AS Deportasi Sekitar 50 Warga Haiti karena Tidak Punya Izin Tinggal

Jakarta, IDN Times - Amerika Serikat (AS) telah mengirimkan sekitar 50 warga Haiti kembali ke negara mereka dengan penerbangan deportasi, meskipun kekerasan geng masih melanda negara Karibia itu.
"Kebijakan AS adalah memulangkan warga negara yang bukan warga yang tidak memiliki dasar hukum untuk tetap tinggal di AS," kata Departemen Keamanan Dalam Negeri dalam sebuah pernyataan, dikutip Associated Press.
Pihak berwenang tidak memberikan rincian mengenai penerbangan tersebut. Namun, Thomas Cartwright dari Witness at the Border, sebuah kelompok advokasi yang melacak data penerbangan, mengatakan bahwa sebuah pesawat meninggalkan Alexandria di Louisiana, yang merupakan pusat operasi deportasi, dan tiba di Cap-Haitien, Haiti, setelah singgah di Miami.
1. Ditinggalkan tunangan kembali ke Haiti
Warga negara AS bernama Marjorie Dorsaninvil mengatakan bahwa tunangannya yang berasal dari Haiti, Gerson Joseph, meneleponnya dari bandara Miami pada Kamis (18/4/2024) pagi. Pria itu mengatakan bahwa dia dideportasi dalam penerbangan ke Cap-Haitien bersama warga Haiti dan beberapa orang dari negara lainnya, termasuk Bahama.
Joseph telah menetap di AS selama lebih dari 20 tahun dan memiliki seorang putri warga negara AS berusia 7 tahun dari perempuan lainnya. Dia telah mendapatkan perintah deportasi sejak 2005 usai permohonan suakanya ditolak. Meskipun Joseph belum pernah dideportasi sebelumnya, namun pengacaranya, Philip Issa, berupaya agar perintah tersebut dibatalkan.
Isaa mengatakan bahwa Joseph dihukum karena pencurian dan perampokan, serta diperintahkan untuk membayar ganti rugi sebesar 270 dolar AS (sekitar Rp4 juta). Dia telah ditahan sejak tahun lalu.
Dorsaninvil menambahkan bahwa tunangannya itu tidak punya siapa-siapa di Haiti.
“Ini sangat menyedihkan bagi saya. Kami sedang merencanakan pernikahan dan sekarang dia sudah tiada,” ujarnya.
2. Pembela HAM kecam tindakan tersebut mengingat situasi berbahaya di Haiti
Kabar deportasi itu pun segera menuai kecaman. Para pembela hak asasi manusia (HAM) menuduh pemerintahan Presiden Joe Biden mengirim warga Haiti ke dalam situasi berbahaya dan berpotensi mematikan di negara asal mereka.
“Tidak masuk akal bagi pemerintahan (Biden) untuk terus mendeportasi orang-orang mengingat situasi hak asasi manusia dan kemanusiaan di Haiti yang sangat buruk,” tulis Nathalye Cotrino, peneliti di Human Rights Watch, di media sosial.
Haiti telah mengalami kekerasan geng dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah pembunuhan Presiden Jovenel Moise pada Juli 2021. Namun, situasi semakin memburuk pada akhir Februari, ketika kelompok bersenjata menyerang penjara, kantor polisi, dan lembaga negara lainnya di ibu kota Haiti, Port-au-Prince.
Kerusuhan tersebut memaksa Perdana Menteri Haiti yang tidak terpilih, Ariel Henry, mengumumkan rencana untuk mundur dan memicu transisi politik yang goyah. Ratusan ribu warga Haiti telah mengungsi, dan para aktivis HAM telah memperingatkan bahwa krisis kemanusiaan akan semakin parah.
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) baru-baru ini, sekitar 13 ribu migran telah dikirim kembali ke Haiti dari negara-negara tetangga pada Maret. Penjaga Pantai AS juga memulangkan 65 migran Haiti pada 12 Maret setelah kapal mereka dicegat di dekat Bahama.
3. Pemerintah diminta hentikan deportasi
Dilansir Al Jazeera, para aktivis dan anggota parlemen AS telah mendesak pemerintahan Biden untuk menghentikan deportasi ke Haiti di tengah krisis yang terjadi.
“Haiti sedang menghadapi salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia saat ini,” kata anggota Kongres AS, Cori Bush, pekan lalu.
“Pemerintah Amerika Serikat memiliki tanggung jawab moral untuk menerapkan pendekatan yang manusiawi dalam membantu imigran Haiti yang melarikan diri dari kondisi yang mengerikan ini.”
Para pembela HAM dan kelompok masyarakat sipil juga telah meminta pemerintah AS untuk memperluas dan merancang ulang program yang disebut Status Perlindungan Sementara (TPS) untuk Haiti.
Pemerintah AS memberikan TPS kepada warga asing yang menghadapi situasi berbahaya di negara asal mereka, termasuk yang diakibatkan oleh konflik bersenjata atau bencana alam. Penerima TPS dapat tetap berada di AS tanpa takut dideportasi dan bekerja di negara tersebut. Penunjukan TPS Haiti akan berakhir pada awal Agustus.
“Meningkatnya kekerasan yang sudah ekstrem di Haiti telah membuat masyarakat terguncang,” tulis kelompok hak asasi migran yang berbasis di AS, Al Otro Lado, di X pada Kamis.
“Geng-geng menguasai pelabuhan-pelabuhan utama, bandara terbesar + sebagian besar ibu kota Port-au-Prince. Masyarakat berada di ambang kelaparan. Mengirim (orang-oranga) kembali (ke Haiti) bisa menjadi hukuman mati.”