Eks PM Israel Sesalkan Tewasnya Anak Pemimpin Hamas di Doha

- Israel dianggap enggan mencapai kesepakatan apa pun dengan Hamas
- Serangan Israel di Doha terjadi di tengah upaya perundingan gencatan senjata dan pembebasan sandera
- Eks PM Israel kritik sejumlah aksi Israel di Gaza
Jakarta, IDN Times - Mantan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, mengungkapkan penyesalan mendalam atas tewasnya putra pemimpin Hamas dalam serangan Tel Aviv di Doha. Tindakan tersebut dinilai menyebabkan kerusakan politik dan moral yang signifikan.
Putra pemimpin Hamas Khalil al-Hayya, Hamam, termasuk di antara enam orang yang tewas dalam serangan Israel di ibu kota Qatar pada 9 September. Namun, kelompok Palestina itu mengklaim bahwa para pemimpin seniornya berhasil selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Serangan itu menuai kecaman internasional, dengan para pemimpin dunia mengutuk tindakan Israel serta menyatakan solidaritas dan dukungan bagi Qatar.
“Seorang anak seharusnya tidak menjadi korban, dan istrinya juga terluka. Kita sedang memerangi teror, dan mereka akan dihukum pada waktunya, tetapi keluarga adalah hal yang berbeda," kata Olmert, dikutip dari The New Arab.
1. Israel dianggap enggan mencapai kesepakatan apa pun dengan Hamas
Serangan Israel di Doha terjadi di tengah berlangsungnya upaya perundingan gencatan senjata dan pembebasan sandera. Olmert mengatakan bahwa menargetkan anggota tim perunding Hamas menunjukkan keengganan Israel untuk mencapai kesepakatan apa pun.
"Membunuh tim perunding berarti Anda tidak menginginkan negosiasi dan Anda tidak ingin pembebasan sandera. Semua anggota Hamas harus dihukum, tapi serangan di Doha tidak dilakukan di tempat dan waktu yang tepat," ujarnya.
Olmert juga menyebut serangan Israel itu ceroboh dan dapat membawa bencana. Menurutnya, operasi tersebut tidak menghasilkan keuntungan strategis yang nyata, melainkan justru memperkuat posisi Hamas di mata opini publik internasional.
2. Olmert kritik sejumlah aksi Israel di Gaza
Dilansir dari Ynet, ini bukan pertama kalinya mantan perdana menteri Israel itu mengkritik kebijakan dan agresi Israel di Gaza. Ia sebelumnya menyebut rencana Tel Aviv untuk secara paksa memindahkan penduduk Gaza ke "zona kemanusiaan" di wilayah selatan sebagai kamp konsentrasi, dan mengatakan bahwa jika warga Palestina diusir ke sana, hal itu sama saja dengan pembersihan etnis.
Ia juga pernah menuduh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sengaja mengobarkan perang pribadi demi kepentingan politiknya sendiri, dan mengatakan bahwa Israel melakukan kejahatan perang di Gaza dalam sebuah opini yang diterbitkan pada Mei.
3. Ribuan orang mengungsi dari Kota Gaza setiap pekan
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 64 ribu warga Palestina telah terbunuh sejak perang Israel meletus di wilayah tersebut pada Oktober 2023. Kelompok hak asasi manusia terkemuka, termasuk Amnesty International, telah menetapkan perang tersebut sebagai genosida.
Di Kota Gaza, ribuan orang mengungsi setiap harinya akibat pengeboman tanpa henti yang dilakukan Israel sebagai persiapan untuk merebut kota tersebut. Warga tak punya pilihan selain bergerak ke selatan menuju al-Mawasi yang penuh sesak dan kekurangan sumber daya.
Menurut Pertahanan Sipil Palestina, lebih dari 6 ribu warga Palestina terpaksa meninggalkan Kota Gaza pada Sabtu (13/9/2025). Saat ini, sekitar 900 ribu orang masih bertahan di kota itu, tetapi jumlahnya menurun dengan cepat.
Dilansir dari Al Jazeera, jurnalis sekaligus pengungsi, Ahmed al-Najjar, mengatakan bahwa kamp pengungsi di al-Mawasi sama sekali tidak aman.
“Disebut sebagai zona aman, tapi kami sudah berbulan-bulan tinggal di sini dan kami tahu pasti itu tidak aman. Bagaimana saya bisa menyebutnya aman ketika Israel membunuh dan mengebom saudara perempuan saya sendiri di dalam ‘zona aman’ ini?” ungkapnya.