Georgia Sebut Desakan Pemilu Ulang di Negaranya adalah Pemerasan

- Tbilisi menolak desakan pemilihan umum (pemilu) parlemen ulang di Georgia sebagai pemerasan dan mengklaim tidak ada kecurangan dalam pemilu.
- Kepala Delegasi Georgia di Dewan Parlemen Eropa (PACE) menyebut resolusi terkait desakan pemilu ulang tidak adil dan melanggar kedaulatan Georgia.
- Dewan Eropa mengumumkan penangguhan pembebasan visa bagi paspor diplomatik Georgia untuk masuk ke UE, sebagai reaksi dari hukum antipropaganda LGBT yang diterapkan di Georgia tahun lalu.
Jakarta, IDN Times - Georgia mengklaim bahwa desakan untuk pemilihan umum (pemilu) parlemen ulang di negaranya adalah sebuah pemerasan. Tbilisi menampik tuduhan adanya kecurangan dalam pemilu dan mengklaim sudah berjalan dengan baik.
Beberapa bulan terakhir, situasi politik di Georgia terus memanas imbas keputusan Partai Georgian Dream untuk menangguhkan aksesi Uni Eropa (UE). Selain itu, sejumlah oposisi Georgia menuding terjadi kecurangan dalam pemilu yang memenangkan Partai Georgian Dream.
1. Tarik keanggotaan Georgia dari PACE
Kepala Delegasi Georgia di Dewan Parlemen Eropa (PACE), Tea Tsulukiani menyebut bahwa resolusi terkait desakan pemilu ulang di Georgia karena dugaan adanya kecurangan tidak dapat diterima dan tidak adil.
"Permintaan untuk mengadakan pemilu ulang melanggar kedaulatan Georgia dan berarti mengesampingkan lebih dari 1,12 juta warga Georgia yang telah memilih untuk Partai Georgian Dream dan aksi ini tidak dapat diterima," terangnya pada Rabu (29/1/2025), dilansir RFE/RL.
Ia menambahkan bahwa desakan mengadakan pemilu parlemen ulang akan mengkhianati pilihan rakyat Georgia. Maka dari itu, Tsulukiani menyebut, delegasi Georgia dalam PACE akan menarik diri mulai hari itu juga.
Tak hanya mendesak pemilu ulang, resolusi PACE juga menyerukan pengadaan proses inklusif kepada semua pihak untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan yang timbul usai pemilu parlemen.
2. Uni Eropa tangguhkan pembebasan visa khusus paspor diplomatik Georgia

Pada Senin (27/1/2025), Dewan Eropa mengumumkan penangguhan pembebasan visa bagi paspor diplomatik Georgia untuk masuk ke UE. Putusan ini membuat diplomat dan pejabat di Georgia harus mengurus visa untuk masuk ke negara anggota UE.
"Putusan ini adalah reaksi dari kebijakan hukum kontroversial dan Hukum Perlindungan Nilai Keluarga dan Anak-anak yang dikenal dengan hukum antipropaganda LGBT yang sudah diterapkan di Georgia tahun lalu. UE menganggap hukum ini merusak hak dasar dari rakyat Georgia untuk kebebasan berekspresi dan privasi," tuturnya, dilansir OC Media.
Duta Besar UE di Georgia, Paweł Herczyńsk mengungkapkan bahwa penurunan demokrasi di Georgia tidak dapat terus berjalan tanpa sebuah reaksi kerasa dari UE. Ia menyebut, tujuan utama UE bukanlah menghukum rakyat Georgai, tapi hanya segelintir pihak yang menekan, mengintimidasi, dan menginisiasi aksi kekerasan.
3. Zourabichivili mengklaim Partai Georgian Dream berniat mengisolasi Georgia

Pekan lalu, mantan Presiden Georgia Salome Zourabichvili mengadakan kunjungan ke Amerika Serikat (AS). Ia mengklaim bahwa rezim Georgia saat ini berusaha mengisolasi negaranya sendiri.
"Partai Georgian Dream yang dipimpin oleh oligarki Bidzina Ivanishvili sedang memimpikan Georgia ditinggalkan sendirian dan terisolir di tengah ancaman keamanan dari Rusia dan menghadapi ancaman ekonomi dari China," terangnya, dikutip Jam News.
Ia mengatakan, rakyat Georgia menginginkan negaranya mencapai kemerdekaan sepenuhnya dalam 30 tahun terakhir. Ia pun mengupayakan bantuan kepada rekan-rekan Barat agar mengisolasi pejabat Georgia, tapi tidak untuk rakyat Georgia.
"Dampak isolasi seharusnya berdampak pada pihak yang memilih kembali ke pemerintahan otoriter. Tidak semua rakyat Georgia harus merasakan ini semua. Fokus utamanya ada pada masa depan politik dan ekonomi Georgia," tambahnya.