Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dugaan Pertamax Oplosan, Ahli: Kalau Betul Ada Pasti Viral dari Dulu

PT Pertamina (Persero) menegaskan tidak ada pengoplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax (dok. Pertamina)

Jakarta, IDN Times - Ahli konversi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto Zaenuri, meragukan telah terjadi praktik pengoplosan atau pencampuran Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 92 Pertamax dengan BBM RON 90 Pertalite yang dilakukan PT Pertamina Patra Niaga.

Sebab, menurut Tri, bila itu yang terjadi maka akan muncul banyak keluhan dari masyarakat, karena kendaraan yang digunakan menjadi tidak bertenaga. Sebab, kerak yang muncul di mesin kendaraan akan lebih banyak dibandingkan BBM yang diberi zat aditif. Sementara, yang membedakan kualitas Pertalite dan Pertamax yakni adanya penambahan zat aditif. 

"Berita itu (soal keluhan dari masyarakat) kan gak pernah kita dengar dan muncul. Masyarakat Indonesia kan pada umumnya lebih suka membeli bahan bakar yang murah, bukan bahan bakar sesuai rekomendasi yang dibuat oleh pembuat kendaraan," ujar Tri ketika berbincang dalam program "Ngobrol Seru" by IDN Times yang tayang di YouTube, Minggu (2/3/2025). 

Apalagi berdasarkan keterangan dari Kejaksaan Agung, dugaan manipulasi BBM itu terjadi pada rentang 2018 hingga 2023. Bila modus curang itu dilakukan PT Pertamina Patra Niaga, maka akan berimbas secara nasional dan sudah menjadi perbincangan publik secara luas dari dulu. 

"Masyarakat bila merasakan kekurangan seperti itu pasti teriak (di medsos) dan itu viral. Itu kan jangka waktunya lama, selama lima tahun (dugaan manipulasi BBM). Kok sepi-sepi aja? Gak ada yang mengeluh bahwa BBM Pertamax jadi boros lah, atau tarikan mesinnya jadi berat lah," kata Tri.

1. Bila terjadi pengoplosan Pertamax maka SPBU akan dilaporkan

Momen Natal: Konsumsi Pertamax Series di Sumbagsel Naik 21 Persen (Dok. Pertamina)

Lebih lanjut, kata Tri, bila betul pernah terjadi praktik pengoplosan BBM Pertamax dengan Pertalite, maka SPBU dengan mudah bisa dilaporkan dan ditindak. Sebab, kualitas RON otomatis akan menurun, tak sesuai spesifikasi Pertamax yang minimal RON-nya mencapai 92 atau lebih. 

"Katakanlah kalau yang dicampur Pertalite RON 90 dengan Pertamax RON 92, misalkan dicampur satu banding satu, berarti RON yang akan didapat adalah RON 91. Bila itu dijual di dispenser Pertamax, ketika dilakukan sampling oleh Kementerian ESDM makan akan dengan mudah ketahuan," ujar doktor lulusan Jerman itu. 

"Pasti SPBU-nya akan diperkarakan. Akan ditanya 'mengapa Anda menjual BBM di bawah spesifikasi-nya. Karena RON untuk Pertamax itu 92 bahkan bisa lebih," imbuhnya. 

Tri juga menjelaskan kecil kemungkinan PT Pertamina Patra Niaga mengimpor BBM RON 92 lalu diturunkan menjadi RON 90 untuk dijual sebagai Pertamax. Sebab, PT Pertamina harus mencari nafta yang RON-nya lebih rendah untuk menurunkan RON. 

"Artinya, dibutuhkan pengadaan khusus sehingga akan menambah biaya. Kalau nambah cost kan malah mengurangi keuntungan. Jadi, saya rasa sih gak mungkin ya dilakukan seperti itu, buat apa juga," katanya. 

2. BBM yang keluar dari depo sudah lolos uji kualitas

Pakar konversi energi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Tri Yuswidjajanto Zaenuri ketika berbincang di program Ngobrol Seru. (Tangkapan layar YouTube IDN Times)

Tri pun meragukan praktik pencampuran bisa terjadi di depo Pertamina. Sebab, BBM akan dilakukan uji kualitas. Hasilnya akan ada sertifikat yang dirilis. 

"Sertifikat uji BBM dari depo akan diberikan ke SPBU. Setiap kali pengiriman ke SPBU juga diambil sampelnya, kemudian diuji untuk massa jenisnya. Kalau massa jenisnya terlalu rendah, maka (BBM) akan ditolak," kata dia. 

Tri mengatakan sebelum BBM dimasukan ke tangki timbun dan didistribusikan ke SPBU akan melalui proses pengecekan lebih dulu. "Yang namanya alat transportasi, kan pasti muatannya akan terpapar panas, BBM kalau terpapar panas akan memuai. Akibatnya density (tingkat kepadatan) menurun," tutur dia. 

Jadi, kata Tri, akan ada pengecekan sebelum BBM diterima oleh pihak SPBU. Selain itu, setiap SPBU milik Pertamina juga dilakukan sampling. Pertamina memiliki dua jenis SPBU. Pertama, "Pasti Pas" dan kedua, "Pasti Prima". 

"Artinya, yang pasti pas, maka pengukuran liternya harus sesuai. Misalnya kalau kita beli satu liter harus benar-benar satu liter. Jangan sampai mendapat 0,9 liter. Kalau SPBU pasti prima tidak hanya volume, tapi juga kualitasnya. Berarti, pengawasannya harus lebih ketat lagi harus sesuai spesifikasinya," katanya. 

3. Proses pencampuran BBM di depo hanya untuk jenis solar B40

Ilustrasi depo milik PT Pertamina. (IDN Times/Dhana Kencana)

Tri juga tak menampik bisa saja terjadi pencampuran BBM di depo Pertamina, tetapi itu hanya untuk jenis solar B40 yang masuk kategori subsidi. Yang dicampur, kata Tri, adalah solar B0 dengan biodiesel 40 persen. 

"Itu dilakukan di depo dan mereka punya alatnya untuk itu. Tapi, untuk BBM bensin tidak ada (pencampuran apapun). Dulu memang ada pencampuran di kilang minyak. Ketika itu kilang belum bisa memproduksi RON 91, memang Pertamina belum bisa memproduksi Pertalite untuk mencampurkan Premium dengan Pertamax," kata dia.

Tetapi, menurut Tri, kebijakan itu tidak lagi ditempuh setelah kilang minyak bisa memproduksi sendiri BBM dengan RON 91. Ia mengatakan di BBM jenis Pertamax terdapat jenis aditif, sedangkan di Premium tidak ada zat tersebut. 

"Ketika Pertamax dicampur dengan Premium, zat aditifnya berkurang. Aditif kalau berkurang, maka kerak yang akan muncul di mesin lebih banyak dibandingkan kalau BBM tanpa aditif," tutur dia. 

Sehingga, Tri menegaskan, bila betul PT Pertamina Patra Niaga melakukan modus kecurangan pada 2018-2023, maka akan banyak muncul keluhan kendaraan milik masyarakat tidak bertenaga. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Santi Dewi
Rochmanudin Wijaya
Santi Dewi
EditorSanti Dewi
Follow Us