Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

WANSUS: Bawaslu NTB, Atasi Anomali Data hingga Fenomena Nikah di Bawah Umur

IMG_20251009_111312.jpg
Komisioner Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Hasan Basri bersama Komisioner Bawaslu Lombok Timur, Jauhari Marjan saat melakukan uji petik pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (dok. Istimewa)
Intinya sih...
  • Uji petik dilakukan untuk memvalidasi data pemilih, memastikan pemilih baru dan tidak memenuhi syarat
  • Uji petik dilakukan secara rutin setiap 3 bulan di tingkat kabupaten/kota untuk mencegah anomali data pemilih
  • Kendala dalam pengawasan pemutakhiran data antara lain kurangnya antusiasme masyarakat dan keterbatasan jumlah pasukan Bawaslu
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Lembaga Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) jadi salah satu penyelenggara dalam tripartit lembaga pemilu. Bawaslu bekerja berkoordinasi penuh dengan dua lembaga penyelenggara pemilu lainnya yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Pascapemilu dan jelang masuk tahapan pemilu selanjutnya, salah satu tugas Bawaslu ialah melakukan pengawasan daftar pemilih berkelanjutan. Upaya ini dilakukan untuk mencegah terjadinya anomali data pada daftar pemilih. Kasus ini biasanya rawan terjadi jelang pemungutan suara, di mana terdapat kejanggalan atau ketidaksesuaian yang signifikan pada data pemilu. Penyebabnya pun beragam, mulai dari kesalahan input datam, kegagalan sistem IT, kesalahan sistem pemutakhiran data, hingga upaya kecurangan.

Oleh sebab itu, Bawaslu melakukan pengawasan terhadap pemutakhiran data pemilih. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan uji petik. Pihak Bawaslu memilih sebagian data atau lokasi secara acak untuk diperksa langsung ke lapangan. Tujuannya untuk mengonfirmasi langsung ke masyarakat, terkait nasib pemilih yang bersangkutan apakah dinyatakan memenuhi syarat (MS) atau tidak memenuhi syarat (TMS). Nantinya data yang dihimpun Bawaslu ini menjadi rekomendasi untuk KPU, jika ada data yang tak sesuai maka perlu dilakukan koreksi.

IDN Times berkesempatan berbincang dengan Komisioner Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Hasan Basri. Di Bawaslu, Hasan membidangi Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat.

Bawaslu NTB jadi salah satu Bawaslu Provinsi yang berkunjung langsung ke masyarakat untuk melakukan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Di NTB sendiri, punya karakteristik pemilih yang unik dan berbeda dari kebanyakan daerah lain. Sebab masyarakat di sejumlah wilayah bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) maupun Tenaga Kerja Wanita (TKW). Selain itu, pernikahan di bawah umur juga masih banyak ditemukan di wilayah ini. Hal tersebut yang menjadi salah satu faktor penyebab kerawanan data anomali terjadi.

Berikut ini wawancara khusus IDN Times bersama Hasan Basri membahas bagaimana uji petik dilakukan, fenomena pernikahan di bawah umur yang harusnya punya hak pilih, hingga pemilih yang bekerja di luar negeri:

Apa fungsi uji petik terhadap data pemilih berkelanjutan dilakukan dan bagaimana mekanismenya?

IMG_20251009_110720.jpg
Komisioner Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Hasan Basri bersama Komisioner Bawaslu Lombok Timur, Jauhari Marjan saat melakukan uji petik pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (dok. Istimewa)

Jadi begini, uji petik ini kan mandat Undang-Undang 7 tahun 2017 tentang pemilu itu. Salah satu tugasnya Bawaslu itu mengawasi proses pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan, itu dasarnya.

Kenapa harus ada uji petik? Karena itu salah satu mandat Undang-Undang yang diberikan kepada Bawaslu untuk melakukan pengawasan pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan. Dalam proses pemutahiran daftar pemilih berkelanjutan, Bawaslu melakukan pengawasan langsung. Kenapa harus dilakukan uji petik, jadi sebelum ke uji petik itu, teman-teman KPU RI kan mendapat data dari Kemendagri. Kemudian KPU RI menyampaikan data-data itu kepada KPU Provinsi maupun KPU Kabupaten/Kota. Nah, melakukan sinkronisasi.

