Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Fakta Genosida Jerman di Namibia, Pertama di Abad 20!

ilustrasi peta benua Afrika (Unsplash.com/James Wiseman)

Jakarta, IDN Times - Kekaisaran Jerman pada era kolonialisme pernah melakukan penjajahan di Afrika, tepatnya di Namibia saat ini. Di wilayah tersebut, Jerman melakukan pembantaian sekitar 100 ribu penduduk dari tahun 1904 hingga 1908.

Peristiwa itu disebut oleh para sejarawan sebagai genosida pertama di abad ke-20. PBB mendefinisikan genosida sebagai sejumlah tindakan, termasuk pembunuhan, yang dilakukan dengan tujuan menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, ras atau agama.

Jerman modern mengakui bahwa pendahulunya melakukan hal tersebut. Namun upaya reparasi para korban sampai saat ini belum tuntas.

Berikut ini adalah lima fakta genosida pertama di abad ke-20 tersebut.

1. Pemberontakan penduduk Herero

Suku Herero dan Nama ketika ditangkap kolonial Jerman (youtube.com/Disturban History)

Jerman mulai menjajah Afrika pada 1884 di bawah pemerintahan Otto von Bismarck. Wilayah itu kemudian disebut sebagai German South West Africa (GSWA). Jerman mengeruk sumber daya tembaga, berlian, pertanian, hingga peternakan.

Para penduduk asli adalah suku Herero, Nama, Damara, San dan Ovambo. Sebelum dijajah, mereka hidup secara bebas. Tapi ketika Jerman menguasai, hewan ternak dan tanah mereka dirampas serta para penduduk asli diperlakukan seperti budak.

Dilansir The Holocaust Explained, pada Januari 1904, suku Herero yang dipimpin Samuel Maharero melakukan pemberontakan. Jerman yang tidak siap mengalami kewalahan. Sekitar 123 pemukim Jerman dibunuh.

Perang pun terjadi dan Jerman melakukan serangan balik di bawah pimpinan Mayor Theodor Leutwin. Secara pelan tapi pasti, kolonial Jerman dengan senjata modern dan lengkap berhasil memukul mundur pasukan Herero dan memaksa mereka untuk menyerah.

2. Serangan balik Jerman memukul pasukan pribumi

Berlin frustrasi karena Leutwin dianggap lamban memenangkan pertempuran. Letnan Jenderal Lothar von Trotha kemudian ditunjuk dan dikirim sebagai Panglima Tertinggi GSWA. Dia tiba pada 11 Juni 1904 dengan 14 ribu tentara bantuan.

Herero yang tadinya siap berunding dan melakukan negosiasi dibatalkan oleh von Trotha.

Menurut Atrocities Watch, gagasan negosiasi dan berunding dianggap von Trotha bertentangan dengan kehormatan dan tradisi Jerman-Prusia.

Dia kemudian menghancurkan pemberontakan tersebut, membantai semua yang selamat dan memerintahkan pemusnahan terhadap semua orang dari suku Herero, baik itu bersenjata atau tidak, perempuan atau anak-anak.

Mereka yang melarikan diri ada yang dibawa dan disiksa di gurun Kalahari untuk dibiarkan kelaparan serta kehausan. Pagar sepanjang lebih dari 300 kilometer dibuat untuk menutup gurun tersebut.

Pada Oktober, suku Nama yang dipimpin oleh Hendrik Witbooi menyatakan perang melawan Jerman. Mereka menghancurkan gereja yang digunakan sebagai benteng pertahanan. Ini dilihat sebagai deklarasi resmi perang Nama melawan kolonial Jerman.

3. Perintah terkenal Lothar von Trotha

Pejuang Herero dan Nama yang ditangkap kolonial Jerman (Twitter.com/BlackHistoryStudies)

Perang Jerman menghancurkan pribumi berlangsung hingga 1908. Herero dan Nama melakukan perlawanan, tapi perjuangan mereka berujung pada derita yang mengerikan.

Von Trotha memberi perintah yang ditafsirkan sebagai pemusnahan.

