi.
"Jadi jangan ada pemikiran di masyarakat bahwa seolah-olah minyak yang sekarang dipakai itu adalah oplosan, itu enggak tepat," kata dia.
Menanggapi hal itu, Direktur Ekonomi Digital dari Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda memperkirakan kerugian konsumen per hari akibat pembelian BBM Pertamax oplosan mencapai Rp47,6 miliar.
Angka itu diperoleh dari harga jual Pertamax di tahun 2023 per liter-nya mencapai Rp13.400, dikurangi harga jual Pertalite di tahun yang sama yaitu Rp10.000, lalu dikalikan 14.007,907 (konsumsi Pertamax per hari pada 2023). Dari angka tersebut menghasilkan kerugian konsumen mencapai Rp47,6 miliar. Bila dikalikan 360 hari, maka total kerugian konsumen per tahun akibat Pertamax yang dioplos mencapai Rp17,4 triliun.
"Kalau kita hitung per tahun 2023 total ada Rp17,4 triliun kerugian masyarakat, yang itu disebabkan dari consumer loss saja. Belum kita hitung dari mesin yang rusak dan sebagainya. Begitu juga pump gasoline-nya yang rusak dan sebagainya," ujar Nailul ketika memberikan keterangan pers di kantor LBH Jakarta, Jumat (28/2).
Ia juga menyebut, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang hilang akibat kerugian konsumen yang muncul dari kasus rasuah tersebut yakni mencapai Rp13,4 triliun. Dari peristiwa tersebut, kata Nailul, membuktikan bahwa yang rugi tidak hanya negara.
"Ada juga kerugian cukup dalam yang dirasakan dari sisi konsumen," tutur dia.
Itu sebabnya CELIOS, kata Nailul, memilih mendampingi LBH Jakarta untuk membuka pos pengaduan bagi korban Pertamax oplosan. Diharapkan, pembukaan pos pengaduan bagi korban lebih bermanfaat dibandingkan sidak dadakan yang dilakukan oleh Komisi XII DPR pada Kamis kemarin.
"Kasus (pengoplosan) terjadi pada 2018-2023, sidaknya dilakukan pada 2025. Ini kan gak make sense," imbuhnya.