Kemudian mereka melakukan coktas namanya, pencocokan terbatas. Nah, proses-proses itulah yang diawasi oleh teman-teman Bawaslu Kabupaten/Kota.

Kenapa dilakukan uji petik, karena yang pertama, kami memahami bahwa data dari Kemendagri yang dikirim kepada KPU itu Bawaslu tidak diberikan akses. Kami paham itu karena itu mekanisme kami menghormati itu. Tetapi sebagai seorang pengawas, tidak boleh kehilangan arah walaupun tidak memiliki data. Karena bagi kami, data yang dikirim oleh Kemendagri kepada KPU itu, sumber datanya itu adalah pemilu dan atau pemilihan terakhir. Atau kan sumber datanya dari pemilu 2019 atau 2024 dan pilkada terakhir. Nah, itu kami kan punya data. Itu sumber data kan dari situ. Nah, kami lakukanlah uji petik.

Apa maksud daripada uji petik itu? Untuk memvalidasi data, apakah data tersebut yang pemilu maupun pilkada terakhir itu, kategorinya cuma dua. Pemilih memenuhi syarat dan pemilih tidak memenuhi syarat. Nah, pemilih memenuhi syarat itu masuk dalam pemilih baru. Misal, orang yang berumur 17 tahun, dia kan pemilih baru. Atau TNI-Polri yang sudah pensiun, kan dia masuk dalam pemilih baru. Pemilih baru, dia baru bisa menjadi pemilih.

Yang kedua, pemilih tidak memenuhi syarat. Apa pemilih tidak memenuhi syarat? Ya tadi misalnya yang dulu, dia masih sipil. Dia beralih status menjadi TNI-Polri sehingga harus dihapus datanya sebagai pemilih. Yang kedua, dulu dia belum meninggal dunia. Tapi sekarang dia meninggal dunia.

itu yang garis besar yang ingin kami melakukan uji petik. Maka tadi dilakukan, disample yang di Lombok Timur itu yang pertama. Pemilih baru, ditemukan ada orang yang telah berumur 17 tahun tetapi belum masuk dalam daftar pemilih. Yang kedua, pemilih yang TMS. Pemilih TMS tadi yang meninggal dunia, itu kita minta untuk dikeluarkan dari daftar pemilih. Nah, yang tadi yang ketiga itu, yang unik itu yang ketiga tadi itu. Ada pemilih yang secara de jure dan de facto, itu dia memiliki KTP NTB, Lombok Timur. De facto orangnya ini ada di nomor timur.

Tetapi secara dicek di DPT online-nya itu orangnya ada di Jawa, di luar provinsi NTB. Nah, ini yang kami minta kepada teman-teman Bawaslu Lombok Timur untuk menyampaikan saran perbaikan kepada teman-teman KPU. Nah, artinya setiap hasil pengawasan kami, uji petik yang dilakukan tadi itu, itu nanti mekanismenya itu adalah teman-teman Bawaslu kabupaten/kota, dalam hal ini misalnya Lombok Timur, menyampaikan saran perbaikan kepada teman-teman KPU Kabupaten/Kota sesuai dengan jenjangnya.

Nanti teman-teman KPU kabupaten/kota lah yang akan menindaklanjuti saran perbaikan yang dilakukan oleh teman-teman Bawaslu Kabupaten/Kota.

Uji petik ini dilakukan jenjang waktunya sendiri rutin setiap kapan?

Dia ini kan kalau pemutakhiran data prmilih, dia pakai triwulan. Jadi kalau di Bawaslu Kabupaten/Kota itu, pakai 3 bulan sekali ya. Nah, kalau di provinsi, 6 bulan sekali. Di RI, 1 tahun sekali. Tetap sumber datanya itu apa yang dikerjakan oleh teman-teman di level kabupaten/kota.

Dalam melaksanakan uji petik ini biasanya dokumen apa saja, pak?

Sederhana kalau dalam uji petik ini, kami kan punya data, BNBA namanya, By Name By Address. Itulah yang tadi kami koordinasi dengan teman-teman kepala lingkungan, RT, ngecek nama-nama ini untuk mensinkronkan datanya. Jadi kalau ditanya, orang bertanya, ini kan Pak Bawaslu kan nggak pegang data yang sekarang.

