Biografi Ahmad Yani, Anak Bagelen di Lingkaran Elite TNI

Yani berulang kali ganti nama, awalnya Amat Jani

Jakarta, IDN Times - Publik lebih mengenal Ahmad Yani sebagai Pahlawan Revolusi, jenderal TNI yang terbunuh akibat pemberontakan G30S PKI di tahun 1965 silam. Tidak banyak yang tahu bagaimana kehidupan Yani saat kecil hingga masuk lingkaran elit TNI Angkatan Darat.

Sang istri, mendiang Yayu Rulia Subandiah meramunya dalam biografi berjudul "Ahmad Yani, Sebuah Kenang-kenangan" yang ditulisnya sendiri pada tahun 1981. Yani lahir di Jenar, Purworejo pada 19 Juni 1922. Ayahnya bernama M Wongsorejo dan ibunya, Murtini. Yani yang tumbuh kembang di Bagelen adalah anak laki satu-satunya di keluarga itu. Namanya berulang kali diganti.

Awalnya kedua orangtua Yani menamainya Amat Jani. Tetapi saat mendapat pendidikan agama, namanya diubah menjadi Ahmat Jani. Namun Yani tidak sreg dengan nama itu dan menambahkan huruf 'c' menjadi Achmad Jani. Namun saat ejaan baru berlaku, namanya berganti lagi jadi Ahmad Yani.

Baca Juga: Biografi Sayuti Melik, Tokoh di Balik Teks Proklamasi

1. Penuh keberuntungan sejak kecil

Biografi Ahmad Yani, Anak Bagelen di Lingkaran Elite TNISosok Ahmad Yani (Buku 'Ahmad Yani, Sebuah Kenang-kenangan' hal. 11-IDN Times/Umi Kalsum)

Yayu menuturkan, suaminya memiliki adat keras, namun keberuntungan kerap menghampirinya sejak kecil. Keberuntungan pertama Yani saat ia memasuki usia sekolah dasar di Purworejo. Yani berhasil masuk Hollands Indiesche School dengan pengantar bahasa Belanda berkat kebaikan majikan ayahnya, Hulstijn, yang terkesan dengan kepribadian dan kecerdasan Yani.

Dari HIS Purworejo, Yani pindah ke Magelang, lalu ke Bogor untuk menamatkan sekolah dasarnya di tahun 1935. Ia lalu masuk MULO Bagian B yang menunjukkan anak-anak berprestasi. MULO diselesaikannya dalam waktu tiga tahun, dan ia melanjutkan ke AMS Bagian B, Jakarta.

2. Pernah menampar orang Belanda yang memaki ayahnya

Biografi Ahmad Yani, Anak Bagelen di Lingkaran Elite TNIHalaman sampul buku 'Ahmad Yani, Sebuah Kenang-kenangan'. (IDN Times/Umi Kalsum)

Ada kejadian menarik saat Yani masih sekolah di MULO. Suatu kali ia menjenguk orangtuanya di Purworejo. Ketika itu Yani menyempatkan diri mengunjungi ayahnya yang sedang bekerja. Namun ketika sampai di tempat kerja Wongsorejo, Yani mendapati ayahnya sedang dimarahi dan dicaki-maki seorang Belanda. Tidak terima ayahnya dimaki, Yani balas memaki orang tersebut dengan bahasa Belanda. Si Belanda makin marah dan menampar Yani. Yani balas menamparnya sehingga terjadi perkelahian. 

Saat duduk di kelas 2 AMS, Yani memutuskan berhenti sekolah dan masuk tentara. Kebetulan Belanda sedang membuka Corps Opleiding Reserve di Bandung. Dia diterima sebagai aspirant di Dinas Topografi Militer dan dikirim ke Malang selama enam bulan untuk mengikuti pendidikan lanjutan. Lulus pendidikan militer, Yani menyandang pangkat sersan cadangan dan ditempatkan di Malang.

Tahun 1942, Yani sempat meringkuk dalam tahanan ketika Belanda dipaksa menyerah oleh Jepang. Bebas dari penjara ia sempat menjadi pengangguran. Tetapi tahun 1943, ia masuk Heiho dan menjadi pembantu prajurit di daerah-daerah pertempuran. Sebelumnya seorang perwira Jepang, Obata, melihat Yani memiliki bakat sebagai seorang militer dan menyarankannya masuk ke Heiho. Karena prestasinya yang menonjol, ia diberi kesempatan ikut pendidikan Shodanco bagi Tentara Peta. Saat itu usianya sudah 21 tahun.