"Orang Herero bukan lagi warga negara Jerman. Di dalam perbatasan Jerman, setiap Herero, dengan atau tanpa senjata, dengan atau tanpa ternak, akan ditembak. Saya tidak akan lagi menerima wanita atau anak-anak," kata von Trotha dikutip dari Stop Genocide Now.

Kolonial Jerman kemudian mendirikan kamp konsentrasi pada Februari 1905, sebab parlemen membatalkan perintah pemusnahan von Trotha tersebut. Kamp dibangun di Swakopmund, Karibib, Windhoek, Okahandja, Luderitz dan Pulau Hiu. Mereka yang selamat dari peperangan akan ditangkap dan digiring ke kamp tersebut.

Sepertiga orang tewas dalam perjalanan menuju kamp. Mereka yang selamat dan sampai di kamp kosentrasi kemudian menderita dan tewas. Penguasa kolonial menerapkan metode penyiksaan, menggantung, membiarkan kelaparan, dehidrasi, melakukan pemerkosaan, dan kerja paksa.

Bahkan, tengkorak para tahanan yang mati dikirim ke laboratorium Jerman untuk eksperimen. Hal itu untuk membuktikan ideologi rasis guna justifikasi inferioritas Afrika.

4. Pemimpin kolonial berganti, nasib pribumi tetap mengenaskan

Pada Oktober 1905, Witbooi ditembak di kaki dan tewas karena kehabisan darah. Suku Nama akhirnya menyerah sepeninggal pemimpinnya dengan membuat perjanjian keringanan hukuman.

Peristiwa ini terjadi ketika kolonial Jerman dipimpin oleh gubernur baru, Friederich von Lindequist, yang diperintah untuk menggantikan von Trotha.

Menurut South Africa History, von Lindequist mulai menangkapi suku Nama dan membatalkan semua perjanjian sebelumnya yang dibuat ketika suku tersebut mau menyerah.

Pulau Hiu adalah pulau terkenal yang digunakan untuk memenjarakan suku Nama. Lebih dari 2 ribu orang dipenjarakan dan rata-rata delapan orang tewas setiap hari di pulau tersebut.

Dalam enam bulan sejak kamp konsentrasi Pulau Hiu dibuat, sekitar 1.500 suku Nama tewas. Pulau itu dijuluki sebagai Pulau Kematian.

Pada Maret 1907, parlemen Jerman menyatakan perang melawan Herero dan Nama berakhir. Meski begitu, permusuhan dan pertempuran kecil masih berlanjut di bawah pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh Nama.

5. Pengakuan genosida oleh Jerman

Kota Swakopmund di Namibia modern (Unsplash.com/Grant Durr)

Perlawanan zama belum berakhir meski hanya memiliki sedikit pejuang. Jakob Morenga yang memimpin faksi Nama terakhir gugur pada September 1907. Ini mengakhiri perjuangan Nama melawan kolonial.

Pada April 1908, setahun sejak secara resmi perang diumumkan berakhir oleh Jerman, status tawanan perang Herero dan Nama dicabut. Kamp konsentrasi ditutup. Perang selesai dan pemberontakan padam.

Sekitar 80-100 ribu orang Herero tewas, yang diperkirakan 80 persen dari total populasi suku tersebut. Di pihak Nama, sekitar 10 ribu orang tewas, yang diperkirakan 50 persen dari total populasi.

Ketika Namibia telah berdiri sebagai negara merdeka, sejak 2015 Jerman berupaya bernegosiasi terkait penyembuhan luka dan kekerasan sejarah. Pada 2021, menurut Deutsche Welle, Jerman secara resmi meminta maaf dan mengakui pembantaian itu serta menyebutnya sebagai genosida.

Jerman juga menjanjikan bantuan keuangan sebesar 1,1 miliar euro atau Rp18,6 triliun selama periode 30 tahun. Dana itu untuk membiayai proyek infrastruktur, layanan kesehatan dan pelatihan.

Meski pengakuan itu penting, Dewan Ketua dari persatuan Herero dan Nama menolaknya. Mereka mengatakan jumlah dana itu penghinaan dan menyebutnya tidak dapat diterima. Kelompok tersebut mendesak pemerintah Namibia untuk membuat perundingan kembali.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Vanny El Rahman
EditorVanny El Rahman
Follow Us