Mereka lupa bahwa sumber data yang di Kemendagri itu adalah data pemilu atau pemilihan terakhir. Kan Bawaslu punya data, kami kan punya. Itulah yang kami turun, ngecek tadi.

Tadi kami temukan, jadi ternyata ada yang sudah meninggal dunia. Itu yang kami minta nama-namanya, agar akan diberikan saran perbaikan kepada KPU untuk dicoret. Nah, ada tadi yang sudah berumur 17 tahun, itu yang kami akan dorong kepada teman-teman, KPU plus di Dukcapil. Agar segera diterbitkan dia punya E-KTP. Karena syarat orang memilih kan ada dua, terdaftar dalam daftar pemilih, atau memiliki kartu panggilan untuk memilih, atau memiliki E-KTP.

Apa saja kerawanan pemilu dan anomali data yang biasa terjadi di NTB?

IMG_20251009_120041.jpg
Komisioner Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Hasan Basri bersama Komisioner Bawaslu Lombok Timur, Jauhari Marjan saat melakukan uji petik pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (dok. Istimewa)

Jadi begini, RI memiliki yang namanya indeks kerawanan pemilu. Ada banyak ini ya, indikatornya. Ada kontestasi, pemenuhan hak, pilih. Kalau kita melihat yang lebih ini kan soal pemenuhan hak pilih ini kan daftar pemilih. Di NTB juga sama. Jadi pemenuhan hak pilih itu dari proses. Proses dulu sampai kepada dia melaksanakan pencoblosan. Nah, titik rawannya yang sering terjadi di NTB ini dari proses maupun pada saat pemilihan. Misalnya di Lombok Timur ini, rawan ini. Karena apa, di Lombok Timur ini banyak pemilih atau penduduknya yang bekerja di luar negeri dia ini, sebagai TKI maupun TKW.

Nah, kalau dia bekerja di luar negeri. Kalau untuk pemilu, maka dia hanya bisa mendapatkan satu surat suara yaitu pilpres ya. Selain dari itu kan tidak boleh. Kalau pilkada sudah otomatis dia nggak boleh. Ini kadang-kadang rawannya itu, rawan pada saat pungut-hitung, pemungutan. Bisa saja kartu panggilan memilihnya itu kan pasti akan muncul ini. Misalnya saya, Hasan, orang sini ya. Kemudian, saya seminggu sebelum pemilihan atau setahun sebelum pemilihan atau enam bulan sebelum pemilihan. Saya ada di luar negeri, Malaysia. Saya akan pulang setelah. Pada H-3 atau H-7 kan dikeluarkan surat pemberitahuan untuk memilih kan. Kan keluar surat pemberitahuan untuk saya. Nah, yang rawannya itu, surat pemberitahuan untuk saya bisa digunakan oleh orang lain.

Nah itu kan ada ancaman pidananya itu. Hasan punya kartu milih, kok Husein yang menggunakan. Nah, itu rawannya di situ. Kalau itu sampai ketahuan, pertama, bisa kita pidana pemilu. Yang kedua, bisa PSU. Ada seseorang yang menggunakan, bukan haknya, kok dia menggunakan hak pilihnya. Berarti dia itu bukan pemilik hak untuk memilih. Jadi itu rawan dari proses sampai rawan saat pencoblosan. Karena di sini banyak pemilih atau penduduk yang bekerja sebagai TKI atau TKW. Jadi rawan untuk, kartu pemilihnya itu rawan untuk digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Maka di bawah situ, selain penekanannya kepada pihak external, kami juga menekankan pada pihak internal. Siapa? Pengawas pemilu kami. Agar serius mengawasi, melakukan pencegahan terhadap proses pungut dan hitung. Terutama pada proses pungut kalau penggunaan hak pilih.

Apa saja kendala yang terjadi saat melakukan pengawasan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan?

