Hadapi Penurunan Populasi, Jepang Butuh Banyak Tenaga Kerja Asing

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Jepang mengatakan bahwa rasio lanjut usia (lansia) di negaranya meningkat secara signifikan. Bahkan, rekor rasio ini diperkirakan akan terus membengka yang berimbas pada kurangnya tenaga kerja.
Data statistik demografi tersebut diumumkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi menjelang Hari Penghormatan Lansia.
"Jumlah penduduk berusia 80 tahun ke atas meningkat sebesar 270 ribu orang dibandingkan tahun lalu, menjadi 10,1 persen dari total populasi Jepang yang berjumlah sekitar 124,6 juta jiwa," kata kementerian tersebut pada Minggu (17/9/2023), dikutip dari Kyodo News.
Data tersebut mencatat, bahwa perempuan merupakan 56,6 persen dari populasi lansia Jepang. Mereka mencapai 20,5 juta jiwa dan laki-laki berjumlah 15,7 juta jiwa. Perbedaan tersebut menunjukkan, jika perempuan memiliki rata-rata harapan hidup yang lebih panjang.
1. Jepang memiliki proporsi penduduk lansia terbesar di dunia
Rekor lain juga memaparkan, jumlah orang yang berusia 65 tahun ke atas, yang didefinisikan lansia di Negeri Sakura, berjumlah 29,1 persen dari total kelompok usia mereka yang berjumlah 36,23 juta jiwa.
Ini berarti Jepang masih menduduki proporsi penduduk lanjut usia tertinggi di dunia dan terus berjibaku dengan masyarakat yang menua dengan cepat. Sementara posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Italia dan Finlandia. Lalu, mereka yang berusia 75 tahun ke atas berjumlah 16,1 persen dari total populasi, melampaui angka 20 juta untuk pertama kalinya.
Sementara itu, populasi lansia yang bekerja mencapai 9,1 juta pada 2022, dan memecahkan rekor selama 19 tahun berturut-turut. Dengan angka 25,2 persen, rasio lansia bekerja di Jepang menjadi yang tertinggi di antara negara-negara besar dilansir NHK News.
Berdasarkan kelompok umur, 50,8 persen dari mereka yang berusia antara 65-69 tahun dan 33,5 persen dari mereka yang berusia antara 70-74 tahun masih bekerja. Disebutkan, bahwa kelompok lansia berjumlah 13,6 persen dari total angkatan kerja di negara itu.
2. Jepang bersiap hadapi kekurangan tenaga kerja

Berdasarkan sebuah survei, sekitar 86 persen kota di seluruh Jepang merasa perlu untuk menambah tenaga kerja asing. Para responden menyebutkan bahwa kekurangan staf sebagai alasannya. Ini termasuk kurangnya pekerja di bidang pertanian, industri manufaktur, dan sektor-sektor penting lainnya, seperti layanan medis dan perawatan.
Hal ini merupakan imbas dari penurunan populasi, seiring dengan menurunnya angka kelahiran di negara tersebut. Jepang pun dipaksa bersiap menghadapi kekurangan jutaan pekerja, meningkatnya AI generatif, serta risiko terhadap keamanan ekonomi.
Kendati negara ini telah membuka pintunya bagi lebih banyak pekerja asing secara perlahan, namun beberapa ahli mempertanyakan apakah Jepang dapat bersaing dengan negara-negara lain, di mana pekerja dapat memperoleh gaji yang lebih tinggi.
Salah satu faktor di balik rendahnya pertumbuhan upah selama bertahun-tahun disebabkan oleh sistem ketenagakerjaan berbasis senioritas yang tersebar luas di Jepang, keengganan pekerja untuk berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, serta produktivitas tenaga kerja yang rendah, yang pada 2021 tercatat sebagai yang terendah di antara negara-negara G7.
Survei-survei sektor swasta menyebutkan bahwa akan ada fase kekurangan tenaga kerja yang lebih parah dalam beberapa dekade ke depan yang akan melanda. Salah satu survei memperkirakan akan terjadi kekurangan lebih dari 11 juta pekerja pada 2040, dari sekitar 67 juta pekerja pada Juli 2023 di Jepang.
3. Respons pemerintah Jepang

Pemerintah Jepang telah berjuang untuk mencegah penurunan populasi agar tidak berdampak negatif pada perekonomian. Apalagi jika melihat kebutuhan lansia yang mendesak dan terus meningkat. Dilansir Asahi Shimbun, Belanja jaminan sosial negara itu menyumbang sekitar sepertiga pengeluaran tahunan pemerintah.
Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida, diharapkan Jepang mampu menggerakkan siklus positif pertumbuhan ekonomi dan redistribusi kekayaan. Pemerintah juga semakin serius dalam melakukan reformasi pasar tenaga kerja, baik pelatihan ulang tenaga kerja, beralih dari pekerjaan berbasis senioritas, hingga meningkatkan mobilitas tenaga kerja.
"Penting untuk memikirkan bagaimana kita dapat mencapai transisi dan melihat lebih banyak orang terlibat dalam tugas-tugas non-rutin melalui pelatihan ulang atau peningkatan keterampilan," ungkap Masashi Santo, Kepala Penelitian Sumber Daya Manusia di Mitsubishi Research Institute, seraya menambahkan lebih banyak pekerja terampil dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja Jepang dan akan berdampak positif bagi perekonomian.