Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Aktivis Salahkan Pemerintah Argentina Atas Serangan ke Pasangan LGBT

ilustrasi bendera Argentina. (unsplash.com/Gustavo Sánchez)

Jakarta, IDN Times - Para demonstran turun ke jalan di Buenos Aires, Argentina untuk menuntut keadilan atas serangan pembakaran terhadap dua pasangan LGBTQ baru-baru ini. Serangan ini menewaskan tiga orang dan meninggalkan satu korban terluka parah.

Dilansir The Guardian pada Kamis (16/5/2024), insiden mengerikan ini terjadi ketika seorang pria melemparkan bom molotov ke kamar yang ditempati dua pasangan tersebut. Insiden terjadi di sebuah rumah kos di Buenos Aires pada 6 Mei 2024 lalu.

1. Tuntutan terhadap pemerintah

Para demonstran  menyalahkan pemerintah Argentina karena dianggap memupuk wacana yang diskriminatif terhadap kelompok LGBTQ+. Mereka menuntut keadilan atas serangan ini.

"Sejak pemerintahan baru menjabat, yang kami dengar hanyalah pesan-pesan kebencian terhadap komunitas LGBTQ+," ujar Valeria Bettini, salah seorang demonstran, dikutip dari Buenos Aires Times

Juru bicara kepresidenan, Manuel Adorni juga menuai kritik setelah mengatakan tidak ingin mengkategorikan serangan ini sebagai serangan terhadap kelompok tertentu.

"Saya tidak suka mendefinisikannya sebagai serangan terhadap kelompok atau kolektif tertentu, itu salah dan mengerikan, siapapun korbannya," ucap Adorni.

Federasi LGBT+ Argentina menyatakan ruang aman bagi korban serangan homofobia telah ditutup atau dihilangkan oleh pemerintahan saat ini. Amnesty International bahkan menuntut investigasi penuh dengan perspektif gender. Mereka menuntut pemerintah mempertimbangkan identitas para korban dan motivasi di balik serangan ini.

2. Kronologi serangan dan kondisi korban

Serangan mengerikan ini terjadi pada Senin (6/5/2024) malam di sebuah rumah kos di Barracas, Buenos Aires. Tersangka pelaku, Justo Fernando Barrientos diduga melemparkan bom molotov ke kamar yang ditempati oleh dua pasangan LGBTQ tersebut.

Saksi mata mengatakan Barrientos sempat berkelahi dengan para korban dan berusaha mencegah mereka melarikan diri saat kebakaran terjadi. Ia diketahui secara terbuka bersikap homofobia dan sebelumnya sering menghina serta mengancam para korban.

Pamela Cobas dan pasangannya, Roxana Figueroa, akhirnya meninggal dunia pada Selasa dan Rabu akibat komplikasi dari luka bakar parah yang mereka derita. Korban lain, Andrea Amarante yang dirawat dengan 75 persen luka bakar, akhirnya meninggal dunia pada Minggu malam setelah sempat kritis. Ia diketahui merupakan mantan penyintas kebakaran maut di klub malam República Cromañón pada 2004 silam.

Sementara itu, Sofia Castro Riglos yang menderita luka lebih ringan, masih dirawat di rumah sakit namun kondisinya berangsur membaik. Sebanyak 30 orang terpaksa dievakuasi dari rumah kos tersebut. Tujuh orang di antaranya dirawat di rumah sakit karena menderita luka bakar.

3. Sayap kanan Argentina dinilai homofobia

Presiden Argentina, Javier Milei dan CEO Tesla, Elon Musk. (twitter.com/Javier Milei)

Para aktivis menuding pemerintahan sayap kanan Argentina pimpinan Presiden Javier Milei telah memicu homofobia dan menciptakan iklim intoleransi di negara tersebut.

Sejak menjabat, pemerintahan Milei telah menutup lembaga anti-diskriminasi dan melarang penggunaan bahasa inklusif gender dalam militer. Organisasi-organisasi hak asasi manusia pun menuduh sejumlah politisi terkemuka berkontribusi pada tingginya angka kekerasan terhadap komunitas LGBTQ+ di Argentina.

Menteri Luar Negeri Diana Mondino bahkan pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial tentang pernikahan sesama jenis. Dalam sebuah wawancara televisi, ia menyamakan ide tersebut dengan memiliki kutu rambut di kepala.

Dalam pidatonya di Forum Ekonomi Dunia pada Januari, Presiden Milei juga mengkritik tajam feminisme radikal.  Menurutnya feminisme hanyalah pertarungan konyol  antara pria dan wanita hanya untuk memberi pekerjaan kepada para birokrat.

"Para pemimpin pemerintah harus berhenti dan mengecam pernyataan-pernyataan yang mendiskriminasi komunitas LGBTQ+. Pernyataan seperti itu dapat menciptakan suasana di mana orang mewajarkan tindak kekerasan terhadap kelompok tersebut," tegas Erin Kilbride, peneliti di Human Rights Watch.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us