Jadi pertama, memang kalau bicara kendala, sekali lagi, idealnya data BNBA yang diturunkan oleh Kemendagri kepada KPU, kami harus pegang. Ideal, itu salah satu kendalanya. Akhirnya kami mengambil ide, mengambil cara adalah mengambil data pemilu atau pilkada terakhir. Bisa saja data yang kami pegang, berbeda dengan data yang dipegang oleh teman-teman KPU. Tapi Bawaslu bukan di situ. Kami punya prinsip adalah, setiap warga negara yang sudah memiliki hak pilih, maka wajib hukumnya dia masuk dalam daftar pemilih. Itu yang kita dorong. Begitupun pemilih atau warga yang tidak memiliki syarat, meninggal dunia, harus dikeluarkan dari daftar. Jadi kendala pertama ada soal data. Tapi kami sebenarnya tidak putus asa jika data itu tidak dikasih. Tapi kalau ditanya kendala, ya itu.

Yang kedua kendalanya adalah kurangnya antusias masyarakat. Karena kerja ini kan di luar tahapan ini. Beda kayak pemilu, pilkada kan semua bergerak ini. Caleg bergerak, partai politik bergerak, tim sukses bergerak. Karena euforianya tinggi. Jadi apa istilahnya, suasana kebatinannya itu dia berbeda. Antara suasana kebatinan ada pesta dengan tidak ada pesta.

Yang ketiga ini soal jumlah pasukan. Kalau ada pemilu dan pilkada, itu jumlah pasukan Bawaslu sampai ke pengawas desa. Panwascam ada. Kan (kalau banyak) nggak perlu seharusnya dari Bawaslu Provinsi, cukup dengan pengawas desa kan. Kalau saat pemilu ada pengawas desanya. Kita mau turun ke dusun itu tinggal cek TPS berapa. Ada pengawas TPS-nya. Jadi, data yang kita kumpulkan itu pasti banyak karena SDMnya infrastrukturnya itu banyak. Kalau sekarang kan hanya levelnya dari kabupaten. Kalau mau kerja di se-Lombok Timur ini, staf Bawaslu kabupaten se-Lombok timur ini tidak sampai 20 orang. Mau disuruh kerja se-Lombok timur ini kan agak sulit, makanya kita pakai sampel. Kalau dulu itu kita lakukan sensus. Karena kita punya pengawas TPS.

Kalau soal anggaran mah semua ya. Tapi saya lebih ke data yang kurang lengkap kita dapat karena tidak diberikan kepada kita. Yang kedua kendalanya itu euforia. Euforia itu artinya semangat ya. Karena dulu kan kepala desa, partai politik, semua ikut terlibat kan. Karena tadi punya kepentingan untuk memilih kan atau untuk dipilih. Nah yang ketiga soal infrastruktur. Teman-teman KPU juga sama. Kalau dulu teman-teman KPU kan dia bayar itu petugas pemutakhiran data pemilih kalau ada pemilu dan pilkada. Kalau sekarang enggak. Hanya pegawai KPU saja. Artinya tidak bisa sempurna atau tidak bisa semua data itu diambil karena keterbatasan sumber daya manusia. Orangnya ya bukan profesionalitas orangnya. Personelnya yang kurang. Nah maka salah satu cara Bawaslu itu selain turun langsung itu dia buka Posko Kawal Hak Pilih, itu juga ada call center. Tapi itu tadi, kalau POSKO Kawal Hak Pilih, call center itu kan Bawaslu menjadi setel-setel pasif. Kan menunggu kita. Nah itu tadi kan agak cuek masyarakat kan. Dia mau laporkan ada kerabatnya meninggal, apa sih yang mereka dapat. Belum mulai ini. Kurang-kurang ini semangat ya karena belum mulai pemilu.

Nah maka langkah yang berikutnya adalah melakukan turun langsung ke lapangan. Kita tidak tahu kalau kita tidak turun. Ternyata ada pemilih ditemukan tadi tiga orang yang sudah meninggal dunia. Kalau kita tidak turun tadi kan orang itu pasti masih ada dalam DPT.

Apakah ada ketidaksesuaian data Bawaslu dengan data-data instasi lain yang ada dari KPU atau ke Mendagri?

