Tantangan Biaya Politik dan Peran Partai dalam Pilkada

- Dinamisasi politik Pilkada di Indonesia berkembang pesat sejak 2005
- Perlunya evaluasi mendalam terhadap sistem politik untuk hindari praktik negatif
- Pentingnya peran generasi muda dalam mengawal demokrasi dan menulis kritis
Jakarta, IDN Times - Dinamisasi politik dalam Pilkada di Indonesia telah berkembang pesat sejak penerapan pemilihan langsung pada tahun 2005. Meski menawarkan harapan akan demokrasi yang lebih terbuka, praktik Pilkada langsung kerap diwarnai oleh isu biaya politik yang tinggi, politik uang, dan munculnya dinasti politik.
Menurut Akademisi dan Pengamat Politik UAI, Ujang Komarudin, dinamika ini mencerminkan kurangnya reformasi dalam sistem politik, yang berpotensi menghambat lahirnya pemimpin berkualitas. Dalam diskusi bersama komunitas Bijak Pilkada, Ujang menyoroti perlunya evaluasi mendalam terhadap sistem politik.
Ia menilai bahwa pemimpin dengan visi kuat, integritas tinggi, dan program yang solutif hanya dapat lahir jika partai politik benar-benar berkomitmen mendukung kandidat berkualitas.
1. Pilkada langsung: harapan dan realitas politik uang

Pilkada langsung diharapkan menjadi sarana mencari pemimpin berkualitas yang mampu memajukan daerah, sekaligus berkontribusi pada pembangunan nasional.
"Kalau yang terpilih adalah mereka yang bagus, yang memiliki kualitas maka daerah itu akan bisa maju. Nah dalam konteks itu maka kalau sudah daerah itu maju maka pembangunan nasional akan terjadi," tutur Ujang.
Namun, di balik harapan tersebut, ada tantangan besar berupa tingginya biaya politik yang sering kali membatasi akses kandidat berkualitas.
Menurut dia, tingginya biaya politik dalam Pilkada langsung menciptakan ruang bagi tumbuhnya praktik negatif seperti politik uang, dinasti politik, dan oligarki.
"Misalkan butuh 5 kursi ya untuk persyaratan, itu satu kursi di DPRD itu partai tertentu sampai Rp1 miliar harganya. Jadi untuk membeli partainya saja rekomendasi seperti itu," jelasnya.
Bahkan, beberapa kepala daerah harus mengeluarkan biaya besar, seperti cerita seorang bupati yang menghabiskan 40 miliar untuk memenangkan pemilu, namun pada periode selanjutnya ditangkap oleh KPK.
Fakta ini menunjukkan perlunya pembenahan sistem untuk mengurangi beban finansial Pilkada dan menciptakan ruang bagi pemimpin yang berintegritas.
2. Tantangan mencari pemimpin berkualitas

Partai politik memiliki peran penting sebagai "jembatan" yang menghadirkan calon pemimpin berkualitas. Namun, ia mengkritik kecenderungan partai yang lebih mengutamakan kandidat dengan modal besar atau koneksi keluarga.
"Biasanya partai politik lebih menginginkan siapa yang punya uang, ini anaknya siapa, siapa yang membiayai," ungkapnya.
Fenomena dinasti politik juga semakin menguat, dengan banyaknya kandidat yang merupakan anak pejabat atau tokoh politik.
Meski begitu, beberapa daerah menunjukkan progres positif. Kandidat seperti Ridwan Kamil dan Bima Arya, yang memiliki latar belakang pendidikan luar negeri, menawarkan standar baru dalam kompetensi calon pemimpin daerah.
"Hal seperti inilah yang sebenarnya perlu kita dorong," kata Ujang, menekankan pentingnya memperkuat integritas dan kualitas kandidat.
3. Harapan dari generasi muda

Meski mengalami kejenuhan, generasi muda dinilai tetap menjadi harapan perubahan. Ujang mencatat adanya peningkatan partisipasi aktif mahasiswa dalam mengkritisi kebijakan, termasuk menolak revisi UU Pilkada yang dianggap hanya menguntungkan elite politik tertentu.
"Anak-anak muda pasti tidak tinggal diam ketika melihat banyak hal negatif terjadi," ujarnya.
Ia menekankan pentingnya peran generasi muda dalam mengawal demokrasi, baik melalui aksi langsung maupun tulisan kritis.
"Jangan dikira teman-teman yang menulis itu tidak ada gunanya, pasti ada gunanya jadi gerakan menulis itu adalah gerakan yang menurut saya menjadi senjata perubahan," tegas Ujang.
Ia juga menambahkan bahwa menulis yang baik harus didasari oleh critical thinking, dengan substansi yang jelas dan isu yang relevan untuk mengkoreksi keadaan yang bermasalah, serta tidak boleh menulis sesuatu yang bersifat subjektif.