Miris! 9 dari 10 Keluarga di Gaza Tidak Makan Apapun dalam Sehari

Jakarta, IDN Times - Wakil Direktur Program Pangan Dunia (WFP), Carl Skau, memperingatkan setengah dari penduduk Gaza kini mengalami kelaparan akibat pertempuran yang terus berlanjut.
Skau mengungkapkan, 9 dari 10 keluarga di beberapa daerah bahkan tidak makan sama sekali selama sehari penuh. Kondisi ini terjadi karena hanya sebagian kecil dari bantuan pokok yang bisa masuk ke Jalur Gaza
"Kami menyaksikan kebingungan di gudang, titik distribusi dengan ribuan orang yang kelaparan, supermarket dengan rak-rak yang kosong, dan tempat penampungan yang penuh sesak dengan kamar mandi yang pecah,” katanya, ketika menceritakan perjalanannya dan tim WFP ke Gaza pekan ini.
Tekanan internasional dan gencatan senjata sementara selama tujuh hari pada bulan lalu telah memungkinkan sejumlah bantuan untuk masuk ke Jalur Gaza. Namun, WFP menegaskan perlunya penyeberangan perbatasan kedua, selain Rafah yang berbatasan dengan Mesir, untuk memenuhi kebutuhan mendesak.
1. Makanan yang ada tidak cukup
Sejak beberapa hari terakhir, Khan Younis telah menjadi target serangan udara besar-besaran setelah pasukan Israel memperluas invasinya ke wilayah selatan Gaza. Israel mengklaim para pemimpin Hamas bersembunyi di Khan Younis, sehingga mereka melakukan pertempuran di setiap sudut kota demi menghancurkan kemampuan militer kelompok tersebut.
Ahmed Moghrabi, kepala unit bedah plastik dan luka bakar di satu-satunya fasilitas kesehatan yang tersisa di kota itu, rumah sakit Nasser, menahan air mata ketika berbicara tentang kekurangan makanan.
“Saya mempunyai anak perempuan, berumur 3 tahun, dia selalu minta permen, apel, buah-buahan. Saya tidak bisa menyediakannya. Saya merasa tidak berdaya,” katanya kepada BBC.
“Makanannya tidak cukup, makanannya tidak cukup, hanya nasi, hanya nasi, percayakah Anda? Kami makan sekali, hanya sehari sekali," tambahnya.
Sementara itu, Ibrahim Fayyad terpaksa mendirikan tenda kecil di luar pusat bantuan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) di sebelah barat Khan Younis, karena tidak dapat menemukan tempat penampungan pengungsi. Ia dan keluarganya telah beberapa kali pindah selama 50 hari terakhir.
Pria 52 tahun itu sempat berharap bahwa lokasi mereka, yang berdekatan dengan tempat penampungan utama UNRWA, setidaknya dapat memberikan kebutuhan dasar bagi mereka. Namun, hal itu tidak terjadi.
“Kami tidak mempunyai roti dan tidak dapat memperoleh tepung. Kami hidup dari kurma dan makanan kaleng,” kata Fayyad, menambahkan bahwa mendapatkan air minum saja hampir mustahil.
2. Kelaparan dikhawatirkan akan membuat pengungsi anarkis
Dilansir The National, situasi bagi mereka yang mengungsi di pinggiran Gaza jauh lebih buruk, karena mereka berada di luar jangkauan bantuan atau layanan medis.
Mahmoud Al Astal, yang mengungsi bersama keluarga besarnya di lahan pertanian Al Mawasi seminggu yang lalu, terpaksa mendorong kelima anaknya untuk makan sayur mentah dari ladang. Ia mengatakan bahwa roti yang terbatas hanya dapat mengisi setengah perut mereka.
“Kami mempunyai sedikit tepung dan kami membaginya sehingga kami masing-masing mendapat sepotong roti sehari. Kami memanggangnya menggunakan kayu bakar, seperti tidak hidup di zaman sekarang,” ujarnya.
Ia berharap lembaga-lembaga bantuan internasional dan lokal akan melakukan sesuatu untuk mengatasi situasi ini. Jika tidak, ia khawatir banyak pengungsi akan mengambil makanan dan kebutuhan pokok lainnya secara paksa dari truk dan gudang bantuan.
“Ada pepatah Arab yang mengatakan ‘kelaparan adalah orang kafir’, yang memaksa orang untuk bertindak di luar sifat dan moral mereka. Kami sedang mengalaminya sekarang," tambahnya.
3. Mahmoud Abbas sebut Washington terlibat dalam kejahatan perang
Juru bicara Pasukan Pertahanan Israel, Richard Hecht, mengakui kematian dan penderitaan yang dialami warga sipil di Gaza adalah hal yang menyakitkan. Namun, dia mengatakan bahwa mereka tidak punya alternatif lain.
“Kami melakukan segala yang kami bisa untuk mendapatkan sebanyak mungkin wilayah di Jalur Gaza,” katanya, pada Sabtu (9/12/2023).
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) telah menggunakan undang-undang darurat untuk melewati Kongres, dan mengizinkan penjualan sekitar 14 ribu butir amunisi tank senilai lebih dari 106 juta dolar AS (sekitar 1,6 triliun) ke Israel.
Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, menuduh Washington terlibat dalam kejahatan perang, usai negara tersebut memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza.
Dari 15 negara anggota Dewan Keamanan, 13 negara mendukung resolusi yang menyerukan gencatan senjata. Inggris abstain dalam pemungutan suara tersebut dan AS adalah satu-satunya negara yang memberikan suara menentang resolusi.
Duta Besar AS untuk PBB, Robert Wood, membela veto tersebut dengan mengatakan bahwa gencatan senjata hanya akan membuat Hamas mengulangi serangan 7 Oktober. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengatakan bahwa dia menghargai sikap yang diambil AS di Dewan Keamanan.