Kalau data tadi hasil itu sama. Cuma bedanya itu adalah secara. Yang pertama ya secara de jure dan de facto. Tadi saya contohkan orang ini secara de jure, maksudnya secara hukum dia ber-KTP NTB. Secara de facto dia ada di sini. Tapi di DPT online-nya dia berada di luar. Ini kalau ditanya hanya itu.

Tapi kalau data lain sebagainya, dia sama. Sama antara data yang dimiliki oleh kami. Dengan data yang dimiliki oleh KPU. Hanya bedanya itu tadi. Soal itu soal apa. Dia di DPT ada di luar NTB. Tapi secara de jure de facto orang itu ada di NTB.

Soal pernikahan di bawah umur di NTB itu kan cukup jadi perbincangan hangat, apakah ini berpotensi jadi data anomali?

IMG_20251009_110715.jpg
Komisioner Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Hasan Basri bersama Komisioner Bawaslu Lombok Timur, Jauhari Marjan saat melakukan uji petik pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (dok. Istimewa)

Jadi kalau di NTB. Iya betul (fenomena itu bikin anomali data). Jadi di NTB ini kan ada bukan pernikahan dini, tapi orang yang menikah di bawah umur. Nah kami di Bawaslu itu mendorong agar orang ini masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tetapi lagi-lagi regulasi di teman-teman KPU itu kan, orang bisa memilih itu apabila telah berumur 17 tahun dan memilih KTP. Orang yang menikah di bawah umur ini kan harusnya kan ada (buku menikah). Tapi kan mereka tidak punya buku nikah kan. Mana bisa diterbitkan untuk mereka buku nikah.

Makanya agak susah dia untuk dimasukkan menjadi daftar pemilih tetap. Karena tadi dalam tanda petik orang ini ilegal lah, kira-kira kan. Kan tidak diakui sama negara kan yang menikah di bawah umur ini. Nah maka kita selain mendorong agar jangan melakukan pernikahan di bawah umur. Walaupun di aturan benar. Di aturanan orang masuk sebagai daftar pemilih itu pernah menikah dan atau pernah (menikah).

Cuma kan tidak detail dijelaskan. Pernah menikah bukti secara de jure kan nggak ada. Hanya secara de facto. Kalau ditanya saya misalnya, sebagai Bawaslu. Apa orang ini cocok untuk masuk dalam DPT, seharusnya masuk. Karena kalimatnya pernah menikah. Cuma kan dikaitkan dengan aturan lain. Pernah menikah harus dibuktikan dengan memiliki surat nikah.

Sama kayak yang meninggal. Ini nggak usah yang meninggal dunia. Kadang-kadang teman KPU tidak akan mengeksekusi jika tidak ada surat kematian. Maka kami dorong lah ini. Kepada Capil, 'eh Capil tolong terbitkan surat kematian atas nama ini'.

Nah terhadap nikah itu, kami hanya minta orang ini diisbat nikah. Tapi kalau dipaksa bahwa seluruh Kementerian Agama mengeluarkan buku nikah. Sementara orang ini, kan salah juga. Kira-kira seperti itu.

Jadi kalau ditanya apa itu rawan. Iya rawan. Tapi rawan soal pemenuhan hak pilihnya. Kalau tanya saya secara personal, seharusnya orang ini masuk. Karena secara de facto, orang ini telah menikah kok. Cuma secara de jurenya yang tidak memiliki buku nikah.

Berkaca di 2024 kemarin. Yang kasus menikah di bawah umur ini bagaimana akhirnya tetap bisa memilih?

Tetap tidak bisa milih. Karena KPU tetap. Tegas terhadap administrasinya, de jurenya, bukan de factonya. Dan rata-rata di NTP ini mereka mengerti, tidak perlu ngotot-ngotot mereka harus ikut milih. Mereka sadar juga rupanya ada ketakutan ya. Ada ketakutan melawan aturan pemerintah untuk tidak melakukan nikah di bawah umur. Kan akan ditanya dia, tidak boleh nikah di bawah umur. Kalau negara tahu ini kan bisa kena dia. Dia kan melakukan pernikahan di bawah umur. Apalagi ada yang mau berani menerbitkan. Buku nikah.

