Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

HTS: Pejabat Assad yang Terlibat akan Diburu

kota di Suriah (unsplash.com/Mahmoud Sulaiman)
Intinya sih...
  • Pemimpin kelompok pemberontak Suriah, Hayat Tahir al-Sham (HTS), bertekad memburu pejabat senior yang terlibat dalam penyiksaan tahanan politik di bawah rezim Bashar al-Assad.
  • Para ahli hukum menilai sistem hukum Suriah masih jauh dari memadai untuk mengadakan pengadilan kejahatan perang, meski runtuhnya rezim Assad membuka akses bukti berupa saksi dan lemari arsip.
  • Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) tidak memiliki yurisdiksi langsung atas Suriah, namun beberapa kelompok hak asasi manusia berpendapat ada preseden yang dapat digunakan untuk melibatkan ICC di Suriah.

Jakarta, IDN Times - Pemimpin kelompok pemberontak Suriah, Hayat Tahir al-Sham (HTS), telah berjanji untuk memburu para pejabat senior yang terlibat dalam penyiksaan tahanan politik di bawah rezim Bashar al-Assad.

Dalam pernyataan yang dibagikan di Telegram pada Selasa (10/12/2024), Ahmed al-Sharaa mengatakan bahwa mereka akan segera merilis nama-nama pejabat tersebut dan mengupayakan repatriasi bagi mereka yang telah kabur ke luar negeri.

"Kami tidak akan ragu untuk meminta pertanggungjawaban para penjahat, pembunuh, dan pejabat keamanan serta tentara yang terlibat dalam penyiksaan terhadap rakyat Suriah. Kami akan mengejar para penjahat perang dan meminta mereka untuk kembali dari negara-negara tempat mereka melarikan diri, agar mereka menerima hukuman yang pantas," kata Sharaa, yang sebelumnya dikenal dengan nama samaran Abu Mohammed al-Jolani.

“Kami akan menawarkan hadiah kepada siapa pun yang memberikan informasi tentang perwira senior militer dan keamanan yang terlibat dalam kejahatan perang," tambahnya.

1. Sistem hukum di Suriah masih belum mampu untuk mengadili kejahatan

Namun, para ahli hukum menilai sistem hukum Suriah saat ini masih jauh dari memadai untuk mengadakan pengadilan kejahatan perang. Oleh sebab itu, jalan menuju keadilan kemungkinan besar akan memakan waktu lama dan penuh dengan hambatan.

“Dalam euforia dan kegembiraan saat ini, kita tidak boleh melupakan (masalah-masalah ini). Dalam hukum pidana Suriah, tidak ada istilah kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau genosida, dan tidak ada hukuman yang ditentukan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu," kata Alan Haji, yang menangani kasus-kasus kejahatan perang di Den Haag untuk Syria Justice and Accountability Centre (SJAC), dilansir dari The Guardian.

Pada saat yang sama, runtuhnya rezim Assad secara tiba-tiba juga telah membuka akses ke sejumlah besar bukti berupa saksi-saksi dan lemari arsip yang penuh dengan dokumen.

“Situasinya mirip seperti di Jerman pada 1945 atau Irak pada 2003. Semua catatan negara tiba-tiba tersedia. Ini adalah situasi yang sangat tidak biasa, dan situasi yang tiba-tiba ini menciptakan tantangan dan peluang dalam menangani materi,” kata William Wiley, pendiri dan direktur eksekutif Komisi Keadilan dan Akuntabilitas Internasional (CIJA), sebuah LSM yang telah mengumpulkan bukti kejahatan perang di Suriah selama lebih dari satu dekade.

Farouq Habib, wakil manajer Pertahanan Sipil Suriah atau yang dikenal dengan White Helmet, juga meyakini bahwa proses pengadilan terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kebrutalan rezim Assad kemungkinan tidak dapat terwujud dalam waktu dekat.

“Rezim baru saja jatuh di Suriah. Kita pasti akan melihat keadilan tetapi (negara) belum siap untuk itu. Seluruh sistem dibangun oleh partai Baath dan telah ada selama 50 tahun. Negara ini korup dan tidak memenuhi standar terbaik untuk menghormati hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia," kata Habib.

