Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Human Rights Watch: Otoritas China Tutup dan Hancurkan Masjid

siluet masjid (unsplash.com/Mario La Pergola)

Jakarta, IDN Times - Human Rights Watch (HRW) mengatakan bahwa pemerintah Cina telah menutup, menghancurkan, dan mengubah masjid-masjid di provinsi utara Ningxia dan Gansu pada Rabu (22/11/2023). Langkah itu disebut merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk membatasi praktik Islam di China.

“Penutupan, penghancuran, dan penggunaan kembali masjid-masjid yang dilakukan pemerintah China adalah bagian dari upaya sistemik untuk mengekang praktik Islam di China,” kata Maya Wang, penjabat direktur Tiongkok di Human Rights Watch, dikutip BBC.

Meskipun pemerintah mengatakan mereka mengizinkan kebebasan beragama, namun para pengamat menilai Beijing telah meningkatkan tindakan keras dan kontrol yang lebih ketat terhadap organisasi keagamaan dalam beberapa tahun terakhir.

1. Sekitar 1.300 masjid di Ningxia telah ditutup atau diubah fungsi sejak 2020

Ada sekitar 20 juta Muslim di China. Sebagian besar di antara mereka tinggal di barat laut negara itu, yang meliputi Xinjiang, Qinghai, Gansu dan Ningxia.

HRW melaporkan, tiga dari enam masjid di desa Liaoqiao di wilayah otonomi Ningxia telah dilucuti kubah dan menaranya, sementara ruang salat tempat ibadah tersebut telah dihancurkan. Dalam rekaman satelit, kubah di salah satu masjid telah digantikan oleh pagoda bergaya China antara Oktober 2018 dan Januari 2020.

Hannah Theaker, seorang sarjana Muslim China, mengatakan bahwa sekitar 1.300 masjid di Ningxia telah ditutup atau diubah fungsi sejak 2020. Adapun jumlah itu mewakili sepertiga dari total masjid di wilayah tersebut.

“Secara umum, Ningxia telah menjadi lokasi percontohan penerapan kebijakan 'Sinisasi', dan oleh karena itu, baik renovasi maupun penggabungan tampaknya telah dimulai di Ningxia lebih dulu dibandingkan provinsi lain,” kata Theaker, yang ikut menulis laporan tentang Muslim Hui dengan akademisi yang berbasis di AS, David Stroup.

Sinisasi mengacu pada upaya Xi untuk mengubah keyakinan agama agar mencerminkan budaya dan masyarakat China

2. Partai Komunis berupaya menyelaraskan agama dengan ideologi politik dan budaya China

Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, Partai Komunis berupaya menyelaraskan agama dengan ideologi politik dan budaya China.

Pada 2018, komite pusat Partai Komunis China menerbitkan dokumen yang merujuk pada kontrol dan konsolidasi masjid. Mereka mendesak pemerintah negara bagian untuk menghancurkan lebih banyak dan membangun lebih sedikit masjid, serta melakukan upaya untuk mengurangi jumlah keseluruhan bangunan tersebut.

Selain itu, pembangunan, tata letak dan pendanaan masjid harus juga harus dipantau secara ketat, menurut dokumen tersebut.

Beberapa warga telah secara terbuka menentang kebijakan sinisasi ini, namun perlawanan mereka sejauh ini sia-sia. Selama bertahun-tahun, banyak di antara mereka dipenjara atau ditahan setelah bentrok dengan pihak berwenang terkait penutupan atau pembongkaran masjid.

Penindasan semacam ini paling lama dan parah terjadi di Tibet dan Xinjiang, namun kini telah meluas ke wilayah lain. Institut Kebijakan Strategis Australia memperkirakan 65 persen dari 16 ribu masjid di Xinjiang telah hancur atau rusak sejak tahun 2017.

3. Pemerintah mempersempit ruang bagi warga China untuk menjadi Muslim

Di provinsi Gansu, yang berbatasan dengan Ningxia, para pejabat secara berkala mengumumkan penutupan, konsolidasi, dan perubahan masjid. Pada 2018, pihak berwenang melarang anak di bawah umur 16 tahun untuk berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan atau belajar di Linxia, ​​sebuah kota di provinsi yang sebelumnya dikenal sebagai “Mekah Kecil” di China.

Laporan dari stasiun televisi lokal pada 2019 mengatakan, pihak berwenang telah mengubah beberapa masjid menjadi ruang kerja dan pusat kebudayaan setelah kerja keras melalui pendidikan ideologi dan bimbingan.

Theaker mengatakan, sebelum kampanye sinisasi, Muslim etnis Hui dalam banyak hal telah menerima dukungan dan dorongan dari negara.

“Kampanye ini secara radikal telah mempersempit ruang bagi warga China untuk menjadi Muslim, dan memberikan beban negara pada visi patriotisme dan ketaatan beragama yang sangat khusus," kata Theaker.

“Hal ini mencerminkan orientasi negara yang sangat Islamofobia, yang mengharuskan umat Islam untuk menunjukkan patriotisme di atas segalanya, dan memandang segala tanda pengaruh ‘asing’ sebagai ancaman."

Kelompok etnis dan agama minoritas lainnya juga terdampak oleh kampanye ini. Misalnya, Beijing dalam beberapa bulan terakhir mengganti kata Tibet dengan Xizang, yang merupakan nama wilayah tersebut dalam bahasa Mandarin, pada dokumen diplomatik resmi. Pihak berwenang juga telah menghapus salib dari gereja-gereja, menangkap pendeta dan menarik Alkitab dari toko online.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatimah
EditorFatimah
Follow Us