Sinyal Jokowi Dukung Prabowo, Pakar: Indonesia Seakan Negara Monarki

Jakarta, IDN Times - Ahli Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengkritisi sinyal dukungan Presiden Joko "Jokowi" Widodo kepada Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Dia menilai, sinyal dukungan Jokowi kepada Prabowo dengan menyebut akan menjadi Presiden pada 2024 melanggar etik.
1. Dinilai langgar etik karena menunjukkan dukungan ke calon berikutnya

Menurut Bivitri, pernyataan Jokowi itu melanggar secara etik karena menunjukkan semacam dukungan pada calon Presiden berikutnya.
"Tentu saja sangat melanggar etik, karena perkataannya jelas menunjukkan semacam endorsement pada calon Presiden berikutnya," kata Bivitri dalam keterangannya, Selasa (9/11/2022).
2. Setiap perkataan pejabat negara berpengaruh pada situasi politik

Dia menambahkan, banyak respons dari elite partai yang mengatakan tindakan tersebut hanya sekedar basa-basi. Namun, jelas Bivitri, di situ lah letak etik bagi penyelenggara negara.
Dalam berkomentar, kata dia, bagi seorang penyelenggara negara ada batas-batas etik. Sebab, ucapan ini bakal berpengaruh pada situasi politik bahkan kebijakan.
"Memang ada sebagian yang pasti akan bilang itu hanya basa-basi, tapi justru di situ letak etik bagi penyelenggara negara, dalam keseharian, berkomentar, ada batas-batas etik yang tinggi," ujar Bivitri.
"Karena setiap perkataan seorang penyelenggara negara, apalagi Presiden, bisa berpengaruh pada situasi politik, bahkan kebijakan," tambahnya.
3. Seakan menunjukkan Indonesia sebagai negara monarki

Lebih lanjut, dalam hal perkataan Jokowi ke Prabowo itu, Bivitri menilai hal tersebut bisa saja kelihatan remeh. Namun, ada dua konteks makna di baliknya.
"Dalam negosiasi politik yang sekarang ini tengah dilakukan. Lalu, kebijakan yang mungkin harus atau akan diambil terkait putusan MK mengenai menteri yang nyapres atau nyaleg," tutur dia.
Kemudian, perkataan Jokowi ini juga dinilai seakan-akan Indonesia bukan lagi negara demokrasi, tetapi monarki. Sebab, penguasa selanjutnya harus disetujui oleh penguasa saat ini.
"Seakan-akan Indonesia bukan negara demokrasi tetapi seperti monarki, karena penguasa selanjutnya harus disetujui oleh penguasa yang sekarang," ucap Bivitri
Tindakan ini juga seakan-akan menunjukkan adanya keinginan untuk bergantian dalam menduduki kursi kepemimpinan.
"Karena Prabowo kan dulu rival Jokowi, jadi ganti-gantian saja. Sangat elitis, hanya siapa di lingkaran itu yang bisa menggantikan," imbuh Bivitri.