Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

24 Ribu Lebih Anak di Gaza Jadi Yatim Piatu akibat Perang

ilustrasi pengungsi Palestina (pixabay.com/hosnysalah)

Jakarta, IDN Times - Laporan terbaru dari Euro-Mediterania Human Rights Monitor mengungkapkan bahwa lebih dari 24 ribu anak di Gaza telah kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka. Mereka adalah korban sejak Israel melancarkan perang genosida di wilayah tersebut hampir empat bulan lalu.

Seorang bayi perempuan berusia satu bulan, yang kini terbaring di inkubator, bahkan tidak pernah merasakan pelukan orang tuanya. Ia dilahirkan melalui operasi caesar setelah ibunya, Hanna, tewas dalam serangan udara Israel. Hanna tidak berkesempatan memberikan nama bagi putrinya.

“Kami memanggilnya putri Hanna Abu Amsha,” kata Warda al-Awawda, perawat di Rumah Sakit al-Aqsa di Deir al-Balah di Gaza tengah, yang merawat bayi tersebut.

Di tengah kekacauan perang dan seluruh keluarga yang hampir binasa, petugas medis dan penyelamat seringkali kesulitan menemukan kerabat anak-anak tersebut.

“Kami kehilangan kontak dengan keluarganya. Tidak ada satu pun kerabatnya yang muncul dan kami tidak tahu apa yang terjadi pada ayahnya," ujar perawat itu, dikutip BBC. 

1. Lebih dari 11.500 anak terbunuh dalam serangan Israel di Gaza

Perang di Gaza telah memporak-porandakan kehidupan anak-anak, yang merupakan hampir setengah dari 2,3 juta penduduk di wilayah tersebut. Meskipun Israel mengatakan pihaknya berupaya menghindari jatuhnya korban sipil, namun pejabat kesehatan Palestina melaporkan bahwa lebih dari 11.500 anak di bawah 18 tahun telah terbunuh sejak dimulainya perang pada 7 Oktober. Bahkan, lebih banyak lagi yang mengalami cedera.

Ibrahim Abu Mouss, yang baru berusia 10 tahun, menderita luka parah di kaki dan perut ketika sebuah rudal menghantam rumahnya. Ibu, kakek, dan saudara perempuannya tewas dalam serangan itu.

“Mereka terus mengatakan kepada saya bahwa mereka dirawat di lantai atas di rumah sakit,” kata Ibrahim.

"Tetapi saya mengetahui kebenarannya ketika saya melihat foto di ponsel ayah. Saya menangis begitu keras hingga seluruh tubuh saya sakit."

Serangan rudal juga membunuh ayah Kinza Hussein ketika ia pergi untuk mengambil tepung. Kondisi jenazah ayahnya, saat dibawa pulang untuk dimakamkan, terus menghantui benak anak perempuan itu.

“Matanya hilang, dan lidahnya terpotong,” kenang Kinza. “Yang kami inginkan hanyalah perang berakhir. Semuanya menyedihkan."

2. Anak-anak di Gaza alami trauma mendalam

Sepupu-sepupu dari keluarga Hussein dulunya sering bermain bersama. Namun kini, mereka duduk dengan tenang di dekat kuburan berpasir, tempat beberapa kerabat mereka dimakamkan di sebuah sekolah yang kini menjadi tempat penampungan di Gaza tengah. Masing-masing dari mereka telah kehilangan salah satu atau kedua orang tua.

“Rudal itu jatuh ke pangkuan ibu saya dan tubuhnya hancur. Selama berhari-hari kami mengambil bagian tubuhnya dari reruntuhan rumah,” kata Abed Hussein, yang tinggal di kamp pengungsi al-Bureij.

“Ketika mereka mengatakan bahwa saudara laki-laki saya, paman saya dan seluruh keluarga saya terbunuh, saya merasa jantung saya berdarah karena api.”

Ketakutan akan suara tembakan Israel dan perasaan sendirian membuatnya tetap terjaga di malam hari. Kantung hitam terlihat di sekitar matanya.

“Saat ibu dan ayah saya masih hidup, saya biasa tidur, tapi setelah mereka dibunuh, saya tidak bisa tidur lagi. Saya biasa tidur di samping ayah saya,” jelasnya.

Abed dan dua saudaranya yang masih hidup kini diasuh oleh neneknya, namun kehidupan sehari-hari mereka sangat sulit.

“Tidak ada makanan atau air. Saya sakit perut karena minum air laut.”

3. UNICEF bantu berikan dukungan psikologis kepada anak-anak

Dana Anak-anak PBB (UNICEF) juga menyoroti penderitaan sekitar 19 ribu anak yang kini menjadi yatim piatu atau sendirian.

"Banyak dari anak-anak ini ditemukan di bawah reruntuhan atau kehilangan orang tua mereka akibat pemboman di rumah mereka," kata Jonathan Crickx, kepala komunikasi UNICEF Palestina. Lainnya ditemukan di pos pemeriksaan Israel, rumah sakit, dan di jalanan.

“Anak-anak yang paling muda seringkali tidak dapat menyebutkan nama mereka dan bahkan anak-anak yang lebih tua pun biasanya shock sehingga sangat sulit untuk mengidentifikasi mereka dan menyatukan kembali mereka dengan keluarga besarnya."

Sekalipun sanak saudara mereka ditemukan, kondisi orang-orang tersebut juga tidak cukup mendukung untuk merawat anak-anak malang itu.

“Mereka juga berada dalam situasi yang sangat mengerikan. Mereka mungkin mempunyai anak sendiri yang harus diasuh dan akan sulit, bahkan tidak mungkin, bagi mereka untuk merawat anak-anak yang tidak didampingi dan dipisahkan," ujar Crickx.

Sebuah organisasi nirlaba, SOS Children's Villages, yang bekerja sama dengan UNICEF, mengatakan bahwa mereka telah berupaya merawat 55 anak-anak, semuanya berusia di bawah 10 tahun, dengan memberikan mereka dukungan psikologis. 

UNICEF memperkirakan hampir semua anak di Gaza memerlukan dukungan kesehatan mental.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us