Dalam kegiatan pengawasan ini. Apakah Bawaslu menemukan warga yang memenuhi syarat tapi tidak masuk dalam data pemilih?

Tidak ada. Yang kita temukan adalah pemilih yang sudah masuk. Tapi pada sesungguhnya statusnya TMS, meninggal dunia tadi. Jadi dia ada dalam DPT. Tapi fakta di lapangan. Secara de facto orang ini sudah meninggal dunia. Nah ini yang saya tadi gambarkan. Kalau di DPT itu, teman-teman KPU itu dia bicara de jure. Tidak bicara de facto. Misal tadi kita temukan tuh. Itu kan faktanya orang itu meninggal. Tapi kalau belum ada surat keterangan dari desa bahwa orang ini meninggal atau akta kematian. Tidak bisa (yang bersangiutan sebagai pemilih) dicoret oleh teman-teman.

Tapi bagi Bawaslu tidak ada masalah. Nah cara Bawaslu selain bersurat kepada teman-teman KPU, kami dorong. Selain bersurat nanti kepada teman-teman KPU terhadap beberapa orang tadi yang meninggal itu. Bersurat juga kepada pemerintah desa. Bersurat juga kepada Dukcapil. Agar orang ini segera dibuatkan surat keterangan kematian dan atau akta kematian.

AI alias kecerdasan buatan jadi tantangan tersendiri. Bagaimana antisipasi agar AI di Pemilu 2029 tidak disalahgunakan yang berujung hoaks?

IMG_20251009_120028.jpg
Komisioner Bawaslu Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Hasan Basri bersama Komisioner Bawaslu Lombok Timur, Jauhari Marjan saat melakukan uji petik pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (dok. Istimewa)

Jadi yang pertama begini. AI ini kan aplikasi ya. Itu sama kayak di pemilu kemarin ya. Sama kayak Facebook. Pertama yang dilakukan karena ini mereka itu adalah operator, aplikasi, software. Maka yang pertama melakukan MoU oleh Bawaslu RI, dengan Meta dan lain sebagainya ya. Itu biar ada dasar hukumnya.

Yang kedua, penguatan literasi. Orang harus paham, apa sih ini AI? Masyarakat harus mengerti. Fungsinya sih untuk apa? Artinya dia harus paham apa itu AI dulu. Kalau dia sudah paham penggunaan dan lain sebagainya. Baru bicara, muatan isi daripada pemilu atau pilkada. Apa itu hoax, apa itu bahaya politik, apa itu bahaya politisasi SARA. Dan itu harus massif dilakukan.

Dan mohon maaf. Tidak bisa dilakukan hanya pada saat menjelang pemilu. Karena bicara penguatan demokrasi ini kan tidak cukup Hanya dalam waktu 20 bulan. Itu tidak mungkin bisa menyadarkan orang. Nah maka tadi Jauh-jauh hari, contohnya tadi kan, ini di luar tahapan. Tapi tetap melakukan kerjasama.

Menarik dengan AI tadi itu kan di satu sisi kan mempermudah kerja, kerja-kerja pengawasan, kerja-kerja penguatan hubungan. Tapi bahayanya nanti. Kalau literasi Tentang demokrasi, tentang hoaks itu tidak dipahami secara Baik.

Nah maka kalau saya ditanya, apa kira-kira ke depan Agar tidak terjadi hoax itu yang penting kan. Maka kayak di NTB kami ya. Bikin yang namanya Bawaslu On The Move, Bawaslu Mengajar, ke sekolah, ke pondok pesantren. Ke kampus, salah satu itu bicara tentang bahaya hoaks. Penyebaran hoax Kalau mau dilihat Survei di NTB, satu warga NTB, khususnya anak-anak muda itu rata-rata sudah punya HP android. Kalau ditanya yang punya aplikasi, rata-rata semua punya aplikasi, medosos lah, entah Facebook, Twitter.

Inilah yang harus kita perkuat literasinya. Tentang tadi bahaya hoaks dan lain sebagainya. Kalau itu dilakukan maka insyaallah pada saat pemilu itu minimal dia sudah ngerti nih apa itu hoax, apa itu antipolitik uang, apa itu antipolitisasi SARA.

