Tantangan Digitalisasi Kepolisian: Budaya Militeristik Masih Kental

- Firdaus Syam, Guru Besar Ilmu Politik Unas, soroti tantangan digitalisasi kepolisian terkait pendataan, pelayanan, dan struktur organisasi menuju Police 4.0 yang berintegritas.
- Sebelum digitalisasi kepolisian diwujudkan, perlu dibenahi sumber daya manusia dan budaya pada institusi polisi agar berintegritas serta profesional.
- Teknologi canggih tanpa mentalitas polisi yang baik sulit mencapai aparat humanis, demokratis, profesional, dan berintegritas. Budaya militeristik juga masih kental dalam diri kepolisian.
Jakarta, IDN Times - Guru Besar Ilmu Politik Universitas Nasional (Unas) Jakarta, Firdaus Syam, mengungkap berbagai tantangan digitalisasi kepolisian. Sebab, hal ini berkaitan dengan pendataan, pelayanan, dan struktur organisasi menuju Police 4.0 yang berintegritas.
Hal tersebut disampaikan Firdaus dalam kegiatan Rilis Temuan Hasil Survei dan Diskusi Publik bertajuk Urgensi Digitalisasi Kepolisian Menuju Pemolisian Sipil Berintegritas di Hotel Balairung, Jakarta Pusat, Sabtu (22/3/2025).
“Digitalisasi di sektor kepolisian sendiri mengalami tantangan. Sejumlah tantangan tersebut yakni soal ancaman cyber, culture, dan kelembagaan kepolisian. Problem utama digitalisasi kepolisian yakni kondisi topografi Indonesia seperti luas wilayah, keadaan geografis, pendanaan, dan sejenisnya,” kata dia.
1. Masalah sumber daya manusia

Firdaus mengatakan, sebelum berbicara terlalu jauh terkait digitalisasi kepolisian, lebih baik sumber daya manusia dan budaya pada institusi polisi perlu dibenahi.
Digitalisasi kepolisian merupakan program hal yang sulit terwujud jika budaya dan sumber daya manusia Polri belum berintegritas.
“Problem utama Polri yakni soal mentalitas, budaya atau culture. Polri masih suka lipstik di atas panggung, tapi buruk pada pelaksanaan” jelas Firdaus Syam.
2. Atasan perlu memberikan contoh ke bawahan

Bahkan, kata Firdaus, teknologi yang canggih tanpa dibarengi dengan mentalitas polisi yang baik, maka sangat sulit mencapai aparat yang humanis, demokratis, profesional, dan berintegritas.
“Memperbaiki keadaan demikian, maka dibutuhkan pimpinan kepolisian yang memiliki komitmen memperbaiki kelembagaan polisi dan dapat memberikan contoh kepada bawahan. Karena jika hulunya kotor maka kotorlah air tersebut,” jelas Firdaus.
3. Budaya militeristik kepolisian

Selain itu, kata Firdaus, budaya militeristik masih sangat kental dalam diri kepolisian. Beberapa hari belakangan misalnya, mahasiswa mendapatkan perlakuan represif atau kekerasan dalam aksi demonstrasi penolakan UU TNI pada 2025.
“Kepolisian itu belum mampu menerjemahkan digitalisasi teknologi, karena apa, polisi belum dekat dengan rakyat, serta kampanye pemolisian sipil demokratis dan humanis di Indonesia," pungkas Firdaus.
Sebagai informasi, Civil Society for Police Watch telah melakukan survei sejak 12-18 Maret 2025 lalu, responden terpilih pada 26 provinsi berjumlah 1.500 orang dengan margin of error kurang lebih 2,53 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Adapun metode yang digunakan yakni random sampling, sementara tenaga survei yakni minimal mahasiswa yang telah mendapatkan pelatihan dari tim pusat. Kemudian, sampel mulai dari gender, agama, tingkat pendidikan, topografi, etnis dan suku.