AS: Rusia Lakukan Kejahatan Perang di Ukraina, Targetkan Warga Sipil

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Amerika Serikat (AS), melalui Kementerian Luar Negeri, pada Rabu (23/3/2022) menyebut tentara Rusia telah melakukan kejahatan perang di Ukraina. Pernyataan itu disampaikan pada Rabu (23/3/2022) melalui unggahan
Rusia dituduh telah melakukan serangan membabi buta dan serangan yang menargetkan warga sipil. Pihak Rusia sendiri membantah dan berulang kali mengatakan tidak menargetkan warga sipil.
Pekan lalu, Presiden AS Joe Biden menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin sebagai 'penjahat perang.' Komentar itu ditanggapi dengan keras oleh Kremlin yang menyebut retorika Biden tidak dapat diterima.
1. Tentara Rusia dituduh Blinken lakukan kejahatan perang

Satu bulan sejak Rusia menyerang Ukraina, perang masih terus berkecamuk. Putin menyebut aksi militernya sebagai operasi militer khusus dengan tujuan demiliterisasi dan denazifikasi.
Selama perang berlangsung, beberapa media melaporkan bahwa tentara Rusia telah menyerang fasilitas publik seperti pemukiman penduduk, rumah sakit atau tempat berlindung warga sipil. Sudah ada ribuan warga sipil tewas, khususnya di kota Mariupol jumlahnya lebih dari 2.000 orang yang meninggal.
Pada Rabu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyebut tentara Rusia telah melakukan pelanggaran perang di Ukraina.
Dilansir dari laman resmi kementerian, Blinken mengatakan, "setiap hari pasukan Rusia melanjutkan serangan brutal mereka, jumlah warga sipil tak berdosa yang terbunuh dan terluka, termasuk perempuan dan anak-anak, meningkat."
Perang Rusia di Ukraina telah membuat sekitar 3,5 juta orang melarikan diri untuk mengungsi. Pengepungan kota Mariupol membuat warga sipil tidak memiliki akses ke kebutuhan dasar seperti bahan makanan, air dan obat-obatan.
"Saya dapat mengumumkan berdasarkan informasi yang tersedia saat ini, pemerintah AS menilai bahwa anggota pasukan Rusia telah melakukan kejahatan perang di Ukraina," kata Blinken.
2. ICC mulai lakukan penyelidikan kejahatan perang di Ukraina
Korban sipil di Ukraina akan terus bertambah jika serangan Rusia terus berlanjut. Tapi, Rusia telah menampik tuduhan bahwa tentaranya menargetkan warga sipil.
Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) telah memulai penyelidikan terkait dugaan pelanggaran perang di Ukraina awal bulan ini, demikian laporan Reuters.
Washington mendukung dan menyambut baik hal tersebut, meski AS tidak memiliki kewajiban untuk bekerja sama karena bukan anggota ICC.
Beth Van Schaack, Duta Besar untuk Global Criminal Justice di Departemen Luar Negeri AS, mengatakan bahwa Washington sedang melihat berbagai aksi tentara Rusia di Ukraina. Pekan lalu, ketika Rusia menyerang sebuah teater di Mariupol, Van Schaack menyebutnya sebagai serangan yang langsung menargetkan warga sipil.
Teater dijadikan sebagai tempat berlindung warga sipil termasuk anak-anak itu. Padahal, teater tersebut telah ditandai dengan tulisan 'anak-anak'. Namun bom telah dijatuhkan ke teater dan membuat banyak orang terjebak di reruntuhan. Rusia membantah melakukan serangan itu.
3. Pengungsi dan video bisa dijadikan bahan penyelidikan kejahatan perang Rusia di Ukraina
Serangan Rusia di Ukraina sejak 24 Februari telah menggempur bagian selatan, timur dan utara Ukraina. Ibu kota Kiev telah menjadi benteng pertahanan untuk melawan tentara Rusia yang berusaha merebutnya. Sejauh ini belum ada kota besar Ukraina yang jatuh ke tangan tentara Rusia.
Beberapa pengamat menilai tentara Rusia sulit membuat kemajuan karena perlawanan sengit tentara Ukraina. Tapi, Rusia bisa frustrasi dan menggunakan cara lain seperti senjata tak terarah dan membombardir kota yang berbahaya bagi warga sipil.
Dilansir The Guardian, jaksa penuntut ICC, Karim Khan mengatakan telah ada sejumlah inisiatif yang bertujuan mengumpulkan bukti dengan mewawancarai pengungsi setelah mereka melintasi perbatasan, dan melalui pemeriksaan forensik dari volume yang sangat besar dari video yang diunggah di media sosial.
Pemerintah Ukraina dan tokoh masyarakat internasional telah menyerukan pembentukan pengadilan khusus di Ukraina untuk mengadili kepemimpinan Kremlin dalam melancarkan agresi.
Van Schaack mengaku sedang mempertimbangkan berbagai opsi untuk menyeret pemimpin Rusia ke pengadilan pidana internasional.
"Ada doktrin di bawah hukum internasional dan hukum domestik yang mampu menjangkau sampai ke rantai komando (termasuk Putin)," kata Van Schaack.