Nah kami lagi rancang di pemilihan kepala desa. Kalau di Kota Mataram, pemilihan kepala lingkungan. Nah itu disampaikan bahaya hoaks, politik uang, politik SARA, sehingga begitu pemilu ataupun pilkada sudah familiar, dia sudah ngerti itu apa itu hoax dan lain sebagainya

Terkait politik uang masuk indeks kerawanan pemilu. Apa penyebab politik uang masih menjamur?

Penyebab politik uang itu ada banyak. Yang pertama soal budaya. Budaya yang pertama budaya dari peserta pemilunya, maupun budaya dari masyarakatnya. Budaya dari peserta pemilu itu siapa ya partai politik, ya siapa partai politik ada calegnya, ada tim sukses dan lain sebagainya. Mereka membudayakan bahwa orang ini kalau tidak dikasih uang tidak akan milih kita, atau tidak akan datang ke TPS. Yang kedua budaya dari pemilih pemilih menganggap bahwa kalau kita nggak dikasih uang, ngapain kita milih. Nanti kalau dia jadi toh juga dia akan pergi, artinya politik uang sudah menjadi habit, sudah menjadi Kebiasaan jadi dianggap sesuatu yang Yang lumrah saja. Ada perilaku tadi perilaku elit atau atau peserta pemilu yang menganggap bahwa kalau kita sudah bayar ya sudah selesai lah, Nanti kita datang lagi 5 tahun. Kita bisa selesain dengan bayar. Begitu pun masyarakat 'ah kita harus terima uang dari dia, toh juga dia jadi dia lupa sama sama kita'.

Itu yang pertama, ini soal yang kedua Soal ini, ini nggak apa-apa kalau bikin kajian menarik ya soal regulasi kalau politik uang itu masuk dalam tindak pidana pemilu. Kalau dia tipilu, itu dibahas di Sentra Gakkumdu, ada polisi, ada jaksa, ada Bawaslu. Tiga unsur Ini harus klop, kalau salah satu unsur menyatakan tidak memenuhi unsur. Maka kasus ini tidak akan naik ke pengadilan. Publik kan tidak tahu bahwa ini Gakkumdu apa, dia tidak tahu, mereka tahunya ini tugas Bawaslu. Jadi begitu ada laporan yang dia laporkan, ada temuan dia ini begitu tidak naik ke pengadilan. Dianggap Bawaslu yang masuk angin. Nah maka regulasinya itu harus diatur ya, harus diatur.

Yang kedua di regulasi diatur kalau dia diundang-undang pemilu itu beda dengan pilkada. Kalau pilkada, pemberi dan penerima itu kena. Kalau pemilu hanya penerima, artinya kan tidak clear ya, tidak imparsial. Kok di pemilu hanya penerima yang kena. Kok pilkada, pemberi dan penerima yang kena. Kalau itu kencang, kalau misalnya mau didorong kepada lembaga peradilan pemilu itu keren. Kalau menurut saya ya. Sehingga tidak ada tumpang tindih, nanti Bawaslu bilang oke, polisi bilang tidak bisa ini. Sudah mentok deh. Tapi publik anggap Bawaslu yang masuk masuk angin.

Yang ketiga masalah di politik uang, saya selalu gambarkan politik uang inilah yang melahirkan pemimpin-pemimpin atau politisi-politisi atau penyelenggara-penyelenggara yang korup. Saya selalu gambarkan orang menjadi DPR misalnya atau provinsi misalnya, harus butuh dana Hampir Rp2 miliar sampai Rp3 miliar. Berapa sih gajinya ya kan, kalau dia minus dari gaji dari pengeluaran, pasti akan berpikir yang macam-macam. Nah salah satunya ada yang mulai nyopet anggaran A, nyopet anggaran B. Yang dikorbankan siapa ya masyarakatnya.