3. Pernah menjadi prajurit Peta

Biografi Ahmad Yani, Anak Bagelen di Lingkaran Elite TNIPatung Pahlawan Revolusi yang berada di Museum Pancasila Sakti/Lubang Buaya yang berada di Jakarta Timur (cagarbudaya.kemdikbud.go.id/)

Tahun 1944, Yani memulai tugasnya sebagai prajurit Peta. Ia menyandang komandan Seksi I Kompi III, Batalion II yang berkedudukan di Magelang. Di Peta, disiplin dan tata tertib ditegakkan dengan ketat sekali. Bahkan ada aturan tidak boleh nikah. Namun Yani nekat. Pada 5 Desember 1944, ia menikahi Yayu. Saat Yani melaporkan status barunya, ia diamuk sang komandan. Untungnya Jepang menyerah pada 14 Agustus 1945 dan Peta dibubarkan beberapa hari setelahnya.

Setelah Peta bubar, Yani pulang tanpa seragam. Namun ia masih mengangkat senjata, bertempur membela tanah airnya dengan cara bergerilya. Saat itulah ia membentuk batalion sendiri dan memilih pangkat mayor di pundaknya. Ia memimpin Batalion 3 Resimen Magelang. Resimen ini masuk Divisi V yang bermarkas di Purwokerto pimpinan Kolonel R Sudirman. Komandan kompi di bawah Yani, salah satunya Sarwo Edi. Pasukan Yani sempat bertempur hebat saat terjadi serangan sekutu di Magelang. Selanjutnya pertempuran demi pertempuran yang melibatkan Yani dan batalionnya yang tergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat terus berlangsung sampai Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada 21 Juli 1947.

Di awal Januari 1946, TKR berubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan selanjutnya menjadi Tentara Nasional Indonesia pada Juni 1947. Batalion Yani menjadi Resimen 19/Magelang. Saat terjadi Rekonstruksi dan Reorganisasi yang mengatur tentara Indonesia, batalion Yani berubah menjadi Batalion I-Brigade II. Saat Rera ini banyak tentara yang kecewa.

4. Sosok Yani menarik perhatian Bung Karno

Biografi Ahmad Yani, Anak Bagelen di Lingkaran Elite TNISosok Ahmad Yani (Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka, h. 44/Jakarta Citra Lamtoro Gung Persada, 1986)

Tahun 1948, Yani mendapat promosi dan pangkatnya naik jadi letnan kolonel dan menjadi komandan Brigade 9. Berigade-nya juga dikenal dengan sebutan Brigade Kuda Putih. Yani juga sempat memegang Brigade Yudonegoro yang ada di bawah Panglima Divisi Diponegoro.

Karir Yani di militer terus meroket dan menarik perhatian Kepala Staf TNI Angkatan Darat AH Nasution. Yani ditarik ke Gerakan Banteng Negara (GBN) dan mendapat kesempatan mengenyam pendidikan di Amerika Serikat dan Inggris. Wakil Kepala Staf AD saat itu dijabat Gatot Subroto.

Usai belajar, saat kembali ke Jakarta, Yani ditempatkan di Markas Besar TNI AD sebagai Asisten II KSAD. Tak lama ia mendapat kenaikan pangkat, kolonel, dengan jabatan Deputi I KSAD. Yani juga kembali sekolah ke luar negeri, namun di tahun 1958 karena situasi politik yang memanas, Nasution memintanya pulang ke Jakarta. Setelah itu sempat pecah pemberontakan PRRI. Perannya saat menumpas PRRI menarik perhatian Bung Karno dan pangkatnya dinaikkan menjadi Brigjen. Yani sempat ditawari Bung Karno menjadi KSAD. Namun ia menolak karena menghormati seniornya, Gatot Subroto

Pada pertengahan 1962, Yani menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat dengan pangkat Mayjen. Pada waktu itu terjadilah Dwikora dan konfrontasi dengan Malaysia. Di saat bersamaan PKI mulai menebar pengaruh. Namun Yani sebagai Men/Pangad bergeming sehingga PKI sulit menjadikannya sebagai kawan. Yani tidak pernah mengizinkan sukarelawan yang disponsori PKI ke garis depan dalam rangka Dwikora.

Sikap ini kemudian diasumsikan PKI kalau TNI AD menentang Dwikora, yang buntutnya muncullah isu Dewan Jenderal. Yani pun dianggap penghalang oleh PKI karena menolak pembentukan angkatan ke-V dengan alasan bisa membahayakan negara. Tak heran kalau Yani kemudian menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan dalam pemberontakan G30S PKI di tahun 1965.

Baca Juga: Biografi Dua Pahlawan Revolusi yang Jarang Disebut Namanya

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya