Tolak Tapera, Buruh akan Unjuk Rasa 6 Juni 2024 di Istana Negara

- Partai Buruh menolak potongan gaji untuk dana Tapera
- Potongan 3% dalam 10-20 tahun kepesertaan tidak akan memberikan rumah kepada buruh
Jakarta, IDN Times - Partai Buruh menyatakan menolak potongan gaji untuk dana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Oleh karena itu, buruh bertekad melakukan unjuk rasa pada 6 Juni 2024 di depan Istana Negara, Jakarta.
“Atas dasar enam alasan tersebut, Partai Buruh dan KSPI akan mempersiapkan aksi besar yang akan diikuti ribuan buruh pada hari Kamis tanggal 6 Juni di Istana Negara, Jakarta, dengan tuntutan untuk mencabut PP No. 2124 tentang Tapera dan merevisi UU Tapera,” ujar Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam keterangannya, dikutip Senin (3/6/2024).
“Selain itu, buruh akan menyuarakan tuntutan untuk mencabut PP tentang program Kamar Rawat Inap Standar (KRIS) BPJS Kesehatan, menolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal, mencabut Omnibus Law UU Cipta Kerja, dan Hapus Outsourcing Tolak Upah Murah (Hostum),” sambungnya.
1. Desak cabut PP Tapera

Partai Buruh dan KSPI mendesak pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. Said mengatakan, potongan gaji pekerja 3 persen dalam 10 hingga 20 tahun kepesertaan disebut buruh tidak akan memiliki rumah.
Menurutnya, potongan 3 persen untuk Tapera hanya bisa digunakan sebagai uang muka saja. Said mengatakan, dalam PP Tapera juga tidak menjelaskan mengenai peran pemerintah ikut dalam iuran Tapera untuk menyediakan rumah bagi rakyat.
"Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha saja, tanpa ada anggaran dari APBN dan APBD yang disisihkan oleh pemerintah untuk Tapera. Dengan demikian, pemerintah lepas dari tanggung jawabnya untuk memastikan setiap warga negara memiliki rumah yang menjadi salah satu kebutuhan pokok rakyat, di samping sandang dan pangan," tutur Said.
2. Tapera hanya bebani hidup buruh

Said menegaskan, adanya potongan 3 persen untuk Tapera hanya membebani hidup buruh. Sebab, selama ini gaji buruh sudah dikenakan sejumlah potongan, yakni pajak penghasilan 5 persen, iuran jaminan kesehatan 1 persen, iuran jaminan pensiun 1 persen, dan iuran jaminan hari tua 2 persen.
"Belum lagi jika buruh memiliki utang koperasi atau di perusahaan, ini akan semakin membebani biaya hidup buruh," ucap dia.
Menurut Said, dana Tapera juga rawan dikorupsi. Oleh karena itu, dana tabungan harusnya dikelola oleh lembaga independen, bukan pemerintah.
Seharusnya, kata Said, pemerintah membebaskan kepada masyarakat mengikuti Tapera atau tidak. Sebab, pemerintah menyebut Tapera merupakan dana tabungan.
"Karena pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya bersifat sukarela, bukan memaksa. Dan karena Tapera adalah tabungan sosial, tidak boleh ada subsidi penggunaan dana antarpeserta, seperti halnya tabungan sosial di program Jaminan Hari Tua (JHT), BPJS Ketenagakerjaan," tutur dia.
3. Ketidakjelasan dalam pencairan Tapera

Selain itu, Said juga menyebut proses pencairan dana Tapera tidak jelas dan rumit. Menurutnya, pekerja swasta bisa kapan saja kena pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Untuk PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK. Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi. Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera," tuutur dia.