Nah kira-kira itu ya Menurut saya bahaya laten politik uang tapi cara untuk merubah itu tidak gampang, tidak mudah. Maka kami bikin kalau pengalaman saya di Bawaslu Kota dulu itu bikin namanya kampung antipolitik uang, kampung antipolitisasi SARA, di situ ada logo-logo dan lain sebagainya kayak orang kampung piala dunia lah. Yang minimal kalau menghapus tidak mungkin, minimal orang merasa, aduh kalau saya melakukan ini nanti saya dilaporkan, ini kampung saya sudah menjadikan kampung antipolitik uang. Tapi itu by accident, sesaat, tidak sustainable. Kalau mau sustainable, itu ada intervensi dari kekuasaan, misalnya Kalau saat pemilu dan pilkada kan ada uangnya nih. Bisa kita bikin kampung politik uang, pasca pilkada itu atau pemilu seharusnya ada. Misal di kesbangpol, masa di dinas-dinas lain itu ada kader posyandu, itu kan jalan terus diintervensi sama anggaran. Kenapa tidak misalnya dibikin desa antipolitik uang di semua desa ini. Anggarannya, tidak usah Bawaslu yang kelola, tidak usah penyelanggara yang kelola. Pemerintah yang kelola, Bawaslu itu untuk menyampaikan literasinya knowledge-nya, pemahamannya. Sudah Pemerintah sudah yang punya program Bawaslu diundang, apa perspektif Bawaslu, undang-undangnya terhadap bahaya politik Uang. Sudah tidak usah bicara honor, jadi kami ngisi knowledge-nya. Kalau itu dilakukan itu baru bisa menurut saya. Tapi kalau hanya dilakukan saat pemilu saja habis pemilu selesai. Ya begini-begini terus kita, menjadi pekerja-pekerja demokrasi yang sifatnya prosedural, tidak sifatnya substansial.

Di NTB sendiri banyak TKI dan TKW, berkaitan dengan pemilih yang kerja di luar negeri jika nanti jelang pemilu pulang ke Indonesia bagaimana nasibnya?

Boleh dia punya hak pilih. Ya jadi begini, namanya kan begitu ada ya masuk dalam DPT begitu nanti sebelum hari H dia datang, dia punya hak untuk melakukan memilih. Boleh, justru kalau menghalangi-halangi dia untuk tidak memilih, ada pidananya. Karena sekali lagi memilih itu adalah hak, ini harus dipahami dulu, bukan kewajiban. Memilih itu adalah hak. Namanya hak, bisa dia gunakan, bisa dia tidak gunakan. Namanya hak ya, bukan kewajiban, kalau wajib harus dilakukan. Terkait dengan tadi, ada warga NTB Yang melakukan kerja di luar negeri, kemudian nanti dia akan pulang sementara namanya ada dalam DPT wajib hukumnya dia itu dilayani. Jangankan mereka yang sudah ada dalam DPT, ada warga NTB yang tidak masuk dalam DPT, tapi dia punya KTP, apa boleh dia memilih? Boleh jadi aturan yang kemarin itu orang boleh memilih pertama masuk dalam DPT, dia bisa pakai kartu memilihnya. Yang kedua, dia tidak ada dalam DPT, tapi memiliki KTP, namanya daftar pemilih khusus. Di pemilih itu ada DPT atau Daftar pemilih Tetap, ada DPK itu Daftar Pemilih khusus, ada DPTB itu Daftar Pemilih Tambahan. Kalau DPT itu 5 surat suara dia dapat, dari Presiden sampai DPR. Kalau DPTB Tergantung dia, kalau dia lintas, misalnya saya orang Lombok Timur. Saya milihnya, nanti ada DPTB di Mataram, tidak bisa saya milih DPR kabupaten di sini. Saya hanya bisa Presiden RI, DPD RI, DPR RI. DPRD Provinsi saya tidak dapat Karena dapilnya kan beda. Kalau DPK, ini dia semua surat suaranya dia dapat dengan catatan karena dia memilihnya itu satu jam sebelum penutupan. Jadi dia akan Boleh menggunakan hak pilihnya itu sejam sebelum penutupan TPS dengan memperhatikan ketersediaan surat suara. Misalnya saya DPK ini, mau memilih di TPS itu, surat suara sisa tiga, gak bisa ngotot saya karena saya DPK, yang diutamakan itu DPT dan DPTB.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us

Latest in News

See More

Prabowo Belum Umumkan Nama Anggota Komite Reformasi Polri, Ini Alasannya

10 Okt 2025, 20:21 WIBNews