2. Negara anggota ICC diimbau ajukan penyelidikan terkait kejahatan kemanusiaan di Suriah

Sementara itu, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag tidak memiliki yurisdiksi langsung atas Suriah lantaran negara itu belum bergabung dengan pengadilan tersebut atau menerima yurisdiksinya. Adapun upaya untuk menerapkan yurisdiksi melalui dewan keamanan PBB diblokir pada 2014 oleh Rusia dan China.

Namun, beberapa kelompok hak asasi manusia berpendapat bahwa ada preseden yang dapat digunakan untuk melibatkan ICC di Suriah. Pada 2018, hakim ICC memutuskan bahwa pengadilan tersebut memiliki yurisdiksi untuk mengadili kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar (bukan anggota ICC) terhadap kaum Rohingya, karena sebagian dari tindakan kriminal tersebut berdampak ke Bangladesh (anggota ICC).

Nick Leddy, mantan pengacara ICC, mengatakan bahwa terdapat banyak kesamaan antara kekerasan di Myanmar dan situasi di Suriah, yang mengakibatkan sekitar 650 ribu orang mengungsi ke Yordania, satu-satunya negara tetangga yang menerima yurisdiksi ICC. Ia pun mengimbau negara-negara anggota ICC untuk memanfaatkan kesempatan lengsernya Assad untuk mengajukan penyelidikan terkait kejahatan terhadap kemanusiaan di Suriah.

"Runtuhnya rezim Assad yang tiba-tiba seharusnya mengubah keadaan ICC. Suriah sendiri dan negara-negara lain dapat dan harus merujuk situasi ini ke ICC berdasarkan undang-undangnya untuk penyelidikan dan penuntutan mengingat beratnya kejahatan yang dilakukan," kata Rodney Dixon, pengacara asal Inggris yang mewakili pengungsi Suriah di Yordania, dan mengajukan permohonan atas nama mereka untuk meminta ICC membuka penyelidikan terhadap rezim Assad.

Opsi lainnya adalah membentuk pengadilan hibrida, yang meniru pengadilan khusus PBB untuk Sierra Leone, di mana negara yang terdampak bekerja sama dengan PBB untuk membentuk pengadilan di mana sebagian besar hakimnya berasal dari wilayah tersebut.

David Crane, kepala jaksa pendiri Pengadilan Khusus untuk Sierra Leone, berpendapat bahwa pengadilan serupa untuk Suriah tidak hanya berfungsi sebagai alat keadilan, namun juga bukti komitmen dunia Arab untuk menegakkan hak asasi manusia dan martabat manusia.

3. Sekitar 40 mayat ditemukan di rumah sakit dekat kota Damaskus

Sementara itu, White Helmet, pada Senin (9/12/2024) malam, mengumumkan bahwa mereka telah menyelesaikan operasi pencarian terhadap narapidana yang tersisa di Penjara Sednaya. Mereka mengaku tidak menemukan area yang tertutup atau tersembunyi di dalam fasilitas tersebut.

“Tim khusus dari White Helemt melakukan penggeledahan menyeluruh di seluruh bagian, fasilitas, ruang bawah tanah, halaman, dan area sekitar penjara. Operasi ini dilakukan dengan bantuan orang-orang yang mengetahui penjara dan tata letaknya. Namun, tidak ada bukti adanya sel rahasia atau ruang bawah tanah yang belum ditemukan," kata kelompok tersebut dalam sebuah pernyataan di X.

"Kami berdiri dalam solidaritas dengan keluarga korban, sepenuhnya memahami penderitaan mereka dan kerinduan mereka akan jawaban mengenai orang-orang tercinta mereka," tambahnya.

Pada hari yang sama, pemberontak juga menemukan sekitar 40 mayat yang menunjukkan tanda-tanda penyiksaan di kamar mayar Rumah Sakit Harasta. Mayat-mayat tersebut, yang terbungkus dengan kain putih bernoda darah, diyakini berasal dari penjara Sednaya.

Salah satu jenazah yang ditemukan di sana adalah Mazen al-Hamada, seorang aktivis terkemuka yang berupaya mengungkap kebrutalan rezim Assad di penjara. Ia menghilang usai kembali ke Suriah pada 2020 dan mengalami berbagai bentuk penyiksaan.

Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, sebuah kelompok pemantau yang berbasis di Inggris, mengatakan bahwa hampir 60 ribu orang disiksa dan dibunuh di penjara-penjara pemerintahan Assad. Lebih dari 100 ribu orang juga hilang sejak rezim tersebut memerintahkan tindakan keras brutal terhadap protes prodemokrasi pada 2011.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us